Civic car berwarna merah milik Vanny memasuki parkiran Brilliant High School.
Ia memarkirkan mobilnya didekat sebuah mobil semerk berwarna putih. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, gadis berambut sedikit coklat kehitaman itu keluar dari mobilnya. Bertepatan dengan pemilik mobil disebelahnya juga keluar.
Mata mereka bertemu. Sebuah senyum terukir indah di wajah lelaki itu. Namun, berbanding terbalik dengan Vanny. Tak ada senyum setipis apapun.
"Pagi Vanny," sapa lelaki itu masih setia dengan senyumannya.
"Pagi," jawab Vanny datar lalu pergi meninggalkan parkiran.
Steve menurunkan bibirnya. Senyumnya memudar seketika. Vanny ternyata bisa sedingin itu. Tapi, benar apa kata Sheilla. Vanny dingin, tapi suaranya hangat dan manis.
Steve menutup pintu mobilnya lalu mengejar Vanny yang sudah mulai jauh darinya.
"Vanny!" Steve berhenti tepat didepan Vanny. Membuat gadis manis itu menunjukan keterkejutannya dengan jelas. "Maaf-maaf," Steve merasa bersalah.
Dengan cepat, wajah Vanny kembali datar. "Nggak papa," terukir senyum tipis di wajah manisnya. Yang tak akan orang sadari, itu selalu muncul di setiap saat. "Kenapa?"
Tembakan pertanyaan dari Vanny membuat Steve mati kutu. Sungguh, ia tak tahu akan apa. Ia menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Uhm ... Anu ... Itu.."
"Apa?" tembak Vanny tak sabar.
"Uhm ... Boleh gue minta nomor lo?" tanya Steve hati-hati.
Vanny menaikan sebelah alisnya. Membuat Steve semakin salah tingkah. "Kalau nggak boleh nggak papa." ujar Steve segera.
"Jangan dikasih tau siapa-siapa," ujar Vanny datar. Mata Steve berbinar. Dan mengangguk antusias. Vanny mengulurkan tangannya yang hanya ditatap oleh Steve. Membuat Vanny mendengus kesal. "HP lo."
Steve langsung menarik HPnya dari kantong celananya dan memberikannya pada gadis manis didepannya. Vanny menerima benda pipih itu. Dan mengernyit saat menatap benda itu.
"Kunci," ujar Vanny.
"Hah?" Steve tak mengerti.
Vanny mendengus sebal. "Sandinya."
"Ooh, " Steve mangut-mangut. "Tanggal lahir gue."
Vanny semakin kesal dengan lelaki dihadapannya ini. "Gue bukan nyokap lo!" tegasnya.
Steve menggaruk tengkuknya gugup. "Ah iya, maaf. Hari Valentine."
Vanny menatap ponsel itu kembali. Dan mengetikan tanggal itu. "Itu kan tanggal lahir gue," batin Vanny. Dan benar, kuncinya terbuka. Menampilkan foto keluarga yang lengkap.
Setelah mengetikan nomor ponselnya, Vanny menyerahkan benda itu kembali ke pemiliknya. "Duluan," Vanny pergi menaiki tangga, menuju kelasnya.
Steve menatap ponselnya tak percaya. Layarnya masih menunjukan dengan jelas nomor dengan nama ; Stevanny N. G. Kemudian ia melompat girang dan berlari menuju gedung Kedokteran.
🌹🌹🌹
"Stevanny, nilai ulanganmu dalam memainkan gitar sungguh buruk."
Vanny menunduk. Hari ini, guru musiknya memanggilnya. Karena, saat ulangan memainkan gitar kemarin, nilainya benar-benar buruk. Ini semua karena dirinya sendiri. Daddynya sudah sering memintanya untuk belajar. Tapi, Vanny selalu menolak dengan alasan. "Vanny maunya nanti suami Vanny yang main gitar," ya, seperti itulah. Alhasil, sekarang ia berdiri disini. Di ruang guru, menjadi tontonan para guru lain.
"Vanny, selama ini, nilaimu tak pernah sekalipun di bawah 90. Tapi sekarang? Bapak benar-benar tak percaya ini, Vanny." pak Agung memijat pelipisnya pusing.
"Maaf pak," hanya itu. Suara manis Vanny yang bisa meluluhkan siapa saja.
"Permis,i pak!"