Motor tua Kakek sudah tak punya harapan. Kali terakhir aku membawanya ke bengkel, abang bengkelnya sudah berpesan kalau motor tua itu tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Jadi sekarang motor tua Kakek resmi menjadi penghuni gudang. Sementara Kakek meratapi motor tuanya yang malang, aku berpikir keras untuk penghematan ongkosku sehari-hari.
“Gimana kalau aku tambah shift kerja, Kek?” FYI, sepulang sekolah—biasanya setiap pukul 3 sampai pukul 8 malam—aku bekerja sebagai pramusaji merangkap tukang cuci piring di rumah makan yang agak jauh dari rumah. Setidaknya menghabiskan waktu 15 menit naik sepeda motor tua Kakek.
Kakek yang tersedu-sedu menoleh. “Hah? Mau kerja sampai malam kamu? Terus sekolahmu?”
“Ya tetap sekolah.”
“Nanti kamu ngantuk di sekolah.”
“Daripada nggak sekolah?” Kakek mendecak. Tanda tak bisa melawan.
“Terserahlah. Kakek sedang berduka.”
Oh ya, lupa bilang… Kakekku memang agak lebai. Tapi aku sangat menyayanginya. Jadi aku tak mau membuatnya susah dengan merengek uang jajan dari gaji pensiunannya.
Sudah untung dia mau menampungku.
Apa sudah tepat untuk membahas di mana orangtuaku? Kurasa sudah.
Jadi, orangtuaku bercerai saat aku masih sekolah dasar. Tepatnya saat usiaku 12 tahun. Ibuku tak tahan hidup susah dengan Ayah—yang hanya pegawai kantor bergaji kecil. Jadi dia memikat laki-laki kaya dan sekarang hidup bahagia—mungkin. Sedangkan ayahku, setelah ditinggal 2 tahun oleh ibuku, memilih menikah lagi dengan janda anak satu.
Hidupnya pun mungkin bahagia.
Aku sempat tinggal dengan Ayah dan istri barunya, namun di bangku SMP kelas 8 aku meminta hidup sendiri—bersama Kakek.
Karena aku tak nyaman bersama istri baru Ayah yang sepertinya tak menyukaiku. Apalagi mereka punya anak baru—adik tiriku lah istilahnya.
Sekarang usianya sudah tiga tahun, kalau tidak salah.
Apa aku sedih berpisah dengan orangtuaku? Kurasa tidak juga.
Untuk apa sedih pada mereka yang tak peduli? Aku bahkan tak menangis saat ibuku meninggalkanku, kurasa. Tak ada gunanya menangisi hidup yang pedih. Ah, aku jadi semakin ingin cepat dewasa supaya aku lebih tahan menghadapi hal-hal menyedihkan tanpa menangis.
Aku menghampiri Kakek usai mengganti pakaian untuk pergi kerja.
“Biru pamit dulu.”
“Naik apa ke tempat kerja?”
“Kalau nggak angkot, palingan numpang entah sama siapa.” Kakek mendecak. Namun mengulurkan tangannya untuk kucium.
“Hati-hati di jalan. Cari duit yang banyak biar bisa ganti motor kakek.”
Aku terkekeh. “Iya, insya Allah.”
Kakek mengacak rambutku.
***
Rumah makan tempatku bekerja tidak begitu besar. Kapasitasnya mungkin hanya 50 orang, namun rumah makan ini selalu ramai pengunjung. Bukan karena main curang—seperti jin peludah makanan atau pelaris lainnya—tapi memang karena masakan kokinya enak. Aku sendiri takjub dengan makanan yang dibuatnya. Kadang-kadang, di saat lowong, aku akan mengintipnya memasak. Pria berusia akhir 40 tahun itu katanya sudah jadi koki sejak muda, jadi tangan dan lidahnya memang sudah berpengalaman. Dia pun telah dikenal banyak orang.
Begitu sampai, aku langsung menuju area cuci piring. Mendapati piring dan gelas-gelas sudah menumpuk.
“Hei, Ru! Buruan! Ada banyak orderan hari ini!” Faisal, rekan kerjaku di bagian cuci piring, sudah kewalahan. Aku tak mengulur waktu dan segera membantunya.
“Kok telat? Motormu mogok lagi?” tanyanya di sela-sela mencuci piring.