Bulan Desember sudah tiba, musim penghujan mulai memasuki babak baru, hari-hari penuh hujan sudah mengintai ditandai dengan munculnya gerimis hampir tiap hari. Menjelang tahun berakhir, Julian dan Lidya tengah disibukkan dengan ujian semester ganjil. Walau terlihat sering keluar malam untuk menegakkan keadilan, mereka tidak lupa dengan tugas mereka sebagai mahasiswa atau siswi sekolah. Raut wajah mereka berdua terlihat serius ketika belajar bersama di depan perapian yang menyala-nyala, sementara di luar hujan turun dengan derasnya. Dua gelas coklat hangat, dan beberapa camilan menemani belajar mereka malam itu.
Kakek memutuskan untuk sedikit melonggarkan kegiatan mereka di malam hari, apalagi polisi sudah menetapkan Sabarong—sebutan yang polisi berikan pada Julian dan Lidya karena memakai topeng hewan, Barong sendiri mengacu pada Harimau dan Merak—sebagai buronan, entah kenapa mereka melakukan itu, padahal Julian dan Lidya seringkali membantu mereka menangkap, dan mengungkap sindikat penjahat yang beraksi di Kota Batavia. Sejak malam di gudang pelabuhan, Kapten Restu menyelidiki mereka, mengumpulkan bukti-bukti maupun jejak aksi Julian dan Lidya, nampaknya ada sesuatu dalam diri Kapten Restu yang menariknya untuk mengungkap aksi mereka berdua. Pada dasarnya, Kapten Restu tidak terlalu suka pada kelompok yang main hakim sendiri seperti mereka..
Sudah satu jam lebih mereka belajar, Julian melirik telepon selulernya yang bergetar, merentangkan tangan, dia mengambilnya, membuka pesan yang tertuju untuknya.
“Loh...Wah...Kenapa dia bisa tahu nomorku, ya? Ini aneh sih” ucap Julian bingung, tapi mulutnya membentuk seringai lebar.
“Siapa tuh?” tanya Lidya menyelidik. Memandang lurus menembus buku yang dibacanya.
Julian menyerahkan teleponnya pada Lidya, gadis itu membacanya dengan cepat. Lidya berseru kaget. Setelah selesai membaca isi pesan di gawai Julian. “Heeehh! Darimana bisa tahu dia? Apa kau pernah berbicara dengannya dulu?”
“Aku tak mengerti, temanku di kampus memberitahuku kalau ada seorang cewek sedang mencari informasi tentang seseorang, terus dia memberitahu kalau aku mungkin mengenal orang itu,” kata Julian berpendapat.
“Lalu, apa kau akan menemuinya besok?”
“Yeah, orang cantik gitu masa dicuekin, kesempatan ini tak mungkin dibuang, kan?”
Lidya mendesah, ia hanya mengangkat bahu. “Terserah kau sajalah...”
“Oke,” balas Julian pendek kepada Chris.
“Tapi, kau harus ingat, kalau dia putri Dayu Arum, tetaplah waspada dengannya,” pesan Lidya mengingatkan.
“Ya, aku tahu itu,” jawab Julian pendek. Lantas, mereka meneruskan belajar kembali. Malam semakin larut, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, Julian mengakhiri belajarnya, menyalakan televisi, berniat menonton berita sebentar.
“...Pihak Kepolisian Batavia, langsung melalui Jenderal Said, selaku Kepala Kepolisian Batavia, kemarin siang mengatakan akan mengusut tuntas pelaku aksi main hakim sendiri oleh kelompok yang disebut pihak polisi sebagai Sabarong, beliau juga mengatakan bahwa mulai besok atau hari ini, akan dimulai operasi penangkapan Sabarong, walau faktanya akhir-akhir ini Sabarong lebih banyak membantu mengungkap kejahatan...”
“Bukannya selama ini mereka sudah menganggap kita sebagai penjahat, kenapa baru sekarang mengeluarkan pernyataan seperti ini?” kata Julian bertanya-tanya.
“Entahlah, aku sudah muak dengan segala hal yang menyangkut kepolisian, memang tidak dibenarkan kita main hakim sendiri, tapi aku curiga, kita cuma dijadikan pengalihan isu oleh mereka,” ujar Lidya.
“Apa maksudmu, Lid?”
“Ya, kau tahu kan, Ju. Kalau kepolisian sendiri sudah berada dalam genggaman Pram dan komplotannya, jenderal gendut itu pun kata Kakek masuk ke dalam komplotan Pram, pasti ada sesuatu yang disembunyikannya, dan mereka menggunakan kita untuk menutupinya,” kata Lidya tajam.
“Menutupi apa sih, Lid?”
“Kau ini memang agak lambat kalau diajak berpikir, apa kau tidak merasa aneh, kenapa Jenderal Said susah payah turun ke lapangan langsung, hanya sekadar memantau proses investigasi? Kasus itu memang kasus besar, tapi tidak perlu seorang jenderal turun langsung ke lapangan,” jelas Lidya panjang lebar.
“Hmm… benar juga katamu, mungkin jenderal ini ada kaitannya dengan aktivitas pabrik itu,” gumam Julian.
“Tunggu, aku punya sesuatu untukmu,” Lidya berdiri dari duduknya, mengambil laptop di kamar dan menyalakannya, memilah-milah folder tertentu, dan memperlihatkannya pada Julian.
“Astaga dari mana kau dapatkan semua ini, Lid!” Julian cukup kaget melihat isi dalam laptop itu, ia tak menyangka adiknya memiliki daftar lengkap komplotan Pram.
