Sabarong

Rizky
Chapter #9

SANG PEMBUNUH

“Lama sekali sih, darimana saja kau ini, sudah kutunggu dari tadi malah baru nongol sekarang,” dengus Lidya meluapkan kekesalannya. Matanya menatap tajam kepada kakaknya. Tanganya dilipat di depan dadanya, ia begitu kesal siang itu.

Julian hanya nyengir tanpa rasa bersalah mendengar makian dari adiknya.

“Sudah-sudah nanti kubelikan sesuatu untukmu,” kata Julian mencoba menenangkan adiknya itu.

Lidya tak menghiraukan ucapan dari kakaknya itu. “Lagian kau darimana saja sih? Sampai jam segini baru bisa jemput, hah?!”

“Tadi ada janji sebentar doang kok, iya maaf deh, Lid”

“Pasti kau habis kencan tadi, iya kan?!” tuding Lidya, matanya pelotot.

“Siapa bilang? Aku tadi cuma ada urusan sebentar saja,” elak Julian, alisnya terangkat sebelah.

“Kau tadi pasti habis kencan sama putri dari Dayu Arum lagi, ya kan?!” kata Lidya memicingkan mata, curiga. “Apa kau sudah menjalin hubungan serius sama dia?”

“Tentu saja tidak, kita cuma berteman kok,” tukas Julian buru-buru. “Kalau pun aku menjalin hubungan dengannya, toh dia tak seperti yang kau pikirkan,”

Keduanya terus berdebat sepanjang jalan, sampai mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam taman hiburan. Hari Minggu itu cuaca cukup cerah berawan. Taman hiburan dipenuhi keluarga yang berkunjung untuk menikmati akhir pekan mereka. Puluhan gerobak makan dan minuman memadati pintu masuk taman hiburan, Julian ingin membelikan makanan kecil untuk Lidya, gadis itu memicingkan mata, tanda ia masih merasa sebal pada dirinya. Julian mengangkat bahu tak habis pikir atas kelakuan adiknya.

“Dasar cewek,” gerutu Julian menyerah, sambil menikmati es krim coklat miliknya.

Mereka berdua duduk di kursi taman di bawah pohon. Lidya mengeluarkan novel dari dalam tas kecilnya, berpura-pura membaca, matanya menatap awas pada pertunjukkan badut yang ditonton anak kecil tak jauh dari situ. Sementara Julian terus menikmati es krimnya, tangan kirinya sibuk membaca postingan orang-orang di sosial media, sembari menjelaskan mengenai misi siang itu.

“Lid, pelaku penculikan dan pembunuhan ini sudah merenggut total empat belas nyawa dan kesemuanya adalah perwira polisi, sampai saat ini kita belum tahu apa motif dia melakukan itu. Awalnya dia selalu melakukan pertunjukkan di taman hiburan ini, sebab seluruh korban yang hilang selalu datang ke sini sebelum hilang dan dibunuh, selain korban yang semuanya adalah polisi, tak ada kesamaan khusus pada kasus ini, dugaanku pelaku memiliki dendam pribadi pada kepolisian atau terhadap korban,” ujar Julian menjelaskan panjang lebar.

“Berarti, ada kemungkinan kalau saat ini pelaku memiliki daftar korban yang akan dibunuhnya, begitu kan, Ju?”

“Yep,”

“Kalau begitu kita rugi dong mengawasi badut yang ini,”

“Kenapa?” Julian bertanya kebingungan, menoleh ke arah adiknya.

“Lihat saja! Dia sedari tadi hanya menghibur anak-anak yang lewat, aku benar-benar tidak berpikir dia memiliki niat membunuh,” keluh Lidya, mengembuskan napas panjang.

Julian memperhatikan pertunjukkan badut di depannya, benar saja, ia baru menyadari kalau anak-anak yang asyik menonton seperti tak terganggu, kalau ada sesuatu yang aneh pasti anak-anak akan berteriak ketakutan. Dia melempar pandangannya, mengamati sekitar, tak ada badut lain yang melakukan pertunjukkan di situ. Julian berpikir badut ini tak rutin datang ke taman hiburan ini lagi, ketika kasusnya sudah mencuat ke permukaan.

