Sabarong

Rizky
Chapter #2

DANADYAKSA RAJAMUKTI

Beberapa hari setelah peristiwa itu, di dalam rumah di kawasan elite Kota Batavia. Seorang pemuda berusia sembilan belas tahun, mengenakan kaos putih bergambar tokoh anime dan bercelana pendek selutut, berambut hitam dan berkulit sawo matang, berbaring nyaman di atas kasur empuk, matanya tertutup dan napasnya naik turun dengan lembut. Julian Yudhistira Kusuma, nama pemuda itu.

Julian perlahan membuka matanya, terbangun dari tidur siangnya. Dari sudut matanya ia melihat samar-samar, Lidya, adik perempuannya berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang, menatap dirinya dengan pandangan mencela. Usianya terpaut dua tahun dari kakaknya, wajahnya cantik, berambut pendek kecokelatan.

“Kenapa kau tidur di kamarku?”

“AC kamarku mati,”

”Lagi? Bukannya, kemarin sudah diperbaiki sama tukang AC?”

“Mungkin,”

Julian lantas duduk di pinggir ranjang, menguap panjang lebar sambil menggaruk-garuk kepalanya, ia agak merasa pusing bangun mendadak dari tidurnya. Lalu, ia kembali memandang Lidya, matanya terpaku pada rambut pendek cokelat milik adiknya itu. “Kau memotong rambutmu lagi?”

“Ya, aku lebih suka rambut pendek seperti ini” kata Lidya sambil melirik ke atas, tangannya memilin-milin rambut barunya.

“Kenapa? Padahal kemarin sudah agak panjang, sesekali cobalah berambut panjang,”

“Aku lebih suka rambut pendek seperti ini, lebih membuatku percaya diri, dan tentunya leluasa dalam bergerak, rambut panjang juga membuat gerah,”

“Padahal kau punya wajah cantik, tapi sungguh sayang kau seperti abang-abang preman pasar,” komentar Julian sungguh-sungguh. “Wajahmu juga agak dekil, dandananmu juga semakin aneh,”

“Hei, aku tidak seperti itu! Aku juga senang memakai gaun dan rok!” geram Lidya sedikit terpancing emosinya. Wajahnya berubah masam.

“Ditambah kau cepat sekali naik darah, keriput takkan lama lagi bermunculan di dahimu itu, tunggu saja,” ejek Julian nyengir menyebalkan.

“Ya, teruskan saja, akan kuadukan pada kakek kalau kau kembali berkelahi dengan para berandalan itu!” balas adiknya itu mengancam, menyipitkan mata.

Julian terperanjat kaget. “Hoy! awas saja kalau kau lakukan itu,” ancamnya dengan nada serius. “Aku heran, bagaimana bisa kau tahu?!”

“Kenapa memangnya? Soal bagaimana aku bisa tahu itu ra.... ha.... si... a,” Lidya menyeringai penuh kemenangan.

Julian tak menjawab, matanya menyapu pandangan dengan cepat ke segala sudut kamar, ia menemukan secarik kertas kusut di atas meja belajar di dekatnya, secepat kilat ia meraup dan melemparkannya ke arah muka adiknya.

Lidya tersentak kaget, ketika kertas kusut berbentuk bola mengenai dahinya. Kakaknya tertawa terbahak-bahak melihat adiknya tampak marah. Berniat membalas perbuatan Julian, Lidya mengambil kertas itu dari lantai, namun sesuatu mencegahnya untuk melempar balik kertas itu.

“Kau dengar itu?”

“Apa?” tanya Julian berusaha menahan tawa.

Lidya melempar pandangan kesal pada kakaknya, raut wajahnya berubah kebingungan, memasang telinganya baik-baik, berusaha menangkap suara aneh itu. Sayup-sayup ia mendengar suara seperti orang yang sedang ingin masuk secara paksa ke dalam rumah.

Kemudian, cukup jelas di telinganya, terdengar suara-suara ribut dari ruang tengah.

Julian berdiri tegak, wajahnya berubah serius, dia juga mendengar seperti yang didengar oleh adiknya. Dia yakin, hanya ada dia dan Lidya di rumah ini. Ayah dan ibunya sedang ada urusan di luar negeri. Satpam rumah, Pak Joko, izin mengantar istrinya, Bu Rusmiati, yang juga pembantu rumah menengok orang tua mereka di kampung dan baru bisa pulang besok pagi-pagi buta karena tanah desa mereka terkena longsor dan menutupi akses jalan utama.

“Perampok?” katanya nyaris berbisik kepada Lidya.

Lidya mengangguk pelan, dia mulai merasa cemas.

“Hubungi kakek dan ambil busurmu,” perintah Julian serius pada adiknya.

Lidya menyambar busur miliknya yang tergantung di dinding kamar, beserta tabung penuh anak panah di ujung ranjang. Julian berjalan menyeberangi kamar, mengambil tongkat baseball, berniat menjadikannya sebagai senjata.

“Hei, aku lupa ponselku berada di ruang depan! Tadi aku mengisi ulang baterainya di ruang tamu,” Lidya baru menyadarinya ketika ia tak menemukan telepon genggam miliknya di saku baju atau pun di tiap sudut kamar.

Julian melongo beberapa detik, lalu ia memegang lembut bahu adiknya itu dan berkata, “kita pikirkan itu nanti...”

Julian berjalan pelan, memberi isyarat pada Lidya untuk bersiap memasang anak panah dan menyuruhnya mengikuti dirinya dari belakang. Berdiri diam sejenak di depan pintu, memandang ruangan yang gelap. Kemudian, tanpa suara bergerak gesit keluar dari kamar menuju ruang depan.

Ketika berada di luar, Lidya terkejut dan hendak berteriak, beruntung Julian cekatan membungkam mulutnya dengan telapak tangan, menyuruhnya untuk diam sambil menunduk di belakang punggungnya. Terlihat beberapa orang berkumpul di ruang depan remang-remang, bayangan mereka seperti hantu dengan latar belakang sinar bulan yang masuk melalui jendela. Kelompok itu saling berbisik tajam, merencanakan sesuatu; ada enam sampai tujuh, sejauh ini tidak melakukan apa-apa. Tapi, di punggung mereka nampak seperti ada benda menyerupai tongkat atau malah sebilah pedang.

 “Apa yang sedang mereka rencanakan?” bisik Lidya cemas, mencengkeram erat lengan Julian.

“Pastinya bukan mengadakan acara temu kangen,” jawab Julian asal. Pandangannnya masih menatap tajam pada kelompok itu. Lalu, ia berbalik memandang Lidya, walau hanya nampak siluet badannya yang nampak. “Panah mereka dengan busurmu, hindari bagian vital, tunggu sampai aku memberi aba-aba, dan...” ia berhenti berkata ketika merasakan napas adiknya memburu.

“Tenang, Dik. Ambil napas dalam dan keluarkan pelan-pelan, ingat semua latihanmu dan kita akan baik-baik saja,” tambah Julian memegang lembut punggung tangan Lidya, mencoba menenangkannya. Lidya mengangguk pelan. Lidya menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Setelah merasa tenang ia membuka mata, dan...

Lampu mendadak menyala terang, membuat Lidya dan Julian mengerjapkan mata karena silau.

“Sialan, apa yang...

“Dasar tikus-tikus kecil kalian ini,” kata suara rendah menggeram.

Lihat selengkapnya