Sabarong

Rizky
Chapter #3

TAWARAN KAKEK

Mata Julian perlahan-lahan terbuka. Dia terbangun dari pingsannya, setelah berjam-jam pingsan. Seketika, dia langsung merasakan nyeri dan memekik kesakitan, merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Menoleh ke samping, ia melihat adiknya, Lidya, berbaring melingkar seperti kucing di atas sofa empuk tempat duduk penunggu pasien. Masih tertidur pulas, napasnya naik turun teratur. Julian bersyukur adiknya baik-baik saja. Dia mencoba bangkit dari tidurnya, sedikit mengerang sakit ketika ia melakukannya. Namun, akhirnya ia berhasil duduk di tepi ranjang. Memandang sayang ke arah adiknya.

Pintu kamar mengayun terbuka, Julian menoleh, melihat seorang pria tua mengenakan jas putih seragam dokter masuk ke dalam kamar, wajahnya nampak letih dan rambutnya sudah penuh dengan uban, seakan beban berat sedang disandangnya saat ini. Walau begitu sosoknya berwibawa dan terlihat bijak. Dia adalah Kakek Julian dan Lidya, Prof. Dr. dr. Narangga Kusuma, seorang pemilik sekaligus direktur utama di beberapa rumah sakit terkenal di Nusantara, selain itu dia juga memiliki perusahaan yang bergerak di bidang farmasi, teknologi di bidang alat-alat kesehatan, ekspor impor alat kesehatan, dan puluhan perusahaan lainnya, dan ayah kandung dari ayah Julian dan Lidya.

“Kakek,” sapa Julian tersenyum hampa.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Kakeknya, sembari duduk di dekat Julian.

“Cukup baik, tapi bukan baik dalam keadaan bisa bergerak bebas,” gumam Julian mengerutkan kening, ia mengerling kepada Kakeknya. “Bagaimana keadaan rumah? Sudah berapa lama aku pingsan?”

Kakeknya menatap tajam mata Julian dari balik kacamatanya. “Apa pendapatmu tentang Yaksa?” tanyanya, tak menghiraukan pertanyaan dari cucunya.

Julian melongo, terperanjat, merasa kaget dan tak percaya ketika Kakeknya langsung bertanya tentang Yaksa dan anehnya lagi mengenali dia.

“Bagaimana Kakek bisa tahu tentang Yaksa?”

“Semalam kau mengigau menyebut-nyebut namanya, lalu aku menyimpulkan bahwa yang menyerang kalian adalah Yaksa dan kelompoknya...”

Wajah Julian memerah mendengarnya, ia merasa malu.

“...Dulu dia murid sekaligus temanku, kubesarkan bersama ayahmu di padepokan, tapi sesuatu membuatnya pergi sebelum ia cukup bijak memilih antara yang benar dan salah.” lanjut Kakek, ada sedikit nada kecewa dalam suaranya.

“Kenapa dia pergi? Apa Kakek tak berusaha menghentikannya?” Julian mulai penasaran dengan Yaksa.

Kakek diam sejenak, melepas kacamatanya, membersihkan dengan sapu tangan di saku jasnya, lalu dipakainya kembali dan berkata, “itu merupakan salah satu kesalahan terbesarku, saat itu dia merupakan salah satu murid berbakat, tak ada yang bisa menandingi kecepatannya dalam belajar ilmu beladiri, ditambah dengan kemampuan fisik yang kuat dan diberkati otak yang cerdas. Tapi, suatu hari sepulang dari rumahnya di Singosari, sifatnya mendadak berubah, dulunya yang periang menjadi pendiam dan penyendiri. Sudah berkali-kali aku bertanya apa sebabnya dia berubah seperti itu, tapi ia selalu menghindari pertanyaanku dan puncaknya tiba-tiba Yaksa berpamitan kepada semuanya, dengan alasan mencari pengalaman dan mengejar impiannya di luar sana, aku menyadari sikapnya yang aneh, tetapi aku pun tak bisa menghalangi dia pergi keluar sana,”

“Kenapa kau tak berusaha untuk mencegahnya?”

Kali ini Kakek menatap Julian dengan pandangan berbahaya, membuat Julian berjengit tak nyaman.