Dia mengajak Lidya memutari taman hiburan, siapa tahu ada badut lain berada di lokasi lain taman. Berkeliling taman hiburan ternyata membuat suasana hati Lidya membaik, senyum cerah mengembang di wajahnya, seolah tak pernah lepas darinya. Beberapa kali, ia meminta Julian mengambil foto di sudut-sudut tertentu yang dikiranya menarik. Siangnya, mereka memutuskan santap siang di restoran berkonsep taman bunga, karena Julian merasa perutnya sudah berteriak menuntut diisi.

Julian makan dengan lahapnya, Lidya menatap penuh iba, ia merasa kakaknya itu tidak makan beberapa hari.

“Seharusnya kau tidak makan sebanyak itu, Ju”

“Memang kenapa?” Julian menghentikan makannya.

“Kita masih dalam misi, bagaimana jika tiba-tiba badut itu muncul?”

“Tinggal menghajarnya saja, kan. Repot amat,”

“Kau ini memang payah...”

“Terserah, kau saja waktu misi mengawasi penculik juga makan kue banyak, lebih banyak dari ini malah” Julian mengungkit-ungkit kejadian minggu lalu.

Lidya terkejut, dia tak menyangka Julian mengingat kejadian itu, Lidya mencoba mengelak. “Itu beda!” elaknya, wajahnya merona merah.

Melihat adiknya malu, Julian terus menggoda sambil menikmati makan siangnya.

Setelah makan siang, keduanya kembali memutari taman hiburan. Menyempatkan diri masuk ke dalam wahana di rumah hiburan; seperti rumah hantu, rumah kaca, rumah reptil, mengunjungi permainan air, dan beberapa wahana menarik lainnya. Ada satu kejadian lucu, dimana Julian tersentak kaget hingga meninju keras-keras replika pocong di rumah hantu, beruntung dia tak merusaknya, hanya meminta maaf menahan malu kepada penanggung jawab rumah hantu. Lidya tertawa terbahak-bahak jika megningat kejadian itu.

Tetapi, kejadian-kejadian lucu seperti itu tidak selamanya terus berlangsung. Setelah melupakan sejenak tentang si badut, dan hanya bersenang-senang di taman hiburan. Kejadian mengerikan akhirnya menghantui mereka.

Hari sudah menjelang malam, matahari mulai terbenam, pengunjung sudah menipis, hanya beberapa yang masih bertahan hanya sekadar berisitirahat sebelum pulang. Julian dan Lidya merasa letih, sempoyongan mereka berjalan menuju pintu keluar bersama dengan ratusan pengunjung lainnya. Julian menguap lebar-lebar, matanya berair, kelelahan. Tangan kanannya diletakkan di bahu Lidya yang membuat cewek itu susah payah berjalan.

“Capek sekali hari ini,” keluh Julian kembali menguap lebar-lebar, menyenderkan lengannya pada bahu adiknya.

“Dan, kau bilang begitu, tapi membebankan sebagian berat tubuhmu kepada adikmu ini,”gerutu Lidya. Julian hanya nyengir menyebalkan.

Lidya menggerutu sepanjang perjalanan, hingga matanya tak fokus ke depan membuat dirinya menabrak seseorang.

“Duh!” katanya terkejut. Karena merasa bersalah dia mencoba meminta maaf pada orang di depannya, tapi orang itu tak memandang balik ke arahnya, kepalanya tertuju ke depan, tempat semua orang memperhatikan arah yang sama dengannya, tak terkecuali Julian.

“Ini kenapa pada berkumpul seperti ini?” tanya anak muda penasaran di dekat Lidya.

“Ini ada apa sih?!” cewek berpakaian modis berkacamata terlihat kesal.

“Cepat maju dong! Sudah mau malam nih, kasihan anak saya!” seorang ibu-ibu muda yang menggandeng anaknya berteriak marah. Sang anak terlihat mau menangis mendengar ibunya berteriak keras.

