Saat Kita Jatuh Cinta

Republika Penerbit
Chapter #4

Agya; Kebiasaan di Hidupku

Sebelum sarapan, aku melihat kue yang kemarin kubeli tersaji manis di atas meja makan. Seingatku kue itu kuletakkan begitu aja di ruang tamu kemarin malam. Jadi Mama mengambilnya? “Kenapa kemarin nggak ngingetin mama soal ulang tahun kamu?” katanya sembari meletakkan segelas susu yang baru dituangnya dari kemasan 1 liter.

“Kemarin, kan Mama sibuk kerja. Sibuk berantem sama Ayah juga, kan.” Kalimat terakhir kuucapkan dengan suara pelan, meski nggak membuat Mama nggak mendengar ucapanku itu.

Aku diam. Meneguk susu.

“Sekolah kamu gimana?” Kebiasaan Mama yang kuhapal, dia akan mengalihkan pembicaraan kalau nggak mau membahas pertengkarannya dengan Ayah.

“Ya, gitu, deh.”

“Ditanya orangtua kok jawabnya malas gitu,” Mama berucap ketus.

Mulutku mengecil, “Ya, di sekolah belajar kayak biasa,” jawabku.

“Kapan ujian kenaikan kelas?”

Aku tertawa pendek. “Baru juga sebulan sejak libur semester awal, Ma.” Mama terperangah. Sadar atas ketidaktahuannya. Gurat malu yang muncul di wajah itu, membuatku tersenyum.

“Kerjaan Mama di kantor gimana?” gantian aku bertanya.

Mama duduk di depanku setelah selesai mengoles selai pada roti.

Beliau memberikan selembar roti selai cokelat padaku. Aku menerimanya.

“Padat. Klien mama kayak kebakaran jenggot semua kalo udah ngingetin deadline.” Sebagai informasi, mamaku bekerja di perusahaan advertising sebagai desainer. Mama dulunya kuliah di jurusan DKV.

Tadinya Mama nggak bekerja, jadi ibu rumah tangga setelah menikah dengan Ayah. Tapi, semua berubah saat Ayah dipecat dari pekerjaannya.

Ayah nggak dapat pekerjaan meski telah berusaha berbulan-bulan.

Akhirnya Mama yang mengambil alih tugas mencari nafkah. Imbasnya rumah tangga mereka jadi nggak seimbang, jadi sering bertengkar.

Sampai sekarang.

“Kapan Mama libur?” tanyaku.

“Belum tahu, tapi mama ada waktu luang akhir pekan ini.” Aku tersenyum.

“Kita ajak Ayah jalan-jalan yuk, Ma.”

Mama tersenyum dengan mata yang sedih. Kepalanya terangguk, tampak berat. Menunjukkan keengganan.

Senyumku pun pelan-pelan menghilang.

***

Udah lama aku merasa kalau sekolah bukan lagi tempat yang menarik. Aku rasa sejak Ayah dan Mama sering bertengkar, aku kehilangan semua semangatku belajar. Nilai-nilaiku menurun secara bertahap. Dulu saat kelas sepuluh aku masih berada di kelas anak-anak pintar. Sekarang di kelas sebelas, aku turun ke kelas yang lebih rendah. Tapi kabar baiknya, di kelas yang sekarang ada Biru.

Tepat saat aku memikirkannya, dia melintas di depanku. Hari ini dia nggak terlambat. Aku melihat punggungnya yang berjalan santai. Hari ini pun masih sama, dia masih mengabaikan orang-orang di sekitarnya.

Termasuk aku.

Tiba di dalam kelas, Diana, Silvi, dan Gita sudah berkumpul di meja kami. Mereka sudah heboh dengan obrolan pagi. Diana nggak henti-hentinya memuji kebaikan Indra—yang kuartikan cuma kebaikan secara materi, karena selain itu Indra nggak punya nilai plus sebagai laki-laki.

Ya, ganteng sih tapi… sisanya cuma statusnya yang adalah anak orang kaya.

Beda sama Biru. Aku meliriknya yang sedang duduk di kursi. Dimas menyambutnya dengan tepukan akrab, yang ditanggapi Biru dengan wajah datar. Dia nggak banyak berekspresi. Misterius. Bikin penasaran.

“Eh, Ya. Untung nggak telat hari ini,” ucap Diana. Aku menanggapi dengan senyum. Mereka melanjutkan obrolan, sedangkan aku memasukkan tas ke dalam laci.

Setelah itu yang terdengar hanyalah obrolan teman-teman, tanpa komentar dariku kecuali reaksi tawa, senyum, ataupun mulut ber’o’ ria. Aku memang jarang bercerita pada mereka. Topik pembicaraan yang kupunya sering nggak sesuai dengan mereka, jadi aku pilih jadi pendengar saja. Dan mereka nggak komplen sampai sekarang.

Sambil mendengarkan mereka mengobrol, aku melirik Biru. Seolah melihat cerminan diriku pada dirinya. Dia pun sedang mendengarkan Dimas dan temannya bicara. Tapi reaksi Biru berbeda denganku. Dia cuma diam. Benar-benar diam nggak menanggapi.

“Yaya!” sebuah suara mengejutkanku. Dari pintu kelas terlihat gadis berkerudung yang membuatku sedikit bingung. Dia berjalan ke arahku sementara aku mencoba mengenali siapa dia.

“Ah, Sarah!” Aku teringat kalau dia pernah jadi teman sebangkuku saat masih kelas sepuluh. Aku terkejut melihatnya sudah berhijab sekarang.

Lihat selengkapnya