“Nyonya, apakah mereka semua berkumpul malam ini?” tanya sang pengawal di kursi samping sopir, matanya mencuri pandang lewat spion tengah.
“Jika dia sudah memanggil kita harus datang apapun alasannya, lagipula pertemuan ini membahas tentang sebuah keluarga yang menjadi ancaman bagi bisnis beberapa anggota,” kata wanita yang dipanggil nyonya itu menjelaskan.
“Tapi, bukankah keluarga itu juga berinvestasi di bisnis milik, Anda? Apa Anda setuju melenyapkan mereka?” tanya pengawal itu lagi.
“Aku tak tahu,” desah wanita itu, “tapi, sekali dia mengatakan ‘ya’ kau tak punya pilihan lain selain menurutinya. Kau sendiri sudah tahu itu, bukan?”
“Saya dulu sungguh menyayangkan Anda masuk ke dalam lingkaran mereka, tapi apapun itu, saya akan melindungi Anda dan terus berada di sisi Anda,” kata pengawal lain, duduk di sebelah Nyonya itu.
“Terima kasih, Tom, kau memang bawahanku yang setia,” balas Nyonya itu. “Tapi, prioritasmu bukanlah diriku, melainkan putriku, jaga dia apapun yang terjadi, aku tak ingin terjadi apa-apa dengannya.”
Pengawal yang bernama Tom itu mengedikkan kepalanya.
“Sejujurnya, saya pribadi menyukai keluarga itu, kota ini lebih bercahaya sejak bisnis mereka berkembang, lagipula adik saya dulu juga pernah mendapat perawatan gratis di salah satu rumah sakit mereka” ungkap pengawal yang duduk di samping sopir tadi. Sopir mobil berdeham cukup keras, lalu pengawal tersebut sadar telah berbuat kesalahan besar, dia pun buru-buru meminta maaf kepada majikannya itu. Tapi, wanita itu tak peduli, dia memalingkan wajahnya, menatap keluar jendela, raut mukanya terlihat misterius.
Mobil sedan hitam itu meluncur cepat membelah jalanan padat Kota Batavia malam itu, beberapa kali mobil itu berbelok cepat di persimpangan jalan, seakan ingin menyesatkan siapa saja yang mengikutinya. Sampai akhirnya, berhenti tepat di depan sebuah rumah megah berasitektur abad pertengahan.
Seorang laki-laki tegap berpakaian hitam-hitam, keluar mobil sedan hitam itu. Sesaat laki-laki itu berdiri sembari melemparkan pandangan ke segala arah, matanya tampak menyelidik waspada, jalanan di sekitar situ sunyi dan gelap, bahkan tikus pun seolah takut untuk keluar, sangat cocok digunakan untuk pelaku tindak kejahatan melakukan aksinya. Setelah memastikan keadaan cukup aman, dia mengangguk ke dalam mobil. Lalu, seorang lelaki lain dengan setelan yang sama keluar dari kursi penumpang bagian belakang diikuti oleh seorang wanita bergaun hitam menenteng tas kecil di tangan kirinya. Sosoknya tinggi semampai, rambut hitam kelamnya dibiarkan terurai ke punggung. Dalam cahaya remang-remang, wajahnya tak terlihat begitu jelas. Mengangguk kepada kedua pengawalnya, wanita itu berjalan beriringan menuju rumah megah itu, sedangkan sedan hitam itu kembali berjalan pergi entah kemana.
Mereka bertiga menaiki undakan batu, memandang ke arah pintu kayu besar terbuat dari kayu mahoni, cat coklatnya mengilap nyaris tanpa cacat. Salah satu pengawal maju ke depan, mencengkeram gelang besar yang terpaut di pintu kayu sebagai pengetuk. Ia menggunakannya beberapa kali dan berhenti ketika pintu berderit, mengayun terbuka. Seorang penjaga berwajah keras, muncul membuka pintu, berdiri mengancam, menenteng senjata api militer di tangan.
“Perkenalkan diri kalian!” seru penjaga tersebut menggeram, menampakkan giginya yang besar-besar. Ada bekas luka mengerikan memanjang di dahi kanannya.
Pengawal pendamping wanita itu berniat membuka mulut, namun sang wanita sendiri mendesak maju ke dalam, sorot lampu ruang depan menjelaskan betapa wanita itu memiliki paras yang cantik jelita walaupun sudah berusia paruh baya. “Katakan pada bosmu, Dayu Arum telah datang” katanya dingin.
Mata penjaga pintu itu membelalak, kaget mendengar nama itu disebut. Ia pun segera meminta maaf dan mempersilakan wanita yang bernama Dayu Arum itu untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum menutup pintu, penjaga itu melirik sejenak ke jalanan, memastikan tidak ada orang yang mencurigakan di luar sana.
