Julian menghentikan laju kendaraannya, ia memandang penuh selidik bangunan apartemen lawas lima lantai yang menjulang tinggi di seberang jalan.
“Bangunan yang menyeramkan,” gumamnya.
“Anjani! Anjani! Kau dengar kami?” Lidya sedari tadi berusaha menghubungi Anjani, tapi rupanya alat komunikasi mereka sedang bermasalah, hanya terdengar suara berisik tak jelas. “Kurasa kali ini kita benar-benar sendirian, Ju...”
“Ya, kejadian seperti toh akan datang menghampiri kita,” kata Julian pasrah. Lalu, dia berpaling menatap Lidya dengan pandangan penuh tanya. “Sebaiknya kita masuk, atau menunggu di sini sampai komunikasi kita terhubung?”
“Engg... aku pikir, kita langsung masuk saja, mungkin nanti komunikasi bisa lancar sendiri,” ujar Lidya berpendapat namun tak yakin.
“Kalau kau pikir begitu sebaiknya kita terobos saja sekarang,”
Julian keluar dari dalam mobil diikuti oleh Lidya. Keduanya berdiri mengamati sebentar keadaan jalanan di luar apartemen.
“Kenapa jalan ini begitu sunyi? Bikin takut saja,” pikir Lidya bergidik.
Setelah mengendap-endap menyeberangi jalanan sepi, kakak beradik itu berhenti di depan pintu apartemen berwarna coklat muda yang sudah agak reot. Julian memeriksa pintu sejenak, setelah memastikan tak ada jebakan atau apapun yang membahayakan. Dia menendangnya keras-keras hingga pintu menjeblak terbuka, Lidya langsung melompat ke depan, menarik anak panahnya. Tak terjadi apa-apa.
Mengangguk pada Julian. Lidya berjalan di depan mendahului Julian. Kondisi bagian dalam apartemen, tak jauh beda dengan penampilan luarnya yang menyeramkan. Mereka berdua disambut lorong panjang berlantaikan kayu mengilap, dinding bercat abu-abu putih, berhias lukisan tumbuhan beracun, dan binatang menyeramkan, kondisinya bertambah menyeramkan dengan deretan pintu bercat hitam yang berjajar, seolah-olah menyimpan rahasianya sendiri.
Suara tawa melengking mendadak memenuhi seisi apartemen, Lidya melompat bersembunyi di belakang Julian.
“Psikopat menyebalkan!” umpat Lidya merinding.
Kali ini Julian berada di depan, napasnya semakin tak teratur, keringat menetes dari peluh ke pipi. Setiap langkah yang dibuat, detak jantungnya semakin meningkat tajam.
Julian membuka pintu pertama, dipegangnya hati-hati pegangan pintu yang terbuat dari besi. Diiringi bunyi “klik” pelan, pintu terbuka lebar. Tak ada apapun di ruangan itu, ruangannya sungguh bersih, dan tak ada satu pun perabot berada di dalam ruangan. Seperti kamar kosong yang dibiarkan begitu saja.
“Bersih,” gumam Julian menutup kembali pintunya. “Mari menuju pintu kedua!”
Tawa itu kembali muncul kali ini terdengar lebih dekat dari sebelumnya, Lidya semakin merapatkan tubuh ke Julian. Mulutnya komat-kamit memanjatkan doa, meminta perlindungan kepada Tuhan.
Sampai di pintu kedua, Julian langsung menendangnya. Tak seperti pintu pertama, di dalam ruangan berisi kostum-kostum badut lengkap dengan topeng, dan peralatan pendukungnya. Julian berniat masuk ke dalam, tapi Lidya memegangi lengannya, menggelengkan kepala, tanda tak setuju. Dia agak kurang nyaman melihat topeng badut di dalam ruangan itu, seakan melalui lubang mata, topeng itu hidup dan berbalik memandang dirinya.
Melihat adiknya ketakutan, Julian mengambil gas bius di pingganggnya, ia lemparkan ke dalam, hanya untuk sekadar berjaga-jaga, apabila si polisi jahat itu bersembunyi di dalam ruangan. Setelah itu, dia langsung menutup kembali pintu kedua, melanjutkan memeriksa pintu berikutnya.
