Julian memarkir mobilnya di garasi rumah. Lidya yang sudah turun sejak tadi, sekarang sedang membersihkan badan dan mengganti pakaian terlebih dahulu di dalam kamarnya. Siang itu, rumah sangat sepi, hanya terlihat Pak Joko dan Bu Rusmiati—Pak Joko dan Bu Rusmiati dipekerjakan oleh Kakek, sebab dia merasa kasihan kepada pasangan suami istri itu yang terancam kehilangan mata pencaharian, selepas rumah keluarga Kusuma terbakar habis—dan beberapa pembantu rumah yang sedang duduk berisitirahat sembari makan siang di teras belakang.
Tanpa menunggu adiknya, Julian langsung menuju ruang rahasia di lantai bawah. Di sana hanya ada Alex dan Anjani yang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Awalnya Julian ingin mengagetkan mereka, tapi melihat keseriusan di wajah mereka, ia mengurungkan niatnya, dan berjalan memutar ke belakang, tempat di mana ia dan Lidya biasa berlatih. Julian memutuskan berlatih sendirian untuk membuang waktu, sembari menunggu yang lain datang.
Tak berselang, Kakek Nara dan Prof. Wimar datang diikuti Lidya di belakang. Raut wajah Kakek Nara dan Prof. Wimar terlihat serius dan tegang, seperti ada yang mengganggu di pikiran mereka.
“Nara, apa kau yakin mereka terlibat jaringan bisnis ilegal milik, Pram?”
“Tentu saja! Aku sangat yakin akan hal itu, akhir-akhir ini banyak sekali anak-anak muda kecanduan akut obat terlarang jenis baru, entah kenapa pemerintah kota dan pihak kepolisian tetap diam dan menganggap ini hanya kasus peredaran seperti biasa, padahal seringkali ditemukan mayat perempuan overdosis” ungkap Kakek Nara berang. “Banyak sekali pasien kecanduan obat terlarang masuk rumah sakit khusus rehabilitasi narkotika yang baru-baru ini aku resmikan, aku lelah melihatnya, sudah seharusnya ini diakhiri!”
Prof. Wimar terdiam, dia hanya menggelengkan kepala seolah tak percaya. Lalu, dia pun berjalan mendekati Alex dan Anjani. Sementara Kakek Nara memanggil Julian menyuruhnya mendekat.
Julian langsung menghentikan latihannya dan bergegas menghampiri Kakek. Tubuhnya basah oleh keringat.
“Geser agak jauh, kau bau!” gerutu Lidya berjengit sambil mendorong Julian menjauhi dirinya, ketika kakaknya itu berdiri tepat di sampingnya. Julian tak mau bergeser dan malah mengoleskan tangannya yang berbau keringat ke hidung Lidya.
Lidya pun bereaksi memukul perut Julian keras-keras, membuat pemuda itu meringis kesakitan memegangi perutnya.
“Julian, jangan ganggu adikmu,” tegur Kakek Nara bijak. Pemuda itu patuh, sambil tersenyum penuh jail kepada adiknya yang dibalas Lidya dengan menjulurkan lidahnya.
“Malam ini kalian akan menuju daerah Meester Cornelis,” kata Kakek Nara memberi perintah.
“Oh, jadi benar kami akan menuju daerah rawan penculikan akhir-akhir ini,” sahut Julian bersemangat.
“Benar,”
“Apa kasus ini ada kaitannya dengan data yang kami dapat di komputer milik Dayu Arum, Kek?” Lidya bertanya penasaran.
"Benar, kasus ini ada kaitannya dengan data-data yang kalian peroleh,” ujar Kakek Nara terlihat misterius. “Mungkin saja ada kaitannya dengan orang tua kalian”
“Apa itu?” tuntut Lidya penasaran.
“Dulu sudah pernah kuberitahu pada kalian, mereka memiliki jaringan luas, seolah terhubung satu sama lain. Jika kita membongkar kejahatan mereka, tanpa tahu sekuat apa jaringan mereka? Seberapa besar kekuatan masing-masing mereka? Maka, usaha yang kita bangun selama ini akan sia-sia saja,” ujar Kakek Nara menjelaskan. Lalu, ia melanjutkan. “Aku yakin salah satu pihak pendukung Dayu Arum tepatnya Pramoedya, menguasai jaringan hukum di kota ini, itulah mengapa kita tak boleh gegabah dalam bertindak, urai satu persatu benangnya, sembari mengumpulkan bukti-bukti lain untuk memperkuatnya,”
“Begitu, ya? Jadi, mulai sekarang tujuan kita tidak hanya mengembalikan nama baik ayah dan ibu, tapi juga membersihkan kota ini dari kejahatan.” ujar Lidya mencoba menyimpulkan, tertegun-tegun.
