Namaku Biru.
Saat ini usiaku 16 tahun, dan aku… ingin cepat dewasa.
Ada beberapa alasan mengapa aku ingin cepat dewasa.
Pertama, aku ingin segera bekerja agar bisa menghasilkan banyak uang.
Kedua, agar aku tak perlu merindukan kedua orangtuaku lagi.
Terakhir… agar aku punya alasan kuat untuk tak menangis. Sebab kata orang-orang, orang yang dewasa hanya sedikit menangis.
***
Lalu-lalang kendaraan di jam sekolah—kerja, menjadi rutinitas yang selalu kuhadapi. Aku sendiri menjadi bagian dari rutinitas macet ibu kota metropolitan ini. Mengendarai motor tua milik Kakek, aku mencoba menyalip celah-celah di jalan. Kurasa kota ini tak akan pernah lepas dari macet selama pengguna sepeda motor masih sebanyak ini, dengan ku salah satunya.
Tidak, keluhan di pagi hari tak akan membantu jalanku menuju sekolah menjadi lebih mulus. Maka kuputuskan hanya melihat-lihat sekitarku sembari menunggu lampu merah di ujung sana berubah warna.
Udara pagi di kota tak begitu sejuk—bahkan buatku tak sejuk sama sekali. Aku jadi menyesali diri yang menerima paksaan Kakek untuk mengenakan jaket. Sebab badanku kini jadi gerah sekali. Terlebih matahari mulai terang.
“Mana tahu sore hujan,” katanya. Aku selalu tahu bahwa Kakek bukan peramal atau penebak cuaca yang baik. Beliau pernah menyuruhku membawa payung padahal saat itu sedang musim kemarau.
Lalu memintaku tak membawa jas hujan, padahal ramalan cuaca di televisi bilang hujan akan turun siang hingga sore hari. Akhirnya aku jadi kehujanan dan motorku mogok di perjalanan.
Namun, Kakek satu-satunya orang yang kudengarkan saat ini.
Orangtuaku? Nanti saja kuceritakan.
Lampu merah telah berganti kuning dan disusul hijau. Antrian kendaraan mulai bergerak, namun tak ubahnya bekicot yang menyeret di lantai. Aku tahu akan kembali telat ke sekolah, jadi kubiarkan saja diriku terjebak dalam macet ini—tanpa berusaha. Hitung-hitung aku ketinggalan mata pelajaran sejarah yang selalu membuatku mengantuk.
Di tengah riuhnya jalan, suara teriakan terdengar. Sepertinya kecelakaan, karenanya kudengar ucapan-ucapan bernada khawatir dari pengendara.
Ketika motorku sudah lega mendapatkan jalan, barulah aku tahu sumber suara teriakan itu. Asalnya dari ibu-ibu yang akan mengantar anaknya ke sekolah. Kulihat dari kondisinya, ibu-ibu itu jatuh dari motornya—mungkin disenggol kendaraan lain. Si ibu marah-marah— entah pada siapa. Sementara anaknya yang berseragam sekolah dasar cuma bisa menangis, antara takut atau sakit. Di depan anak kecil itu berjongkok seorang perempuan, yang usianya sekitar awal 20an.
Perempuan itu mengenakan gamis polos warna biru pastel, kerudungnya segi empat warna biru yang lebih tua. Biru, seperti namaku.
Dia sedang menenangkan anak kecil itu, mengusap air matanya. Entah apa yang dikatakannya, namun anak itu sudah tak menangis seheboh sebelumnya. Hanya tertinggal isakan kecil.
Suara klakson menyentakku dari pemandangan itu. Pengendara mobil di belakangku telah menunjukkan wajah sangar, yang mau tak mau membuatku harus melajukan motor lebih cepat. Aku tak lagi memperhatikan perempuan itu.
Tiba di sekolah, gerbang setinggi dua meter telah tertutup. Aku dengan beberapa anak terlambat cuma bisa pasrah menunggu guru BP datang menyidang dan memberikan hukuman.
Yang terlambat hari ini tak banyak, dan wajahnya juga yang itu- itu saja. Sebut saja Si Gundul—aku bicara berdasarkan fakta—kepalanya memang plontos, yang rumornya tak bisa tumbuh rambut lagi. Dia anak kelas sebelas IPS sekian-sekian.
Lalu ada Si Culun—aku bicara dari fakta lagi. Dia pernah jadi teman sekelasku saat masih kelas sepuluh—oh ya sekarang aku kelas sebelas. Orangnya selalu jadi korban palak teman-teman lain dan kakak kelas, mungkin dia sengaja terlambat setiap hari supaya tidak kena ‘pungutan liar’ dari para pemalaknya.
Lalu ada... ah, sudahlah, kujelaskan satu per satu pun tak akan ada habisnya. Namun, ada satu wajah baru yang kutemukan.
Agya—kali ini nama asli, bukan samaran, bukan pula hoaks. Dia teman sekelasku di jurusan IPA. Duduknya satu barisan denganku. Biasanya Agya dan geng teman-temannya selalu berisik saat guru tak masuk.
Telingaku mau tak mau mendengar setiap gosip yang mereka bicarakan.
Aku menoleh pada Agya. Sepertinya ini kali pertama dia datang terlambat ke sekolah, karena biasanya aku selalu menemukannya sudah berada di kelas setiap kali masuk. Mengobrol entah apa dengan teman- temannya.