Lidya duduk melamun di kelas, matanya menerawang jauh, sesekali bibirnya melengkung membentuk senyuman, kedua tangannya menyangga dagu. Penjelasan dari gurunya di depan kelas tak sekalipun ia hiraukan, perhatiannya sama sekali teralihkan. Dea, teman sebangkunya, mencoba bertanya kepada Lidya, sebab ia khawatir teman baiknya itu terkena sesuatu seperti kerasukan hal gaib, misalnya.
“Lid, kau sehat, kan?” Dea bertanya hati-hati dalam bisikan.
Lidya terkesiap, ia melirik Dea dengan pandangan menyelidik. “Tentu saja aku sehat, memang kenapa?”
“Tidak, bukan apa-apa.” Kata Dea buru-buru, takut menyinggung perasaan Lidya. “Cuma melihat kau melamun dan senyum-senyum sendiri, membuatku ya... agak takut...”
“Ih, enggak! Aku hanya teringat kejadian seminggu lalu,”
“Apa?”
“Itu ra-ha-si-a,” sahut Lidya tersenyum jahil, sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuknya tepat di wajah Dea.
Dea merasa sebal, bibirnya membentuk kerucut. “Kau ini selalu begitu, padahal kan aku sudah memberitahu semua rahasiaku kepadamu,”
“Yeee... itu kan, kau sendiri yang curhat padaku,”
“Tapi, tetap saja itu sebuah rahasia...”
“Terserah kau saja...”
Dua anak perempuan itu terus berdebat hingga akhirnya keributan mereka memancing perhatian guru.
“Lidya! Dea! Sedang apa kalian?!” teriak guru itu dari depan kelas, matanya sedikit pelotot.
Lidya dan Dea terkejut mendengar teriakan gurunya. “Belajar, Pak!” jawab mereka serentak.
“Belajar kok ribut-ribut! Kalau tidak memerhatikan sebaiknya tinggalkan kelas saja!” kata guru itu agak marah.
“Iya Pak, maaf” jawab mereka serentak.
Keduanya menunduk berpura-pura menyesal, padahal terkikik geli.
Beberapa menit kemudian bel istirahat berbunyi, semua murid menghentikan kegiatan belajar sejenak. Mereka bergegas ke kantin untuk membeli makanan atau minuman kecil, ada juga yang bermain basket di lapangan, lainnya sekedar duduk di depan kelas atau taman, mengobrol bersama teman.
Lidya dan Dea menuju kantin, perut mereka sedari tadi merung-raung minta diisi. Kantin seperti biasa, begitu ramai oleh anak-anak. Lidya langsung memesan seporsi somay dan segelas es jeruk pada Bibi penjaga Kantin, sedangkan Dea, hanya memesan semangkuk bakso dan segelas es teh tawar. Beberapa menit menunggu, pesanan mereka selesai dibuat, dua sahabat itu menempati bangku paling pojok, menjauhi kerumunan.
Tak berselang lama, gerombolan pengacau atau geng sekolah, terdiri dari beberapa siswa dan siswi kaya serta populer di sekolah masuk ke dalam kantin. Mereka memesan makanan dengan seenaknya sendiri, membentak-bentak Bibi penjaga kantin seakan mereka adalah penguasa sekolah. Pihak sekolah seakan menutup mata soal kelakuan mereka, bahkan beberapa hari lalu, ada anak kelas satu tak mau masuk sekolah hingga satu minggu lamanya, sebab di sekolah dia sering diperlakukan seperti hama oleh mereka, hanya karena tidak sengaja menabrak salah satu anggota itu. Dan, para guru pun hanya diam saja tak bisa berbuat apa-apa, walau dalam hati mereka ingin sekali menegur atau menghukum para siswa nakal itu agar menimbulkan efek jera.
“Hei! Sajikan makanan untuk kami berlima!” bentak seorang gadis bernama Nesya, sebenarnya dia gadis yang cantik, dengan rambut panjang indah, tubuh proposional dan wajah cantik blasteran. Tapi, sayangnya kecantikan fisiknya tidak diimbangi dengan kebaikan hatinya. Seolah, kecantikan fisiknya hanya dibuat untuk menutupi kebusukan hatinya.
“Memang sudah dasarnya apa kali ya, nenek tua ini selalu saja lambat bergerak, kalau dia bekerja di rumahku pasti sudah kuadukan ke orang tuaku untuk segera dipecat,” ujar gadis lain bernama Paula dengan nada menghina. Dia juga sama seperti Nesya terlahir dari keluarga kaya raya. Bibi penjaga kantin hanya menunduk bersedih, pasrah, sebab jika ia melawan pasti tak ada gunanya, bisa-bisa dia malah akan diberhentikan dari pekerjannya.
Ketiga teman lainnya hanya terkikik geli melihat tingkah Nesya dan Paula, entah kenapa tak ada niatan untuk menghentikan atau sekadar menegur kelakuan sahabat mereka itu yang sudah sangat keterlaluan.
Selesai memesan makanan, Nesya melempar pandangan ke sekeliling kantin. Matanya menyipit tajam, sejenak ia memperhatikan meja Lidya dan Dea yang tengah duduk di meja yang biasanya ia tempati. Sedikit isyarat di wajah, ia memberitahu teman-temannya untuk mengikutinya.
Lidya dan Dea asyik bercanda dan bertukar cerita, sesekali tertawa terbahak-bahak. Tetapi, keceriaan mereka mendadak terganggu, ketika seseorang menggebrak meja tempat Lidya dan Dea berada.
“BRAKKK!” Nesya menggebrak meja dengan keras. Makanan di atas meja tumpah kemana-mana. Seisi kantin melihat ke arah mereka, ingin tahu.
Lidya dan Dea kaget. Wajah kaget Lidya berubah kesal ketika melihat siapa yang datang, sedang Dea terlihat salah tingkah dan cenderung takut.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Lidya memandang jengkel Nesya.
“Kau tahu ini meja siapa?” Nesya balik bertanya pada Lidya dengan nada mengancam.
“Meja untuk umum, milik sekolah tentunya, kenapa Tuan Putri Nesya menanyakan hal bodoh seperti ini?”
“Ini me-ja-ku, kau dengar, ini ME.. JA.. KU!” bentak Nesya kepada Lidya.
“Memangnya kau yang beli meja ini?”
“Tidak, tapi...”
“Lalu, kenapa kau mengusirku dan Dea? Padahal masih banyak meja yang kosong,” tukas Lidya tak sabar sambil menunjuk beberapa meja kosong.
“Aku tahu, tapi meja itu sudah menjadi tempat nongkrong favoritku!” kata Nesya dengan nada meninggi. “Dan, aku tak peduli ini meja siapa, dan tak pantas seorang anak orang miskin seperti kau duduk di sini!” Nesya menunjuk Dea dengan congkak, hingga anak itu menunduk malu, wajahnya memerah.
“DIAM!” bentak Lidya emosinya meledak, ia berdiri mendadak hingga kursinya jatuh ke belakang. “Jaga mulutmu yang busuk itu!”
Melihat Lidya marah, membuat Nesya semakin menjadi-jadi. “Oh, aku ingat, bukannya ayah dan ibumu menjadi buronan nasional? Wah, ternyata aku berteman dengan anak kriminal...”