“Benar,” jawab Kakek Nara pendek.
Julian bertepuk keras, mengharapkan perhatian Kakek Nara dan Lidya. “Oke kembali ke misi, apa yang harus kami lakukan setibanya di lokasi, Kek? Menangkap mereka? Menghakimi mereka? Atau...”
“Tak ada,”
Julian tertegun. “Apa yang kau maksud dengan “tak ada” itu?” tanyanya bingung.
“Kalian hanya diam, mengawasi, dan memperhatikan. Itu saja” tukas Kakek Nara seraya duduk di kursi depan komputer. Melihat Julian punya gelagat mendebatnya, kakek buru-buru menambahkan. “Sebaiknya kalian bergegas untuk berganti pakaian, dan bersiap untuk berangkat...”
“Aku masih tak mengerti, kenapa kami hanya memperhatikan saja kali ini?” Julian masih penasaran.
“Karena tidak ada penjelasan lain,” kata Kakek Nara menutup pembicaraan.
“Sudahlah Ju, kita ikuti saja apa kata Kakek. Sebaiknya kau mandi juga,” tambah Lidya kepada Julian.
Julian merutuk pelan, entah pada siapa itu ditujukan yang membuat Lidya menendang kakinya keras-keras.
Setelah tiga puluh menit mereka selesai mempersiapkan diri, kini kakak beradik itu telah bersiap di garasi ruang bawah tanah. Malam ini, Julian dan Lidya memakai baju biasa, seragam mereka tidak dipakai, tetapi tetap dibawa bersama dengan perlengkapan lainnya. Sebab kali ini tugas mereka hanya mengamati keadaan.
“Oke, kalau begitu kami jalan dulu!” kata Julian sembari memasang helm di kepalanya yang diikuti oleh Lidya. Mereka lantas naik ke atas motor dan bergegas mengendarainya menuju lokasi yang dituju.
“Oke, kalian juga sebaiknya bersiap mengawasi mereka,” kata Kakek kepada semuanya. Kali ini Kakek tidak menyuruh Alex dan Pak Fadli ikut serta, sebab ia ingin kedua cucunya bisa bekerja mandiri.
Julian menggeber motornya dengan cepat membelah jalanan ibu kota. Malam itu cuaca cerah, namun suhu udara sangat panas, sampai-sampai Lidya mencopot jaketnya, dan hanya mengenakan kaos tipis saja.
Seringkali, Alex melalui alat komunikasi di telinga Julian dan Lidya memberitahu mereka untuk menghindari jalan-jalan tertentu, sebab di jalan-jalan itu sudah ada beberapa polisi yang melakukan patroli atau operasi jalanan rutin, akan repot nantinya apabila ada razia kendaraan dan tas mereka digeledah. Alex sendiri menggunakan cctv yang tersebar di jalanan untuk memantau kondisi di Kota Batavia.
Akhirnya, Julian dan Lidya sampai di jalan Meester Cornelis. Di sekitaran jalan itu, hanya ada satu kafe kecil, beberapa toko kecil, minimarket, dan warung makan remang-remang. Kondisinya benar-benar sepi, tak ada pihak keamanan yang terlihat, benar-benar cocok untuk dijadikan daerah operasi penjahat jalanan.
Julian memutuskan untuk masuk ke dalam Kafe Poci, di dalam hanya ada beberapa pengunjung, beberapa remaja tanggung dan dua pasang kekasih. Julian dan Lidya memilih tempat duduk di atas balkon kafe yang menghadap jalan untuk memudahkan pengamatan. Lidya memesan banyak makanan malam itu, Julian hanya memandang heran.
“Serius kau memesan sebanyak itu?” Julian bertanya tak percaya.
“Tentu saja, aku lapar malam ini,” balas Lidya enteng sembari menyerahkan daftar pesanan ke pelayan kafe.
“Coba liat pipimu itu sudah seperti bola basket, nanti kau semakin gendut dan sulit bergerak” kata Julian mencubit pipi Lidya.
Gadis itu menepis tangan Julian dari pipinya, dan mengelus-elusnya. “Aku tidak gendut dan itu bukan urusanmu,” tukasnya sebal. “Toh, aku juga sering bergerak, tidak diam saja seperti pemalas...”
Julian tidak menanggapi lebih lanjut, dia hanya mengangkat bahu.
Semakin malam jalanan semakin lengang, hanya ada beberapa mobil atau motor yang lewat, nyaris tidak ada pejalan kaki.
“Jalanan di sini mirip kuburan, sepi!” kata Lidya sembari mencomot kue yang telah disajikan pelayan. Walaupun matanya fokus ke arah jalanan, tapi mulutnya tak hentinya mengunyah. “Enak juga kupikir rasanya biasa saja,” tambahnya mengomentari makanannya.