Julian menarik tangan Lidya, keluar dari kerumunan, dia mengajaknya mendekati salah satu petugas keamanan yang berdiri di dekat bangku taman.

“Permisi, ada apa ya ini? Kenapa kami tidak diizinkan untuk keluar?” Julian bertanya sopan.

Petugas itu sedikit terkejut ditanya seperti itu, dari dekat wajahnya terlihat pucat pasi, lalu ia berkata dengan nada cukup rendah, “seorang badut ditemukan terbunuh di saluran pembuangan air di dekat danau buatan, kondisinya cukup mengenaskan...”

“Bagaimana kondisinya? Kenapa bisa dinyatakan sebagai pembunuhan? Bisa juga dia bunuh diri” tanya Julian berulang-ulang.

Petugas itu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. “Astaga! Aku baru pertama melihat hal semacam itu, sungguh tragis sekali, semoga itu tidak datang kepada keluargaku. Kalian tahu, pada tubuh badut itu ditemukan bekas-bekas siksaan, sayatan pisau dan pukulan benda tumpul ditemukan di sekujur tubuhnya, dan di lehernya ditemukan bekas jeratan tali.”

“Ada bekas jeratan tali di leher?”

Petugas itu mengangguk muram.

“Apa badut itu berkulit sawo matang?” Lidya bertanya menyelidik.

Petugas itu kembali mengangguk, namun pandangannya berubah heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Itu tidak penting,” tukas Lidya cepat-cepat, dia berpaling pada Julian. “Ju, kupikir itu badut yang kita lihat siang tadi, astaga tak kusangka pelaku membunuhnya”

“Aku juga berpendapat demikian, tapi bagaimana mungkin dia bisa beroperasi ketika kita seharian di sini?!”

“Kita pikirkan saja itu nanti, lagipula sepertinya akan ada calon korban kedua,” Lidya mengedikkan kepalanya ke arah dua suami istri yang datang tergopoh-gopoh sambil menjerit kesetanan.

“ANAKKU! DI MANA ANAKKU?!” pekik wanita paruh baya meronta-ronta di pelukan suaminya. Wajahnya semburat kemerahan dilanda kesedihan yang dalam. Suaminya hanya bisa menahan kesedihan ketika memegangi istrinya sambil bertanya kepada petugas keamanan.

“Apa kalian tahu anakku? Tolong kami, anak kami hilang, ini pasti penculikan!” serunya menahan sedih. Petugas yang diajak bicara itu hanya diam tak tahu harus berkata apalagi.

“Maaf, kami tidak berbuat apa-apa, tapi kami terus berusaha untuk mencari putra kalian,” kata petugas wanita lain menenangkan.

Julian mengepalkan tangannya, ia tampak geram. “Astaga! Tak kukira dia mengincar anak-anak juga! Ini harus segera di akhiri,”

“Kali ini aku setuju denganmu, Kak,” sahut Lidya menyetujui kakaknya itu. Keduanya langsung berbalik kembali ke dalam taman hiburan untuk mencari si anak hilang.

Julian mengambil sapu dan mematahkannya untuk mengambil gagangnya saja sebagai senjata, sementara Lidya mengantongi beberapa batu kecil di sakunya. Mereka berdua celingukan mencari anak itu, beberapa sudut wahana tak lupa mereka singgahi, namun hasilnya nihil.

Malam mulai datang, para petugas keamanan taman hiburan dibantu beberapa pengunjung dan petugas kepolisian yang datang terus mencari, tetapi tetap saja pelaku dan korban tidak ditemukkan.

“Apa kita keluar dulu untuk berganti pakaian dan mengambil senjata di mobil, Ju?” Lidya bertanya sambil mengusap peluh yang menetes di wajahnya. Dia tampak kelelahan.

Julian melempar pandangannya sebentar, dan berkata, “kukira itu ide baik, kita kembali untuk berganti kostum, polisi sudah ikut mencari jadi tidak apa-apa kita tinggal barang sebentar saja...”

Lihat selengkapnya