Pagi itu udara Jakarta masih dingin meski matahari sudah naik. Jalanan penuh dengan suara klakson, langkah kaki terburu-buru, dan hiruk-pikuk yang biasa. Namun, bagi seorang pria bernama Arka Pradana, semua itu terasa seperti latar belakang yang tidak pernah benar-benar menyentuh dirinya. Ia berjalan lurus, tegap, dengan wajah datar dan tatapan dingin.
Rekan-rekan kantornya sudah terbiasa dengan sosok itu. Arka dikenal sebagai pria yang jarang bicara lebih dari seperlunya. Bila tidak penting, ia memilih diam. Kalau pun berbicara, nadanya tenang tapi tajam, seperti pisau yang tidak berniat melukai namun selalu meninggalkan kesan.
“Pagi, Pak Arka.”
Salah satu staf menyapanya sopan di lobi.
Arka hanya mengangguk tanpa senyum. Bagi sebagian orang, itu sudah cukup. Mereka tahu, pria itu bukan tipe yang murah senyum. Sikap dinginnya sering membuat orang merasa segan, bahkan takut, untuk sekadar memulai percakapan.
Namun, apa yang tidak diketahui banyak orang adalah: di balik wajah kaku itu, Arka membawa beban yang tidak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Ada dinding tinggi yang ia bangun sejak lama, dan hanya dirinya yang tahu alasan di baliknya.
Ruang kerja Arka rapi nyaris sempurna. Meja kayu dengan tumpukan berkas tertata lurus, pena yang selalu diletakkan pada posisi sama, dan layar komputer yang penuh dengan angka serta laporan.
Bagi sebagian orang, ruangan itu terasa kaku. Tapi bagi Arka, keteraturan adalah cara untuk menenangkan dirinya. Di balik kesibukan, ada kehampaan yang ia sembunyikan.
“Pak, ini draft laporan minggu lalu.”
Seorang junior menaruh map di mejanya dengan gugup.
Arka mengangguk pelan, meneliti setiap angka tanpa banyak bicara. Sesekali ia mengetuk meja dengan jari, sebuah kebiasaan ketika pikirannya fokus.
“Terima kasih. Silakan kembali bekerja,” ucapnya singkat.
Junior itu buru-buru keluar. Begitulah interaksi Arka sehari-hari. Jarak yang ia ciptakan membuatnya seperti hidup dalam dunia sendiri.
Namun, setiap kali jam makan siang tiba, dan rekan-rekan lain berkumpul di kantin sambil bercanda, Arka memilih duduk di ruangannya, menyantap bekal sederhana. Bukan karena tidak mampu atau tidak suka bergabung, melainkan karena ia merasa tidak punya tempat di keramaian.
Sore harinya, setelah pekerjaan selesai, Arka tidak langsung pulang. Ia menatap jam di dinding, menunggu sejenak hingga suasana kantor sepi. Baru setelah itu ia berdiri, mengambil jas hitamnya, lalu melangkah keluar.
Tujuannya bukan rumah seperti kebanyakan orang. Arka mengendarai mobilnya ke arah rumah sakit.
Di kamar rawat yang sunyi, seorang wanita paruh baya terbaring dengan tubuh lemah. Dialah ibu Arka, satu-satunya keluarga yang masih ia miliki.
“Ibu, sudah minum obat?” tanya Arka pelan, kali ini dengan suara penuh kelembutan yang jarang terdengar di luar sana.