Mereka semua mengikuti langkah Kakek dari belakang, menuju tempat di mana beberapa monitor besar lengkap dengan berbagai peralatan pendukung yang canggih berada.
Kakek berbisik pada Alex untuk menunjukkan sesuatu kepada Julian dan Lidya di layar monitor. Alex mematuhi perintah Kakek, jari-jemarinya menari cepat di atas keyboard dan mouse, membuka beberapa folder di komputer, dan munculah seorang wanita paruh baya berwajah cantik, lengkap dengan biodata dirinya.
“Mungkin kalian sudah mengenalnya, dia adalah Dayu Arum, mantan model papan atas dan sekarang berubah haluan menjadi seorang desainer terkenal, dia juga memiliki jaringan bisnis yang luas, khususnya di bidang konveksi. Beberapa tahun lalu, suaminya yang seorang ilmuwan asal Amerika meninggal karena penyakit jantung, ada dugaan penyebab kematiannya karena isu mengenai Dayu Arum berhubungan dengan seorang pengusaha kaya. Dari ilmuwan itu, ia dikaruniai seorang putri, kira-kira usianya sama denganmu, Julian.” Jelas Kakek panjang lebar, lalu dia melanjutkan penjelasannya.
“Akhir-akhir ini, Dayu Arum diduga terseret kasus mengerikan, terlibat dalam penjualan anak di bawah umur untuk diselundupkan serta dijual ke luar negeri, bekerjasama dengan jaringan prostitusi ilegal internasional. Tak hanya itu, ia juga disinyalir menjadi agen bagi para mahasiswi beberapa universitas di Batavia untuk dijual kepada pria hidung belang atau bos-bos besar, bahkan hingga pejabat pemerintah pusat, sebagai ganti agar meluluskan proyek-proyek perusahaan miliknya.” Tambah Kakek.
Di saat Kakek menjelaskan, Alex mengubah potret tentang Dayu Arum, mulai dari saat dirinya masih muda, bersama keluarga, saat menjadi model, desainer, pengusaha, dan foto bersama putrinya. Julian memasang tampang bosan, dan tidak terlalu tertarik melihat foto wanita dewasa, namun tiba-tiba ia tersentak kaget.
“Tunggu dulu, coba kau kembali ke gambar sebelumnya!” kata Julian kepada Alex.
“Apa kau terpesona dengan wanita berumur? Memang sih tubuhnya bagus dan cantik walau sudah memasuk usia senja” kata Alex terkekeh, setengah bercanda.
“Bukan, kayaknya aku pernah tahu atau mungkin malah mengenali sosok anak perempuannya itu,” kata Julian mencoba mengingat-ingat.
“Benarkah? Coba kau ingat-ingat lagi, siapa tahu kau bisa mendapatkan nomor kontak gadis itu” goda Alex nyengir lebar.
“Dasar cowok," gerutu Lidya. Anjani hanya tersenyum kecut.
Julian mencoba mengingat-ingat tentang gadis itu. Terlintas di benaknya akan sosok gadis yang pernah mengikuti kejuaraan olimpiade fisika antar kampus se-Nusantara.
“Ah, aku ingat sekarang, dia pernah mengikuti kejuaraan fisika di kampus, tidak menang sih, tapi berhasil masuk final. Dan, dia memang lumayan cantik, ehehe,” ujar Julian nyengir.
“Kau benar, dia pernah masuk ke dalam final kejuaraan fisika di kampus, aku sendiri mengalahkannya di final kala itu,” sambar Anjani jujur, menunduk malu.
“Benarkah? Wow, kau jenius!” puji Julian tercengang, membuat wajah Anjani memerah.
“Terima kasih,” balas Anjani tersipu.
“Lalu, apa yang kita lakukan dengan wanita itu, Kek? Menangkapnya?” tanya Lidya tak sabar.
Kakek menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kalian hanya perlu masuk ke dalam kantornya, dan ambil laptop di ruang kerjanya, ada data penting yang harus kita peroleh”
“Apa sih isi laptop itu? Kelihatannya sangat penting” tanya Lidya penasaran. “Semacam catatan kejahatan gitu bukan?”
“Kenapa kita tak langsung menangkapnya saja?” Julian bertanya heran.