Ruang depan itu cukup luas dan dekorasinya sangat mewah. Dindingnya penuh lukisan bergaya abstrak abad pertengahan. Beberapa penjaga keamanan berwajah serius duduk di balik meja seperti pada lobi hotel pada umumnya. Mereka semua bersenjata lengkap dan tampak berbahaya. Ada sedikit gerakan mencurigakan mungkin saja mereka tak segan-segan menggunakan senjata api itu untuk melumpuhkan penyusup, bahkan membunuhnya.
Seorang penjaga lainnya berdiri dari duduknya, berjalan menyeberangi ruangan menghentikan rombongan Dayu Arum. Bercakap sejenak dengan penjaga pintu dalam bisikan misterius, keduanya beberapa kali melirik rombongan Dayu Arum disertai beberapa isyarat aneh, sangat mencurigakan. Setelah mendengar bisikan dari temannya, penjaga itu melemparkan senyum ramah kepada Dayu Arum dan memintanya untuk meninggalkan salah satu pengawalnya di lobi depan, sebab peraturan hanya memperbolehkan membawa satu pengawal saja untuk masuk ke dalam ruang pertemuan.
Dayu Arum setuju, dia pun menyuruh salah satu pengawalnya untuk mematuhi aturan itu. Lalu, mereka pun melanjutkan menyusuri lorong panjang berkarpet gelap, di sepanjang dinding berderet lukisan antik terpajang, lorong itu berbau harum memuakkan yang menyengat hidung. Rombongan itu berhenti di depan pintu marmer putih. Dua penjaga berwajah sangar bersenjata lengkap berdiri di kedua sisi pintu. Penjaga yang bertugas mengantar, memutar pegangan pintu peraknya perlahan. Lalu, mempersilakan Dayu Arum dan pengawalnya masuk.
Aula mewah luas menyambut mereka, begitu Dayu Arum melangkahi ambang pintu. Di tengah-tengah aula terdapat meja kayu panjang mengilap dengan banyak ornamen kecil, dan berbagai makanan serta minuman terhidang di atasnya. Daging ayam panggang, steak, babi guling, sate kambing, bakso ikan, kentang rebus, kaldu, saos tomat, dan minuman anggur.
Beberapa orang duduk mengelilingi meja itu, saling berbisik dan berbicara, kadang diselingi oleh gelak tawa. Penerangan datang dari cahaya lilin di meja, dinding, dan api yang menari-nari di perapian di bawah rak marmer indah, di atasnya terpajang lukisan seorang bangsawan zaman dulu berbingkai sepuhan emas murni.
Seorang pria tampan berkacamata berbingkai emas, berusia kurang dari lima puluhan tahun namun masih terlihat muda, memakai setelan jas rapi, dan rambut klimis di sisir ke belakang. Senyum cerah mengembang di wajahnya ketika melihat Dayu Arum, begitu pula wajah Dayu Arum semringah melihat pria itu.
Pria itu lantas berdiri dari kursinya, mencium lembut punggung tangan wanita tersebut, Dayu Arum tersipu malu, pria itu lantas menarik sebuah kursi di dekatnya dan mempersilakannya duduk. Sementara itu, pengawal Dayu Arum berdiri di belakangnya, seperti para pengawal lainnya yang berada di dalam ruangan.
“Kukira kau tidak datang malam ini,” kata pria tampan itu, matanya menatap tajam dari balik kacamata bingkai emasnya.
“Mana mungkin aku tidak datang, sudah lama kan kita tidak bertemu” timpal Dayu Arum tersenyum genit. “Kurasa hampir satu tahun kita tak bertemu, kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu,”
“Ah, memang, kesibukanku membuat jarak antara kita, aku masih ingat terakhir kali kita bertemu di restoran Jepang, entah sudah berapa lama itu” kata pria itu.
“Dan kau menggodaku, hingga almarhum suamiku marah-marah kepadamu,” ujar Dayu Arum terkikik geli. Lalu dia merendahkan suaranya dalam bisikan genit. “Tapi, sekarang mau menggodaku sampai mabuk pun, aku ikhlas lahir batin, karena kini tak ada yang akan menganggu hubungan kita seperti dulu”
Pria itu tertawa cukup keras, hingga sebagian tamu melihat ke arah mereka. Tapi, wajah pria tersebut tidak menunjukkan bahwa ia sedang tertawa, melainkan hanya berpura-pura saja. Tapi, Dayu Arum tidak melihatnya, sebab wajah sang pria tertutupi oleh bayang-bayang gelap.
“Kau benar-benar pintar berkelakar sejak dulu,” ucap pria berkacamata berbingkai emas itu.