“Nak, kuberi tahu padamu, jangan pernah sekali pun kau menghentikan impian seseorang, apapun alasannya, kau mengerti?!” Kakek berkata dengan nada tinggi, sesaat ia tampak emosional. “Kau hanya boleh memberinya suatu pandangan agar tidak terjerumus ke dalam lembah hitam, tapi selebihnya kau harus percaya padanya.”

“A-a-aku mengerti, Kek,” kata Julian gagap agak takut, kemudian terdiam.

Lidya bergerak dalam tidurnya, pelan-pelan ia membuka mata, dan menggeliat.

“Kau sudah bangun, Lid,” sapa Kakeknya tersenyum ramah kepada cucu perempuannya itu. Wajahnya kembali rileks.

Lidya duduk tegak, menggosok-gosok mata dengan punggung tangan. Mulutnya menguap terbuka lebar, tanpa ia tutup dengan tangannya.

“Hei, tutup mulutmu! Tak sopan itu," tegur Julian kepada adiknya.

Lidya menatapnya dengan pandangan mencela. “Kau sudah siuman setelah pingsan semalaman rupanya,”

“Ya, tentu saja.”

“Kau tidak apa-apa, kan?” ekspresi Lidya berubah khawatir. Wajahnya agak pucat, sepertinya dia begadang semalaman. Ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Ia terlihat letih.

“Perutku masih sakit, tapi selebihnya aku baik-baik saja,” balas Julian mengernyi tak nyaman ketika dia mengubah posisi duduknya.

Lidya tersenyum mendengarnya, kemudian ia berpaling kepada Kakeknya. “Kek, bagaimana keadaan rumah kami, apa ayah dan ibu sudah tahu? Apa mereka sudah menghubungi kita?” nadanya berubah serius ketika ia bertanya beruntun.

Raut wajah kakek menegang. Julian gelisah melihatnya.

“Rumah kalian terbakar seluruhnya, untuk sementara kalian berdua tinggal bersamaku. Sedangkan mengenai orang tua kalian, jangan sekali-kali menghubungi mereka, kecuali mereka sendiri berkeinginan untuk mengontak kalian,” tegas Kakek tajam, memeringatkan.

Julian dan Lidya terkejut, mereka berdua sudah siap mendengar kabar terburuk mengenai tempat tinggal mereka. Tetapi, mengenai ayah dan ibu yang tak boleh menghubungi mereka, itu membuat Julian dan Lidya merasa ada yang aneh dengan ucapan kakeknya. Seperti ada rahasia yang disembunyikan.

“Kenapa ayah dan ibu tak boleh menghubungi kami?!’ Lidya bertanya bingung.

“Benar, kenapa bisa begitu? Apa salah kami?!” desak Julian kepada Kakeknya. Tangannya mencengkeram erat besi pinggiran ranjang.

Kakek mengembuskan napas panjang, wajahnya berubah murung.

“Aku menduga ada yang menfitnah mereka, berkas-berkas proyek senilai jutaan dollar yang dikerjakan bersama pemerintah telah hilang, dicuri pada malam saat rumah kalian terbakar dan tiba-tiba saja pihak Kepolisian Batavia mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa ayah dan ibu kalian terlibat tindak pidana korupsi dan pencucian uang, dan saat ini untuk menghindari itu, mereka kusembunyikan di luar negeri sampai kasus ini jelas, bukan untuk menghindari hukum, tapi demi keselamatan mereka berdua,: ungkap Kakek.

“Keselamatan?” ulang Lidya bertanya. “Apa maksudmu, Kek? Siapa yang berniat mencelakai mereka?”

“Seseorang, tapi aku belum memiliki bukti jadi aku hanya mengasumsikan bahwa dialah dalang di balik kejadian ini,” jawab Kakek. “Seseorang yang menyuruh para penjahat yang menyerang kalian semalam. Seseorang yang sangat berkuasa di negeri, bergerak di bayang-bayang kegelapan Kota Batavia”

“Siapa, Kek?” tuntut Julian tak sabar.

“Nanti, jika waktunya tepat kalian akan kuberitahu,”

Julian dan Lidya tak percaya apa yang dikatakan oleh kakeknya itu, keduanya saling bertukar pandang. Sejenak pikiran mereka tiba-tiba kosong dan sesuatu melintas di ingatan Julian.

Lihat selengkapnya