Sabarong

Rizky
Chapter #4

TEMAN-TEMAN BARU

Julian keluar dari rumah sakit tanpa sedikit merasakan rasa sakit di pinggangnya, beberapa hari tinggal di rumah sakit tubuhnya terasa kaku ketika berlatih beladiri kembali. Dia harus secepatnya memulihkan kondisinya terlebih dulu. Beruntung libur kuliah hampir tiba, Julian menyusun jadwal latihan pribadi untuk meningkatkan ketahanan fisiknya pada saat liburan nanti. Lidya sendiri sudah mulai berlatih beberapa hari lalu, namun banyaknya tugas sekolah dan semakin dekatnya ujian semester lumayan membuat keteteran, dia harus bisa membagi antara latihan dan sekolahnya agar tidak tertinggal dalam pelajaran.

Mereka berdua melakukan latihan meningkatkan kekuatan fisik bersama Fadli, kepala keamanan perusahaan milik orang tua mereka yang dulunya merupakan pensiunan dari angkatan darat Republik Nusantara, kini dia mengabdi kepada Kakek Julian, untuk membalas jasa setelah apa yang diberikan padanya di masa lalu. Setelah berlatih fisik yang melelahkan, Julian dan Lidya langsung digembleng dengan keras berlatih beladiri di bawah bimbingan Kakek. Tak hanya berlatih tangan kosong saja, mereka juga dibekali dengan kemampuan menggunakan senjata; seperti busur, tongkat, ataupun berbagai jenis senjata lainnya. Namun, Kakek melarang keras penggunaan senjata tajam sebab ia ingin membentuk mereka sebagai pengadil bukan pembunuh. Kakak beradik itu juga dilatih untuk menghadapi situasi di lapangan; berlatih parkour, menyeberang antar bangunan menggunakan tali, dan berlatih di dalam air. Itu semua mereka lakukan hampir setiap hari.

Julian terengah-engah setelah berlatih tanding dengan kakeknya, ia menjatuhkan diri di pojok ruangan, berbaring menatap langit-langit atap gedung tempatnya berlatih. Dadanya naik turun karena kelelahan.

Lidya berjalan menghampiri, melemparkan handuk putih bersih kepada kakaknya dan duduk selonjoran kaki di dekatnya. “Bagaimana latihanmu? Apa ada kemajuan dibanding sebelumnya?”

Julian menutupi wajahnya dengan handuk yang dilempar Lidya tadi kecuali mulutnya. “Menang melawan orang tua itu nyaris mustahil untuk dilakukan, walau fisiknya tidak muda lagi dia sangat tangguh, beberapa kali ketika aku hampir saja membantingnya ke lantai, dia selalu berkelit dan membalikkan seranganku, si tua itu memang hebat...” katanya, ada nada bangga dalam suara Julian.

“Siapa yang kau sebut ‘si tua’ itu?!” gerutu seseorang datang mendekat.

Julian dan Lidya terkesiap, berdua mereka kaget ketika kakek datang tiba-tiba, Julian bahkan langsung terduduk. Melihat wajah kakeknya seperti mau marah, keduanya hanya nyengir seperti orang bodoh salah tingkah.

“Nak, dengarkan, walau aku ini sudah tua tapi melumatkan tulang kalian aku sanggup,” Kakek menggerutu setengah bercanda. “Jadi, kau sudah selesai berlatih, Lid?”

Lidya mengangguk tak bersemangat.

“Ada apa? Apa ada yang mengganggumu waktu berlatih tadi?”

“Tidak, bukan itu,”

“Lalu apa?”

“Sudah lebih dari seminggu kita melakukan latihan, latihan, dan latihan setiap harinya. Setiap hari juga kemampuan serta kondisi fisik kami semakin meningkat, keahlian beladiri dalam menggunakan senjata maupun tangan kosong sudah kami kuasai. Apa Kakek akan terus memberikan porsi latihan seperti ini pada kami? Tanpa ada sesuatu lain yang ingin kau jejalkan pada otak kami. Bagaimana bisa mengadili para penjahat, jika kami tak dapat informasi tentang mereka? Jika hal seperti ini terus dilanjutkan, bisa jadi kata-kata Julian ada benarnya, salah satu dari kami atau bahkan kami berdua bisa tewas karenanya,” ucap Lidya panjang lebar mengutarakan kegundahan di hatinya. Julian memandang wajah adiknya, dan berpikir bahwa apa yang dikatakan olehnya ada benarnya juga.

Sejenak keheningan menguasai, mata Julian dan Lidya terpancang lurus ke arah Kakek mereka.

