Saat Kita Jatuh Cinta

Republika Penerbit
Chapter #5

Biru; Getaran yang Mendatangkan Rindu

Perempuan kemarin tidak naik transjakarta. Padahal aku sudah menyiapkan uang untuk mengganti uangnya. Aku sampai mencongkel celengan plastikku pagi tadi, karena kupikir aku akan menemukannya lagi di tempat yang sama.

Transjakarta melaju tenang, sedangkan aku melamun. Tadi saat sarapan, Kakek tiba-tiba bicara serius. Soal rencanaku usai lulus SMA.

“Kamu nggak ada keinginan buat kuliah?” tanya Kakek saat kujawab rencanaku setelah SMA adalah mencari pekerjaan lebih mapan.

“Memangnya Kakek bisa biayain?” Kakek hampir menjitak kepalaku.

“Setengahnya kakek bisa bayar, sisanya kamu.”

Aku mendengkus. “Buat apa kuliah kalau udah bisa ngehasilin uang, Kek? Mending uang hasil kerjanya ditabung.”

“Tapi ilmu itu, kan penting. Berkawan sama orang seusiamu pun penting.” Ah, aku kadang malas mendengar nasihat Kakek. Namun kuanggukkan saja kepala agar dia tak kesal.

“Kakek nggak selamanya bisa hidup menemani kamu.” Pernyataannya membuatku menoleh.

“Aku tahu, Kakek kan bukan manusia super. Tapi aku yakin Kakek masih hidup sampai aku berkeluarga nanti,” ucapku asal.

Kali ini jitakan darinya benar-benar mendarat di kepalaku. Tapi aku malah tertawa.

“Lulus sekolah nanti, kamu harus kuliah supaya bisa dapat kerjaan yang lebih mapan. Kakek nggak mau kamu jadi tukang cuci piring sampai tua.”

“Lulusan sarjana banyak yang nganggur, Kek. Percuma.”

Kakek mendecak. “Orang tua ngomong itu didengerin.” Aku mengangguk-angguk lagi.

Apa aku terlalu santai, sampai melewatkan perkiraan Kakek akan hidup berapa lama lagi? Gara-gara obrolan itu, aku jadi memikirkan rencana apa yang akan kulakukan usai lulus SMA nanti.

Di sekolah, aku masih memikirkan hal itu sampai tak menyimak pelajaran. Beberapa kali Dimas menyikutku agar melihat ke depan. Dia selalu saja mengamatiku sampai bisa tahu kalau aku sedang melamun.

“Mikirin apa lo, Ru?” tanya Dimas dengan suara berbisik.

Pandangannya sama sekali tak berpaling dari arah guru. Sedangkan aku menajamkan indra pendengar karena Dimas tiba-tiba bicara.

“Apaan?” aku balas bertanya. Di depan kelas, Pak Heru, guru Bahasa Indonesia, sedang memberikan penjelasan panjang mengenai sebuah materi.

“Gue perhatiin dari tadi lo ngelamun.” Dimas memang suka mencampuri urusan orang, atau hanya urusanku saja, aku sih, kurang tahu. Tapi dia sering bertanya padaku.

Hal-hal yang kulakukan sepulang sekolah pun, dia tanyakan.

“Oh, gue mikirin masa depan.” Dimas tertawa pelan.

Apa itu jawaban yang lucu? Aku tak menemukan frasa lucu dalam ucapanku barusan. Atau karena ucapan itu datangnya dari seorang ‘aku’ yang di matanya tidak serius memikirkan masa depan, makanya dia tertawa?

“Ternyata orang kayak lo mikirin masa depan juga?”

Orang kayak lo—katanya, yang kedengarannya meremehkan namun realitanya memang begitu. Orang sepertiku hanya memikirkan hal sederhana, memang. Saat dewasa, bisa menghasilkan uang untuk makan sehari-hari saja, rasanya sudah bersyukur. Aku tak berminat mendapatkan jatah banyak di dunia. Untuk apa juga.

“Dimas, apa cita-cita lo?”

Dimas menoleh kali ini. Dia tampak senang ditanyai, mungkin karena aku memang jarang bertanya padanya—kecuali soal PR yang tak kukerjakan.

“Gue sih penginnya jadi pilot.” Kukira itu candaan dari dialog film populer itu—yang tak pernah aku tonton sama sekali. Namun memang itu cita-cita Dimas. Ucapannya membuatku menyadari kalau selama ini dia memang punya gantungan kunci bentuk pesawat terbang. Bahkan case smartphone-nya pun motif pesawat kecil-kecil. Dia juga sering menggambar pesawat di belakang bukunya, yang selama ini kukira hanya kerjaan iseng.

“Hei, konseling kita masih dimulai pas awal kelas dua belas nanti. Lo masih bisa mikirin pelan-pelan.”

Aku mengangguk ringan, namun pikiran soal cita-cita tak lantas hilang dalam kepalaku.

Dimas pun tampaknya sadar aku belum menyerah. Dia tertawa pelan.

“Cita-cita bukan soal profesi aja, Ru. Lo bisa ngelakuin hal yang lo suka, juga bisa disebut cita-cita.”

Dewasa itu termasuk cita-cita, bukan? Aku ingin menanyakannya, namun urung. Takutnya malah ditertawakan. Jadi aku diam saja.

Memikirkan hal/kegiatan yang kusukai selama ini.

Aku tersadar.

Lihat selengkapnya