Hari itu kantor dipenuhi kesibukan. Bunyi telepon bersahut-sahutan, langkah kaki pegawai terburu-buru, dan suara ketikan menimbulkan ritme monoton. Bagi Arka, ini hanya hari lain yang harus dilewati dengan wajah datar dan hati tertutup.
Ia menandatangani dokumen, memberi instruksi singkat, lalu kembali larut dalam layar laptop. Dunia baginya adalah rutinitas yang tak memerlukan emosi.
Namun, ada yang berbeda hari itu. Dari balik kaca ruangannya, Arka melihat sosok yang asing. Seorang pria berpakaian sederhana, terlihat ragu-ragu berdiri di lobi kantor.
Tak lama kemudian, pintu ruangannya diketuk. Nayla masuk, kali ini membawa kabar yang tak biasa.
“Pak, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda. Katanya penting sekali.”
Arka menatap Nayla sebentar. “Siapa?”
“Namanya… Dimas.”
Nama itu membuat Arka tertegun. Ia segera teringat pada telepon beberapa hari lalu. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, meski wajahnya tetap datar.
“Bawa dia masuk,” ucap Arka singkat.
Pintu terbuka, dan masuklah Dimas. Rambutnya sedikit berantakan, matanya menyiratkan kegugupan, tapi senyumnya hangat.
“Arka… sudah lama sekali.”
Arka hanya mengangguk, menyilangkan tangan di dada. “Ya. Duduklah.”
Suasana seketika penuh keheningan. Dua orang yang dulunya duduk di bangku kelas yang sama, kini dipisahkan oleh waktu dan pengalaman pahit.