“Apa kita naik ke lantai atas, atau tetap memeriksa lantai dasar saja, Ju?” Lidya bertanya agak takut, pandangannya terarah ke pojok lorong gelap.
“Sebentar,” Julian tahu adiknya itu ketakutan, maka dia kembali berusaha mencoba menghubungi Anjani. “Halo Anjani, di mana sih kau ini?!” dia terus mengulang-ulang, tapi tetap saja saluran komunikasi tidak terhubung.
Melihat Julian menggelengkan kepalanya, Lidya hanya bisa pasrah meratapi keadaannya.
Julian memutuskan melanjutkan memeriksa lantai dasar sejenak, sementara Lidya berdiri termenung di depan lift tua, memandangi punggung kakaknya yang menjauh.
Setelah semua kamar di lantai satu selesai diperiksa, Julian kembali, mengabarkan kepada adiknya apa yang dia temukan.
“Aku tak menemukan hal-hal penting, hanya beberapa resi pengiriman barang, beberapa botol minuman keras, dan yah... potongan baju-baju milik wanita yang kelihatannya memang sengaja dilepaskan,” jelas Julian kepada Lidya. “Aku sudah mengrimkan itu semua dalam bentuk gambar ke Anjani,’ tambahnya.
“Sebaiknya kita bergegas mencarinya, soalnya aku sudah tak ingin berlama-lama di sini,” tukas Lidya melirik ngeri ke arah lorong panjang yang gelap.
“Naik tangga atau lift?”
“Lift,” kata Lidya pendek.
“Kan, cuma lantai dua,”
“Sepertinya kita langsung ke lantai tujuh, kupikir percuma memeriksa lantai dua,”
“Baiklah, kalau itu maumu,” balas Julian.
Julian memencet tombol lift, pintu membuka, keduanya masuk dan bersiap ke lantai paling atas. Pintu lift membuka sendiri di lantai lima, Julian dan Lidya saling pandang penuh tanya, mendadak sebuah boneka kayu anak kecil melompat masuk ke dalam lift, Lidya berteriak histeris ketakutan. Tangannya memukul-mukul badan Julian keras-keras.
“SINGKIRKAN JU! SINGKIRKAN ITU! SEKARANG!” jerit Lidya tak terkendali.
“Hei, hentikan! Ini cuma boneka saja!” teriak Julian mengatasi teriakan Lidya.
“Singkirkan itu! Cepat singkirkan dariku!” pekik Lidya melompat-lompat di tempat sembari menunjuk-nunjuk topeng kayu itu..
Julian lantas membuang boneka berwajah menyeramkan itu jauh-jauh, dan memeluk adiknya agar kembali tenang. Lidya hanya bisa menangis terisak di pelukan kakaknya.
Seakan melihat kejadian itu secara langsung, penjahat itu kembali tertawa penuh kemenangan. Kali ini tawanya tak terdengar menyeramkan seperti sebelumnya, malah kesannya seolah sedang mengolok-olok.
“TOLOL! AWAS KAU YA, AKAN KUBUAT LUBANG DI LEHERMU ITU HINGGA TAK BISA TERTAWA LAGI!” teriak Lidya penuh amarah, lantas melepaskan beberapa anak panah secara acak ke lantai lima yang hanya seperti aula tempat berkumpul saja.
Julian kembali memencet tombol lift, mereka naik ke lantai berikutnya. Mendengar bunyi lift akan terbuka, Lidya langsung mempersiapkan busurnya, rupanya dia agak trauma dengan kejadian di lantai lima tadi.
Di lantai tujuh, terdapat koridor panjang gelap menyerupai lantai dasar. Namun, kondisinya tak sebersih lantai dasar, terkesan jorok dan angker. Mirip lorong berhantu di film-film horor.
“Kau mau memeriksa lorong ini, Lid?” Julian menawarkan kepada adiknya.
Lidya menjawab cepat, “terima kasih, kurasa aku tidak mau...”
“Oke, kita turun saja, dan pul...”
“BRUGHH!” suara seperti benda berat jatuh tiba-tiba mengusik kesunyian lantai itu.
“Apa itu, Ju?!” kata Lidya kaget, mencengkeram erat lengan Julian.