Kakek menghela napas panjang melihat tingkah kedua cucunya yang tidak sabaran. “Alasannya, karena Dayu Arum tidak bekerja sendiri dan kita perlu bukti-bukti kuat untuk menangkap mereka semua. Laptop itu sendiri disinyalir berisi data-data jaringan bisnis haram miliknya, serta kepada siapa dia menjalin kerjasama hingga sulit sekali kejahatan ini dibongkar tuntas, dugaanku selain sosok pengusaha kaya yang membeking dirinya, ada juga kaitannya dengan para pejabat tinggi di pemerintahan maupun pihak penegak hukum. Dan, ini ada kaitannya dengan kasus yang menjerat orang tua kalian, kita tak boleh gegabah dalam bertindak, kehati-hatian sangatlah diperlukan atau rencana kita akan berantakan...”
“Begitu rupanya, jadi ada kemungkinan si Danadyaksa juga bekerja pada mereka” geram Julian mengepalkan tangannya. Sejak malam itu tekadnya kuat untuk menghajar orang itu.
“Apa kau tahu siapa pengusaha kaya ini? Setidaknya menurut dugaanmu, Kek?” desak Lidya bertanya. Julian mengangguk bersemangat setuju dengan pertanyaan adiknya. Kakek mereka sudah berjanji untuk memberitahu dalang di balik semua kejahatan besar di Kota Batavia atau bahkan Nusantara.
“Pramoedya Suryadiningrat,” jawab Kakek pendek. Ada sedikit aura aneh dalam dirinya ketika ia mengucapkan nama itu, seakan nama itu tabu untuk diucapkannya.
“Hmm... aku tahu siapa dia, pernah bertemu sewaktu diajak Ayah ke kantor, kesanku pada saat itu dia tidak terlalu menyenangkan, seperti menyembunyikan sesuatu yang berbahaya,” ujar Julian keningnya berkerut.
“Banyak orang jahat di sekeliling ayah dan ibu selama ini, benar-benar lingkaran hubungan yang sungguh rumit,” tukas Lidya muram.
Kakek melirik arlojinya, waktu menunjukkan pukul tujuh malam, tak sadar waktu sudah berlalu begitu cepat. Dia menyuruh Julian dan Lidya untuk makan malam terlebih dulu, dan segera kembali lagi ke ruangan ini satu jam kemudian.
Di tengah perjalanan menuju rumah, Julian bertanya pada Lidya yang dilihatnya sejak tadi seperti seseorang yang gelisah. “Apa kau tidak apa-apa?”
“Sedikit merasa gugup, ya” jawab Lidya gusar, kedua matanya menatap tanah. “Sekarang aku mulai merasakan apa yang kau rasakan sebelum ini, takut jika malam ini kita gagal atau malah tidak berhasil pulang dengan selamat...”
Julian menepuk bahu adiknya itu dengan lembut, “kita tak akan mati sebelum mereka semua masuk ke dalam penjara. Ketakutan itu wajar, akan aneh jika kau tidak merasa takut menghadapi misi pertama kita”
Lidya membalas perkataan kakaknya itu dengan senyuman. Dan, mereka berdua berlari kecil menuju bangunan utama untuk menikmati sajian makan malam.
Setelah Julian dan Lidya selesai makan malam, sekarang mereka berdua sedang mempersiapkan diri menjalani misi pertama dipandu arahan dari Kakek Kusuma.
“Oke, ini yang harus kalian perhatikan, kalian akan masuk ke dalam ruang kantor Dayu Arum, kantornya di sekitar daerah Wangsanayan. Melalui gedung sebelahnya yang lebih tinggi, kalian akan melompat dengan tali menuju gedung Dayu Arum, ada sisi bangunan atau semacam beranda yang menjorok ke luar, gunakan itu sebagai pijakan. Itu memungkinkan untuk menghindari pecahan kaca jatuh mengenai pejalan kaki yang mungkin melintas di bawah, sebisa mungkin hindari hal yang mengundang perhatian. Setelah itu, kalian akan menuruni tangga darurat menuju lantai tepat di bawahnya. Ada beberapa kamera CCTV di setiap lorongnya, tapi tenang saja semua itu akan dimatikan Alex dari jauh selama satu jam penuh. Penjaga keamanan akan berpatroli setiap sepuluh menit, beberapa bersenjata pistol listrik dan tongkat. Namun, aku menduga jika ada kejadian yang membahayakan gedung mereka akan memakai senjata api, selebihnya tetaplah berhati-hati”
“Apa pintu dilengkapi kode khusus sebagai pengaman?” Lidya melontarkan pertanyaan pada Kakeknya.
Kakek menggelengkan kepalanya, “aku tidak tahu, tapi jika pintu itu berkode, maka gunakan ini...”