Kakek menghela napas panjang. Dia tampak terlihat sedih dan lelah. “Aku sudah menduga kalian akan menuntut kejelasan soal rencana ini, tapi memang kata-kata Lidya ada benarnya, kita tak bisa menunggu sebulan lagi, besok setelah pulang sekolah akan kuberikan misi pertama untuk kalian, pengalaman terjun di dunia ini harus secepatnya kalian terima”

“Kenapa tidak sekarang saja?” kata Julian bertanya sedikit menuntut, heran.

“Kalian harus istirahat, lagipula kudengar Lidya mendapatkan banyak tugas dari sekolah yang harus segera diselesaikan. Kau juga banyak tugas, kan?” tanya Kakek kepada Julian.

“Tidak, tak ada tugas kampus” Julian menggelengkan kepalanya.

Lidya menatap kesal kakeknya, mulutnya membentuk kerucut.

“Ada apa?” tanya Kakek kepada Lidya sambil membetulkan letak kacamatanya yang turun ke hidung.

“Apa Kakek benar-benar percaya dengan kemampuan kami?” Lidya bertanya tajam.

“Tentu saja, apa maksudmu?” tuntut Kakek bingung.

“Kalau kau benar-benar percaya dengan kami, kenapa kau tak mengizinkan aku dan Julian keluar malam ini hanya sekadar untuk melihat keadaan Kota Batavia di malam hari?”

Julian hendak membuka mulut, tapi lirikan tajam dari Lidya membuatnya terdiam kembali.

“Sudah kubilang besok saja, kau harus menyelesaikan pekerjaan rumahmu terlebih dulu, aku tak ingin sekolahmu terbengkalai,” tegas Kakek.

“Tugasku sudah selesai kok sejak tadi, sebelum latihan aku sudah mengerjakannya,” ungkap Lidya enteng.

Kakek berpikir sejenak, kedua tangannya dilipat di depan dadanya. Jarinya bergerak cepat seperti sedang mengetuk.

“Kek, bagaimana soal usulanku tadi?” ulang Lidya agak menuntut.

Kakek tetap diam, Lidya berbalik menghadap Julian berharap dukungannya. Tapi, Julian hanya membelai lembut bahu Lidya sambil menggelengkan kepala dengan pelan.

Kakek tiba-tiba berdeham keras, Julian dan Lidya serentak memandangnya.

“Baik, malam ini kuizinkan kalian untuk keluar, tapi bukan untuk sekadar melihat-lihat atau berpatroli di malam hari, melainkan melaksanakan misi pertama kalian yang seharusnya besok kuberikan”

Wajah Lidya berubah cerah. Ia nampak girang. Tapi, Julian terlihat khawatir.

“Tak bisakah kami berdua hanya sekadar melihat-lihat keadaan kota di malam hari. Kalau ada penjahat yang harus diadili pun mungkin selevel pencuri atau pencopet, gitu?”

“Tidak, percuma kalau hanya jalan-jalan itu tak lebihnya seperti piknik," olak Kakek tegas. “Misi ini pun tidak terlampaui sulit, mungkin kalian sedikit mendapat halangan tak terduga, tapi kupikir kalian mampu mengatasinya”

“Tapi, itu kan jika kami sudah mendapat pengalaman?!” protes Julian keras.

“Pengalaman akan kalian dapatkan seiring berjalannya waktu,” ucap Kakek tenang.

“Tapi, kan...”

“Sudahlah, Ju,” sela Lidya mencoba menenangkan Julian. “Kita ikuti saja apa kata, Kakek.”

“Ada kalanya kita tak harus menuruti semua yang dikatakan Kakek,” gerutu Julian makin kesal.

“Sudahlah, diam saja!” geram Lidya agak gemas memperingatkan.

 Melihat kedua cucunya saling beradu kata-kata, akhirnya Kakek kembali angkat bicara. “Memang benar apa yang dikatakan Julian, tak semua yang kukatakan harus kalian turuti, kalian sendiri memiliki pilihan, tapi aku tetaplah orang tua yang harus kalian hormati. Paham?”

Julian dan Lidya mengangguk bersamaan. Mereka berdua bertukar lirikan mata masih saling menyalahkan satu sama lain.

“Aku tahu kalian kurang pengalaman dalam dunia ini,” kata Kakek melanjutkan. “Aku tahu apa yang dicemaskan oleh Julian. Keselamatan kalian adalah prioritas utama bagiku, aku sudah menilai kemampuan kalian beberapa hari ini, memang kalian belum siap sepenuhnya. Tapi, jika kalian ingin turun ke lapangan, kalian harus siap menghadapi ancaman seperti apapun. Cepat atau lambat, tidak ada kata tidak siap”

Lihat selengkapnya