S O U L

mr. putri
Chapter #1

1. A Simplicity

Tanggal 24 November. Buat kebanyakan orang, tanggal itu merupakan hari yang biasa. Tapi bagi aku dan Tristan merupakan salah satu hari yang bersejarah bagi kami berdua. Pada tanggal inilah, 24 November setahun yang lalu, kami meresmikan hubungan kami. Bukan hanya sebagai teman atau pun sahabat. Kami menginginkan lebih dari itu.

Dengan semua rintangan yang telah kami ketahui bersama, kami pun memutuskan untuk berpacaran. Aku dan Tristan sudah dekat lebih dari 3 bulan lamanya, dan selama itu pun kami saling mempelajari satu dengan yang lainnya.

Kantor kami berdua bersebelahan, yang membuat kami berdua pun dapat dengan mudahnya bertemu. Hampir setiap hari kami pun berjalan pulang bersama. Awal mula kami berdua dekat pun terjadi ketika suatu siang kami makan di salah satu tempat makan yang berada tak jauh dari Gedung kantor kami berdua, dan perkenalan kami pun terjadi dengan begitu saja, tanpa basa-basi, tanpa rencana.

Sama seperti dengan malam-malam biasanya, kami pun pulang bersama. Berjalan menuju stasiun MRT terdekat sambil bergandengan tangan dan mengobrol, sesekali bercanda. Kami berdua memang suka saling iseng satu dengan yang lainnya.

“Aku laper,” ucapku ketika kami baru saja keluar dari MRT.

“Kamu mau makan apa?” tanya Tristan terdengar penuh perhatian.

“Apa aja yang nemu di jalan ke tempat kamu,” jawabku ngak mau terlalu ribet mikir.

Tak ada tanggapan apa pun dari Tristan. Aku tahu dirinya pun ngak mau terlalu mikir, tapi tetap memikirkannya. Paling tidak lama lagi Tristan akan menanyakannya kembali.

“Jadi mau makan apa?” benar saja, Tristan pun menanyakannya kembali.

“Gorengan, roti, apa gitu. Seketemunya aja. Ga usah yang ribet-ribet ah mikirnya,” jawabku lagi.

“By the way, happy anniversary, Reina!” ucap Tristan tiba-tiba dalam perjalanan kami mencari makanan, dan masih menggenggam tangan kananku, menuntunku mencari jalan.

Aku pun terdiam, terpaku mendengar ucapan Tristan. Menatap Tristan tidak percaya.

“Lah? Koq diem. Ayo jalan!” pinta Tristan sambil terus menarik tangan kananku.

“Aku kirian kamu lupa. Aku biarin aja dari tadi. Aku ngak ngarep apa-apa juga soalnya,” jawabku akhirnya mengikuti jalan Tristan.

“Hahahahaha, ya ngak lah!” jawab Tristan yang selalu singkat. Tapi aku pun tahu bahwa Tristan sedang tersenyum senang, tanpa perlu memperlihatkannya padaku saat ini dan tetap berjalan di depan.

“Emangnya kamu ngak laper?” tanyaku akhirnya, mengalihkan pembicaraan.

“Tadinya cuma mau bikin mie instan aja,” jawabnya.

“Ah, bosen!” jawabku protes.

“Ya udah, nasi goreng aja ya!” kata Tristan lagi, sambil menatapku kali ini dan aku menjawabnya dengan anggukan yang disertai dengan senyuman.

Tristan membawaku ke sebuah kedai tukang nasi goreng tak jauh dari situ. Kami duduk bersebelahan dan langsung memesan.

“Orang mah anniversary dinner di tempat-tempat fancy ato club mana gitu. Ini malah dipinggiran jalan,” godaku.

“Justru ini yang gw suka dari lo. Cari makan aja ga ribet. Bisa diajakin ke tempat-tempat mana aja. Pinggir jalan kayak gini masih ayok aja,” jawabnya memujiku.

Lihat selengkapnya