Kakek menyuruh Alex membawakan sebuah tabung kecil hitam seukuran gelas dan menyerahkannya pada Julian.
“Apa ini?” Julian menimbang tabung itu di tangannya.
“Itu adalah perusak perangkat elektronik buatanku, kau tinggal meletakkannya di atas perangkat keamanan, dan benda itu akan mengeluarkan semacam energi kejut, membuat perangkat keamanan tidak berfungsi atau rusak,” jelas Alex tampak puas, matanya berbinar cemerlang.
“Semacam gelombang EMP?”
“Bisa jadi,"
“Ada pertanyaan lain?” Tanya Prof. Wimar memandang Julian dan Lidya bergantian.
“Tidak adakah jumlah yang pasti mengenai penjaga di gedung itu waktu malam hari?” tanya Julian.
Anjani menjawab pertanyaan Julian. “Informasi yang kami temukan, jumlah total penjaga keamanan gedung kurang lebih berjumlah tiga puluh orang. Dibagi dalam tiga kelompok waktu, pagi, siang, dan malam. Ada kemungkinan malam ini ada sepuluh orang yang berada di dalam dan sekitar gedung.”
“Begitu rupanya,” Julian mengelus-elus dagunya. “Sepuluh orang penjaga keamanan yang harus kita berdua kelabui, lumayan susah kayaknya,”
“Ada pertanyaan lain? Tidak ada. Oke, kalau begitu, mari kita laksanakan rencana ini!” tegas Kakek terlihat terburu-buru..
Semuanya beranjak dari kursi, Julian dan Lidya menuju kamar ganti masing-masing untuk segera memakai perlengkapan mereka.
Julian dengan cepat mengenakan baju “tempur” miliknya, pakaian itu sendiri berwarna merah gelap bertudung, tanpa lengan, agak ketat, seperti terbuat dari kulit. Celana berwarna senada, sepatu boot ringan, sabuk hitam untuk meletakkan peralatan penunjang, dan topeng harimau untuk menyembunyikan wajahnya. Dia memutuskan mengenakan topeng itu nanti, topeng itu ia kaitkan di ikat pinggangnya. Kedua tongkat besinya melintang di punggungnya.
Setelah siap, dia segera keluar dari kamar ganti, setengah berlari menuju gerbang besi di ruang bawah tanah, pintu keluar lainnya. Di sana, semuanya sudah berkumpul di dekat mobil van hitam berwarna gelap, kecuali Lidya yang masih belum menampakkan batang hidungnya. Ternyata, Pak Fadli dan Alex ikut bersama mereka, Kakek memutuskan mereka akan membantu mengawasi dari dekat, untuk menghadapi kemungkinan yang terburuk, sebab ini merupakan misi Julian dan Lidya yang pertama. Kakek tak ingin terjadi hal buruk pada mereka berdua.
Julian tampak tak tertarik melihat van itu, ia malah mendekati sepeda motor besar setengah tertutup oleh terpal. Julian membukanya, dan tertarik dengan sepeda motor berjenis sport berwarna biru gelap itu.
“Apa aku boleh memakai ini?” Dia bertanya pada Prof. Wimar yang berdiri di dekatnya.
“Bukannya sudah ada van itu? Malah, di dalamnya lebih lengkap loh fasilitasnya. Kalian hanya duduk dan menunggu sampai tiba di lokasi”
“Tidak,” tolak Julian. “Aku lebih suka motor, lebih cepat bergerak dan lebih keren daripada van itu” katanya sambil melirik ke arah van.
Prof. Wimar tak membantah perkataan Julian, sebab dia cukup tahu tentang selera anak muda. Dia melirik Kakek Kusuma, mengharapkan dukungan. Namun, Kakek hanya tersenyum mengangguk, tanpa memandang dirinya. Prof. Wimar tahu, Kakek juga setuju atas pilihan cucu laki-lakinya itu.
““Oke, baiklah. Ketahuilah bahwa motor itu memiliki fitur gps, Alex akan memprogram ulang pengaturannya, jadi ketika kalian sampai di lokasi, Alex dan Fadli yang akan mengambilnya, tapi van ini akan tetap menyertai kalian, biarkan Alex dan Fadli memantau kalian melalui laptop, dengan berpura-pura menimati kopi di kafe yang letaknya dua blok dari lokasi, paham?”
Julian setuju, ia lantas meminta kunci motor kepada Anjani yang berdiri di dekatnya. Anjani pun segera berlari masuk ke dalam dan kembali beberapa menit kemudian bersama dengan Lidya.
