Hujan deras mengguyur malam itu. Arka masih kecil, usianya sekitar delapan tahun. Ia duduk meringkuk di sudut kamar, memeluk lututnya erat-erat. Suara bentakan ayahnya bergema di luar pintu, bercampur dengan isak tangis ibunya.
“Kenapa kau selalu membantah?!” bentak ayahnya.
“Aku hanya ingin melindungi Arka!” jawab ibunya dengan suara bergetar.
Arka menutup telinganya, tapi suara keras itu tetap menembus. Dadanya sesak, tenggorokannya perih. Ia ingin berlari, tapi kakinya kaku. Malam itu, ia belajar satu hal: rumah bukan selalu tempat paling aman.
Kenangan itu terus menghantui, bahkan setelah ia dewasa. Itulah sebabnya ia begitu dingin, begitu kaku. Ia merasa, jika terlalu membuka diri, orang lain akan melukai dirinya, sama seperti dulu.
Arka terbangun dari tidur di kursi rumah sakit. Ibunya masih tertidur lemah di ranjang. Ia berdiri perlahan, merapikan selimut, lalu berjalan ke jendela. Hujan tadi malam masih menyisakan kabut tipis.
Dalam hati, Arka teringat masa kecilnya. Ia tidak pernah benar-benar punya teman dekat. Semua orang menganggapnya aneh karena ia jarang bicara. Padahal, ia hanya takut.
Ibunya membuka mata perlahan.
“Arka… kamu tidak tidur di rumah lagi?”
“Aku tidak apa-apa, Bu. Aku di sini saja.”
Mata ibunya berkaca-kaca. “Kau selalu menjaga Ibu… sejak kecil.”
Arka terdiam. Hatinya terasa perih. Sejak kecil, ia memang terbiasa menahan segalanya sendirian. Kini, di usia dewasa, ia tetap sama: diam, dingin, tapi penuh rasa yang tak pernah diucapkan.
Di kantor, Arka dikenal perfeksionis. Setiap laporan harus rapi, setiap detail harus tepat. Ia benci kesalahan, bukan karena arogan, melainkan karena dulu ia sering disalahkan tanpa alasan.
“Pak Arka, ini draft terbaru,” kata salah satu staf sambil menyerahkan berkas.
Arka meneliti dengan saksama. “Masih ada salah ketik. Perbaiki.”
Staf itu tampak gugup. “Ba… baik, Pak.”
Orang-orang melihat Arka sebagai bos yang dingin, tanpa kompromi. Tapi mereka tidak tahu, itu semua adalah mekanisme pertahanan diri. Dengan bersikap keras, Arka merasa bisa mengendalikan keadaan—sesuatu yang tidak pernah ia punya di masa kecil.
Saat jam istirahat, pintu ruangannya kembali diketuk.
Tok… tok…
Arka mendongak. Sosok yang sama masuk dengan senyum lebar. Nayla.
“Pak Arka, saya bawa kopi. Katanya Anda sering lupa makan siang.”