Namaku Agya.
Usiaku baru aja genap jadi 16 tahun. Persis setelah Ayah dan Mama selesai berantem tepat di pukul 00.00. Aku nggak bohong soal waktu yang bisa kebetulan itu.
Sungguh hadiah ulang tahun yang paling berkesan yang pernah aku dapatkan. Yang kudengar hanya teriakan mereka berdua serta suara pecah-belah yang lagi-lagi jadi korban amarah.
Aku di dalam kamar. Tadinya berpikir, kalau mungkin saja malam ulang tahunku ini akan jadi momen spesial. Barangkali akan ada kue ulang tahun atau sekadar ucapan selamat dengan sayang.
Namun, keinginan kecilku langsung pupus saat pukul 11 malam, orangtuaku belum juga pulang dari kesibukan mereka masing-masing.
Mama yang bekerja, Ayah yang mabuk-mabukan. Dan saat mereka pulang, bukan persiapan pesta kecil untukku yang mereka bicarakan, tapi racau serta makian yang nggak berkesudahan.
Aku cuma terdiam di balik selimut yang sudah membungkus tubuhku sampai berkeringat. Air mata nggak keluar sama sekali dari mataku, karena aku rasa hatiku sudah mati untuk menangisi hal yang sama setiap hari. Jadi aku hanya memaksakan mata untuk terpejam. Walau tahu alam mimpi nggak akan mampu terjangkau dalam keadaan berisik, seperti sekarang.
Usai makian-makian terlontar, yang tersisa kemudian hanyalah tangis dari mama. Kalau saja aku anak yang baik, mungkin yang aku lakukan adalah keluar dari kamar lalu memeluknya. Namun, apa gunanya menjadi baik jika nggak mampu mengubah apa pun? Maka aku nggak beringsut barang sedikit pun dari tempat tidurku. Aku memilih tidur agar besok bisa berangkat tepat waktu ke sekolah.
Ah, aku lupa bilang sesuatu yang saat ini menyesaki isi kepalaku.
Aku benci orang dewasa. Nggak ada satu pun yang mampu kupahami tentang mereka. Terutama karena perilaku orangtuaku—orang dewasa—yang setiap hari hanya bisa meremukkan hatiku.
***
Aku nggak tahu bagaimana setiap orang mengawali pagi mereka, tapi seperti inilah pagiku dimulai. Dibangunkan Mama dengan suara kesal. Sholat Shubuh yang terlewatkan nggak jadi bahan pikiranku.
Lagipula, Mama cuma akan mengomel kecil.
Aku menemukan Mama dengan mukenanya yang kusut. Sepertinya dia kembali tidur usai sholat.
“Mama kesiangan, kamu bisa buat sarapan sendiri, kan? Pagi ini mama ada rapat di kantor.” Usai mengatakan itu, Mama pergi dari kamarku.
Begitu kulirik jam di atas meja belajar, jarum jam di angka 7 membuat mataku membesar.
Terlambat bangun artinya nggak ada acara mandi yang lama.
Aku cuma sempat menggosok gigi dan membasuh wajah dengan facial foam. Di saat-saat mendesak, aku baru sadar bahwa facial foam-ku telah menipis hingga sulit keluar dari wadahnya. Aku jadi memaki-maki di dalam kamar mandi.
Terlambat bangun juga artinya nggak ada sarapan. Mama biasanya menyiapkan dua lembar roti panggang dan segelas susu, namun pagi ini meja makan kosong. Aku pun nggak sempat menyambar roti atau menuangkan susu dari lemari es. Akhirnya aku berangkat keluar setelah buru-buru memesan ojek online.
Pun, nggak ada acara salam tangan pada Ayah maupun Mama.
Alasannya, Ayah masih mengorok di kamar, sedangkan Mama sibuk dengan telepon dari klien-nya.
Seperti inilah pagiku setiap hari.
Nggak ada bedanya dengan aku bangun tepat waktu ataupun enggak.
***
Tiga temanku yang tadinya kaget gara-gara aku terlambat, sudah disibukkan dengan mengeluarkan buku dari tas masing-masing. Mereka nggak lagi membicarakan soal keterlambatanku. Bukan hanya karena ingin membahas topik lain, tapi juga karena setelah mereka membuka topik baru, kelas kami kedatangan guru mata pelajaran berikutnya.
Aku mendengar Diana mendengkus, sebab ceritanya terpotong tiba-tiba dengan kadatangan guru. Dia yang duduk di depanku bersama Gita mau nggak mau mendengarkan guru yang memulai pelajaran.
Silvi yang adalah teman sebangkuku sedang sibuk dengan kuteks yang sempat diolesnya pada kuku kanannya. Dia meniup kuat-kuat, alih- alih menggunakan kipas portable miliknya di atas meja. Ketika kusodorkan kipas itu, dia menoleh dan melotot—tersadar akan kebodohannya.
Dia lalu cengengesan dan menyalakan kipasnya dengan volume terkecil agar tak berisik.
“Tumben telat, Ya?” Dia mengulang pertanyaan sama—yang tadi diujarkan oleh Diana.
“Iya.” Pendek kujawab.
Namun Silvi bertanya lagi, “Kenapa?” yang seketika membuat dadaku sesak. Aku nggak ingin membahas alasan keterlambatanku pada siapa pun. Selain karena nggak menarik, nggak akan memberikan manfaat apa-apa. Apalagi teman seperti Silvi yang centil nggak akan peduli sama cerita sedihku.
“Kesiangan aja.”