Lidya nyengir lebar. “Akannya ke dropbox milikku, tadinya aku tak berpikir sampai sejauh ini, niatku hanya melihat-lihat apa yang dicari Kakek di dalam komputer milik Dayu Arum, ternyata malah aku menemukan berkas ini, dimasukan ke dalam folder yang tersembunyi di folder lainnya,” jelasnya. Julian terperangah, ia tak menyangka adiknya benar-benar jenius.
“Kita harus mempelajari setiap berkas ini, kubur dalam-dalam di otak, dan rahasiakan ini pada Kakek, tentunya,” kata Julian tajam. Lidya mengangguk patuh. Mereka pun melanjutkan kembali obrolan ringan, tanpa menyinggung isi folder itu, takut apabila Kakek mereka masuk tiba-tiba ke dalam ruangan.
Benar saja, tak lama Kakek masuk ke dalam ruang belajar, dan menyuruh keduanya untuk beristirahat, agar kondisi badan tetap fit esok harinya
“Selamat malam, Kek!” ucap keduanya serempak, berjalan terhuyung-huyung sambil menguap lebar-lebar menuju kamar masing-masing.
* * *
Keesokan harinya, cuaca masih kurang bersahabat, mendung tebal menggantung di atas langit, tanda akan terjadi hujan deras seperti semalam. Tetapi, itu tak menghentikan Julian memacu mobilnya cepat-cepat, sebab dia harus bergegas menuju tempat pertemuan yang sudah dia buat dengan Chris di daerah Onderneming. Di sepanjang perjalanan, Julian melihat banyak sekali razia besar-besaran yang dilakukan oleh polisi, entah ada apa dia kurang tahu, tapi yang pasti ini sangat jarang sekali dilakukan oleh para polisi. Desas-desus mengatakan, ini ada hubungannya dengan penculikan anggota polisi yang berakhir dengan ditemukan mayat mereka
Akhirnya mobilnya berbelok, masuk ke dalam sebuah kafe. Julian keluar dari dalam mobil, keningnya sedikit berkerut, dia kebingungan. “Apa dia belum datang ya?” batinnya.
“Hei, di sini!” panggil seorang gadis dari atas balkon sambil melambaikan tangan.
Julian mendongak, ia tersenyum dan membalas melambaikan tangannya. Lantas, masuk ke dalam kafe menghampiri gadis itu.
“Halo,” sapa Julian tersenyum ramah, duduk di kursi menghadap Chris. ‘Maaf terlambat, biasa kejebak macet... Ah”
“Tak apa, aku tahu kok, selalu begitu, kan kalau hidup di Batavia,” tukas Chris tersenyum ramah. Dia memiringkan sedikit kepalanya melihat tampang Julian yang aneh “Ada apa?
“Ah tidak, cuma kau tampak cantik malam ini” puji Julian, kata-kata itu seperti meluncur begitu saja dari bibirnya. Memang Chris siang tampak cantik siang itu, rambut panjangnya dikuncir, memakai dress warnah merah gelap selutut. Tak lupa, kacamata berbingkai hitam menghiasi matanya.
Sebenarnya Julian cukup terkejut, ia mengenali Chris sebagai gadis yang berhasil ia selamatkan di pabrik tempo lalu, ternyata ia adalah anak dari Dayu Arum. Julian memutuskan untuk pura-pura tidak tahu.
“Terima kasih, kau pun tampak tampan,” balas Chris memuji Julian. Pemuda itu tersipu malu. Jika Chris tampak sedikit resmi, sebaliknya Julian terlihat kasual, hanya memakai kaos yang dibalut jaket, celana jeans biru gelap. “Oh ya, kita belum berkenalan, aku Christal Eleina Arum, bisa kau panggil Chris” sambil mengulurkan tangannya.
Julian menyambut uluran tangannya. “Julian Putra Yudhistira, cukup panggil Julian saja,” katanya memperkenalkan diri. Walau dia sendiri sudah pernah berkenalan dengan Chris.
“Kau mau minum apa? Atau, barangkali makan?” Chris menawarkan kepada Julian.
“Oh, mungkin orange juice saja, terima kasih...”
Chris memanggil pelayan, memesan dua gelas orange juice, dan beberapa makanan lain. Sementara alunan musik dari penyanyi kafe mulai melantun merdu, menyanyikan lagu-lagu country.
“Nggg.. oh ya, darimana kau tahu nomor teleponku?” Julian berbasa-basi.
“Semua orang hampir memiliki nomormu, terutama para gadis di kampus yang tergila-gila pada seorang Julian, putra miliarder terkenal, serta cucu seorang pengusaha kelas dunia,” jawab Chris tersenyum genit sembari menjulurkan sedikit lidahnya.
Mendengar itu Julian agak salah tingkah, “Ya, tapi kau tahu, kan? Orang tuaku bukan miliarder lagi, harta mereka disita, dan saat ini malah menjadi buronan...”
“Oh maaf, bukan maksudku untuk seperti itu,” Chris buru-buru meminta maaf, ia menyesal berkata seperti itu.
“Tidak apa-apa, kenyataannya memang begitu kok,” kata Julian ringan. Menyipitkan mata dia bertanya balik, “apa tujuanmu mengundangku...?”
Pertanyaan Julian terpotong oleh datangnya pesanan mereka berdua.
“Terima kasih,” kata Julian dan Chris nyaris bersamaan kepada pelayan yang menyajikan..
“Tadi kau berkata apa?” tanya Chris sembari mengambil buah yang telah dipotong dengan garpu.