“Apa kau tak bisa sejenak berhenti sebentar? Barang semenit saja, Lid,” Julian berkata dengan nada heran. Matanya menatap ngeri adiknya.
“Maksudmu makan? Kenapa harus berhenti? Ini enak tahu!” sahut Lidya menatap sayang pada makanan di atas meja.
“Itu penuh dengan gula. Tak baik untuk kesehatanmu...”
“Iya aku tahu, lagipula ini kan juga hanya sesekali,”
Julian mendesah. “Yah, terserah kau saja, ak...”
“Diam!” potong Lidya mendadak. “Lihat ada dua orang yang mencurigakan!”
Julian berdiri tegak, wajahnya celingukan. “Mana?!” tanyanya.
“Di parkiran supermarket, ada mobil berwarna merah, beberapa meter dari situ, ada pohon, nah! Dua orang laki-laki sedang duduk di atas motor terparkir tersembunyi dari pandangan, kau lihat, kan?!” kata Lidya kepada Julian sambil menunjukan lokasi dengan garpu makan. “Gerak-gerik mereka sangat mencurigakan.”
Kening Julian mengerut, ia menyipitkan matanya, dan memandang jauh menelusuri lokasi yang ditunjuk Lidya, lalu ia menemukan apa yang dimaksud oleh adiknya itu, walau kurang jelas. Sangatlah sulit memandang jauh ketika hari sudah gelap, beruntung cahaya lampu dari minimarket cukup terang.
“Ah, ya... kau benar,” katanya pelan.
“Sepertinya aku melihat seorang gadis atau wanita muda keluar dari supermarket menenteng tas belanja, apa iya mereka mengincar dia?” Lidya bertanya pelan.
“Sepertinya gadis itu memang incaran mereka,” kata Julian keras. Matanya berpindah dari si gadis, dan ia menemukkan dua orang lain sedang menunggu di atas motor di pinggir jalan. Keduanya seperti memberi isyarat kepada dua orang di bawah pohon. “Oke, sebaiknya kita ke bawah!”
Lidya mengangguk setuju tanpa suara.
Sementara itu, si gadis mulai menyalakan mesin mobil, dan rodanya menggeser perlahan di jalanan aspal.
“Ah, badanku capek, kayaknya malam ini enak kalau berendam di air hangat sambil menikmati lantunan musik klasik,” gumam si gadis memijat tengkuknya yang pegal dengan tangannya yang bebas. Bibirnya sesekali menirukan lantunan musik dari radio mobilnya. Tanpa tahu bahwa dirinya diikuti oleh dua kendaraan bermotor yang menjaga jarak beberapa meter di belakang mobilnya.
Pada akhirnya, setelah cukup jauh berjalan, tak sengaja dari sudut matanya, si gadis melihat dua titik cahaya yang terpantul dari spion. Awalnya dia tak curiga, namun kelamaan ia merasa ada yang aneh, dua cahaya yang berasal dari lampu motor itu sudah lama mengikutinya sejak tadi. Karena takut ada apa-apa, dia menginjak pedal gas agak dalam berniat menambah kecepatan mobilnya. Dugaannya tepat, kedua motor itu menambah kecepatannya, dan kini salah satu motor sudah berada di sisi kanan, sejajarnya dengan posisi duduknya. Orang yang duduk di belakang menoleh ke arahnya, sembari mengacungkan pedang panjang, beberapa kali berteriak mengancam untuk segera menghentikan mobilnya.
Rasa takut dalam diri gadis itu membuncah keluar, keringat dingin menguasai tubuhnya, ia semakin menambah kecepatan. Konsentrasinya dalam mengendarai kendaraan mulai menurun. Mobilnya tiba-tiba oleng, hampir menabrak pohon, dan berhenti di jalanan kosong di tengah areal persawahan yang jauh dari pemukiman warga. Beruntung gadis itu tak mendapat celaka, namun dia syok luar biasa.
Tiba-tiba, seseorang mengggedor kaca jendelanya keras-keras dengan kepalan tangan.
“Ayo keluar!” teriak orang itu dengan nada mengancam.
“Kalau tidak keluar, akan kami bakar mobil ini!” ancam yang lain.
Mereka semua masih mengenakan helm full face, sehingga sulit dikenali identitasnya. Hanya bisa dikenali melalui baju yang dipakai, yakni jaket kulit warna hitam, celana jins coklat, dan membawa senjata api di pinggang.
Gadis itu gemetar ketakutan diancam seperti itu, maka ia memberanikan membuka pintu mobilnya, dan langsung saja satu orang menyeret tangannya dan mengikat ke belakang. Lainnya, menutup mulut dan matanya. Gadis itu sempat meronta-ronta, hingga salah satu orang itu menamparnya keras-keras, itu sudah cukup membuatnya terdiam sambil menangis terisak-isak.