Sama seperti Julian, Lidya mengenakan pakaian yang sama, namun berbeda warna, yakni biru gelap. Dan, sebatang tongkat pendek melengkung berada di pinggangnya, bersama dengan sederet kotak kecil yang diduga berisi anak panah.
“Oke, aku siap!” kata Lidya agak gugup, ia melirik kakaknya berharap mendapat dukungan. Julian paham, dia membelai lembut rambut pendek adiknya itu.
Sesudahnya, Julian bergegas menaiki motornya, diikuti dengan Lidya yang duduk di belakang. Kakek melangkah menghampiri mereka berdua.
“Jika kalian bertarung, tak perlu terpaku dengan gerakan sewaktu latihan, pukul dan hantam saja mereka, gunakan improvisasi di setiap gerakan, dan tetap berkepala dingin,” bisik Kakek memberikan saran. “Berangkatlah dengan restuku,”
Julian dan Lidya mengangguk bersamaan. Pintu garasi terangkat naik, menampakkan lorong panjang menanjak langsung ke tengah kota. Ini dibuat secara rahasia agar tidak ada yang tahu, selain beberapa orang kepercayaan Kakek Kusuma. Julian pun menggeber motornya menembus lorong panjang, menuju kantor Dayu Arum.
“Kami juga berangkat,” kata Pak Fadli dengan suara beratnya yang sesuai dengan besarnya fisik orang itu, Alex melambaikan tangan di sebelahnya, sembari memangku laptop kecil menyala di pangkuannya. Van itu bergegas mengikuti motor yang dikemudikan Julian, dengan tetap menjaga jarak yang aman.
Kakek berbalik dan berjalan tergesa-gesa dengan tongkatnya, untuk segera memantau dari layar besar bersama Prof. Wimar dan Anjani.
* * *
Jam menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh menit, jalanan Kota Batavia masih sangat padat oleh hiruk pikuk aktivitas orang-orang, entah pulang dari kantor, pergi melancong, dan atau melakukan segala aktivitas lainnya. Sesekali mobil polisi terlihat berpatroli di sepanjang jalan, bertugas mengamankan kota dari kejahatan malam.
Julian dan Lidya akhirnya sampai di lokasi, terlambat tiga puluh menit dari waktu yang ditentukan. Mereka berdua harus memutar, mencari jalan tikus, sebab seperti biasa Kota Batavia sangatlah macet, dan belum ada solusi nyata dari pejabat yang berwenang.
Julian memarkir sepeda motornya di sebuah gang kosong, sementara Lidya mengamati gedung yang akan mereka susupi melalui teropong mini.
“Apa yang kau dapat?” Julian bertanya kepada Lidya.
“Beberapa satpam bersenjata tongkat dan alat kejut listrik, dua orang satpam di luar gedung dan para pekerja yang masih belum pulang, tapi lantai dua belas kulihat kosong, tak ada siapapun” gumam Lidya, ia menyerahkan teropongnya kepada kakaknya.
Julian mengambilnya dan mengamati sebentar.
“Oke, kita masuk!” kata Julian.
Mereka berdua berlari cepat menyeberangi jalanan, menuju gedung kosong di sebelah gedung yang menjadi target. Nyaris tak ada orang di jalanan ketika mereka menyeberang, sungguh sepi dan sunyi.
“Beruntung sekali kita,” celetuk Julian.
“Apa?” tanya Lidya tak sabar
“Malam ini jalanan di sini lumayan lengang, biasanya ramai”
Lidya mendengus mendengarnya, mereka berdua segera masuk melalui pintu kecil di samping gedung.
“Oke, kami masuk,” gumam Lidya pada alat komunikasinya.
“Waktu kalian hanya empat puluh menit untuk beroperasi, dan dua puluh menit sampai polisi datang mengepung kalian, kami berada satu blok di dekat kalian, di dalam sebuah kafe, ” Kata Alex menjelaskan.
“Oke!” desah Julian, napasnya agak memburu sebab ia sedang berlari sembari menaiki tangga. Lift di gedung itu rusak karena sedang direnovasi.
“Terima kasih kawan,” kata Alex senang. “Oh, dan Lid, kau tampak cantik malam ini,”
“Kembali, dan aku sudah tahu reputasimu setiap kali bertemu dengan seorang gadis,” seloroh Lidya.
Alex terkejut, ia tak menduga Lidya tahu dirinya. “O-oke. Selesaikan misi, dan pulang tanpa kekurangan apapun..”