Saat Kita Jatuh Cinta

Republika Penerbit
Chapter #6

Agya; Retakan

Kepalaku rasanya berat sekali pagi ini. Pening. Tapi harus kupaksakan diri bangkit. Pergi ke sekolah.

Tadi malam aku menangis. Menangisi keinginan Mama untuk cerai dengan Ayah. Setelah Mama mengucapkan kalimat itu, emosiku membludak. Akhir pekan yang tadinya indah, seketika hancur.

Tiba di dalam kelas, hanya Diana yang berada di area meja kami.

Silvi dan Gita belum terlihat.

Diana melambai ringan saat melihatku muncul di pintu.

“Eh, lo habis nangis, ya? Mata lo bengkak.” Diana melihat sisa sembab di mataku. Padahal aku sudah berusaha menutupi dengan concealer, rupanya nggak ampuh.

“Iya, tadi malam berantem sama Mama, karena barengan PMS aku jadi sensitif banget dan nangis.”

“Oh. Biasa kok itu.” Aku nggak berkomentar. Setelah menaruh tas di laci dan duduk di kursi, nggak ada percakapan di antara aku dan Diana. Dia sibuk dengan ponselnya, chat dengan Indra, pastinya.

Sementara aku kembali berperang dalam kecamuk perasaan sedih dan marah. Mama memang masih merencanakan perceraian, namun aku nggak bisa bayangkan kalau itu benar-benar terjadi.

“Ya…” Diana memanggil. Aku baru sadar kalau dia sedang melihat ke arahku.

Aku agak kaget. “Kenapa, Na?”

“Gini, aku lagi bingung.” Memang terlihat kegelisahan di wajah Diana saat ini.

Diana mendekatkan wajahnya sebelum berkata, “Indra ulang tahun minggu nanti, cuma gue bingung mau ngasih hadiah apa.”

Oh, kukira hal apa. Aku nggak bisa diandalkan soal percintaan serta komponen di dalamnya. Mungkin karena aku sendiri belum pernah pacaran. Aku cuma sebatas suka pada seseorang—pada Biru.

“Um, coba aja kasih sesuatu yang bikin Indra ngerasa spesial.”

Mulut Diana maju sekian inci, menandakan dia sedang berpikir. Namun alisnya semakin mengerut tanda menyerah. “Jangan bikin gue jadi mikir keras dong! Kasih aja ide lo,” tukasnya.

Aku ingin marah, karena realitanya dia lah yang membuatku berpikir keras, sementara aku sendiri sedang punya masalah yang harus dipikirkan.

“Indra punya semuanya, mau beli apa-apa juga dia gampang,” ucap Diana.

“Kalau gitu bikinin dia sesuatu yang nggak mungkin bisa dinilai sama uang,” saranku.

“Apaan?”

Aku menghela napas pendek. “Yang simpel aja, kayak bikin gelang couple handmade, atau buatin dia kue ulang tahun sendiri, gitu.”

Wajah Diana berangsur cerah. Dia menjentikkan jarinya, “Ide bagus! Tapi sayangnya gue nggak bisa bikin yang begituan.”

Aku nggak bisa mengatakan apa-apa kalau dia nggak bisa.

“Lo bisa buat gelang handmade, kan, Ya? Pas praktek keterampilan kemaren lo bikin juga.” Ucapan itu mengandung makna ‘lo bisa bikinin gue gelang couple.’ Aku merasa seperti baru saja menginjak ranjau.

“Bantuin gue ya, Ya. Gue janji bakal belikan barang yang lo mau. Gimana?”

Aku ingin menolak. Namun wajah Diana yang memelas—dan nggak menerima penolakan—membuatku merasa terjebak dengan ide buatanku sendiri.

“Ya udah, nanti kubantu.”

Diana bersorak.

***

Di tengah pelajaran yang berlangsung, aku meminta izin ke UKS. Aku nggak bohong soal PMS yang kukatakan pada Diana tadi.

Sebenarnya perut dan pinggangku terasa sakit di hari-hari pertama datang bulan, jadi untuk memulihkan diri, aku pun bolos hingga jam istirahat.

Di dalam ruang UKS, aku berbaring. Penjaga UKS memberikan obat pereda nyeri dan air hangat. Namun aku hanya meminum air hangatnya saja. Aku nggak berani minum obat dengan perut masih kosong. Di rumah tadi aku nggak sarapan. Aku sengaja mengabaikan Mama yang sudah menyiapkan sarapanku di atas meja.

Tanpa sadar air mataku mengalir lagi. Memikirkan kalau orangtuaku benar-benar bercerai. Hak asuh pasti jatuh pada Mama. Seterusnya aku akan hidup tanpa keberadaan Ayah.

Ayah. Sekalipun aku membencinya saat ini, dia tetaplah ayahku.

Aku punya kenangan hangat bersamanya.

Aku ingat sekali bagaimana dia menggenggam tangan kecilku saat tertatih karena jatuh belajar mengendarai sepeda. Dia yang membelikan es krim setiap pulang bekerja. Juga ketika Ayah masih sering melihat buku PR dan nilai-nilai di lembar jawaban ujianku.

Ayah yang sekarang nggak menyisakan kehangatan lagi untukku.

Yang tertinggal hanyalah tatapan ketus dan ucapan yang kasar. Aku nggak tahu kalau luka yang dirasakan laki-laki bisa sebesar itu sampai mengabaikan orang-orang terdekatnya. Aku terpikir, apa Ayah sama sekali nggak mengingat kenangan-kenangan yang kami lalui bersama? Aku sedang mengusap air di wajahku ketika kudengar langkah kaki mendekat. Ada orang lain yang ingin istirahat di UKS. Aku langsung diserang rasa nggak nyaman—padahal baru lima menit—karena dia murid cowok. Jadi aku putuskan untuk pergi dari ruang UKS. Namun bukan kembali ke kelas, aku yakin otakku nggak akan bisa menangkap pelajaran apa pun hari ini. Langkahku pun menuju perpustakaan. Aku akan tidur di sana.

***

Kepalaku semakin terasa berat setelah terbangun dari tidur.

Lihat selengkapnya