“Lemaskan tubuhmu, Nak! Atur pernapasanmu, kau harus mengulang gerakan itu beberapa kali lagi,” teriak Kakek Nara duduk bersila sambil memejamkan mata.
“I—ni sungguh me-menyakitkan,” keluh Julian, saat ini dia sedang melakukan serangkaian gerakan olah tubuh, hanya mengenakkan celana pendek saja, tubuhnya basah oleh keringat.
“Tak usah mengeluh, lakukan saja!” bentak Kakek Nara. Julian meringis lemah.
Kakek Nara memberikan latihan seperti itu, karena melihat gerakan Julian terlalu kaku dan terlalu mudah ditebak. Dia juga memberikan beberapa porsi latihan berat lainnya. Julian hanya bisa pasrah menjalaninya, tanpa mengeluh langsung pada kakeknya, sebab ia tahu ini penting untuk menambah presentase keberhasilan ketika melakukan praktek melawan penjahat.
Sudah dua minggu mereka berdua menjalankan latihan yang setiap harinya semakin berat ini, dan semakin mendekati hari di mana Baron Margens—Nama polisi penjahat itu yang susah payah ditemukan di bank data Kepolisian Batavia oleh Alex—akan melakukan aksinya, membuat jantung Julian semakin berdebar, hampir tiap malam dia bermimpi tentang kegagalan di misi terakhirnya, itu membuatnya sedikit depresi.
Sementara itu, hingga detik ini, Lidya masih menutup dirinya di kamar, dia tak mau sekolah. Beberapa kali gurunya datang menjenguk berharap bertemu dengan Lidya, tapi dirinya tetap mengurung diri di kamar. Bahkan, Julian dan Kakeknya sendiri pun dia tolak, hanya Dea, sahabat baiknya yang dia terima. Tapi, setiap kali ditanya soal kondisi Lidya, Dea hanya menggelengkan kepalanya. Sebab Lidya hanya menangis, terus merasa bersalah, dan tak mau menceritakan kesalahan yang dilakukannya itu. Semua orang sudah menyerah, tak tahu harus berbuat apa lagi. Julian takut, adiknya itu akan terus menanggung beban berat selama hidupnya.
Setelah dua jam berlalu, Kakek Nara memutuskan Julian selesai berlatih olah tubuh. Julian merobohkan diri ke atas lantai yang dingin. Kakek Nara berdiri dari duduknya, menghampiri Julian yang terengah-engah berbaring terlentang. Matanya menatap tajam cucu laki-lakinya itu.
“Berdiri, Nak! Pasang kuda-kuda, kita akan latih tanding,” geramnya.
Julian yang masih terengah-engah, mengambil posisi duduk, memandang kakeknya dengan pandangan hampa, “Kek, bisakah kita tunda besok saja, atau istirahat dulu, biarkan aku mengambil napas dulu...”
“Tidak!” tolak Kakek tegas. “Kau pikir musuhmu akan memberi kesempatan padamu untuk beristirahat barang sejenak?”
Julian menggelengkan kepalanya. “Ta-ta-tapi, Kek..
“Sudah cukup! Cepat persiapkan dirimu...”
“Iya-iya,” walau terlihat ogah-ogahan Julian akhirnya menuruti perintah kakeknya. Ada kilatan licik dalam mata Julian. Tanpa peringatan, Julian melakukan gerakan cepat yang nyaris luput oleh mata normal, Julian mendadak menyapukan kakinya, beruntung Kakek waspada, dia melompat di udara, menendang keras-keras dagu Julian, hingga pemuda itu terpelanting ke belakang.
Julian bangkit berdiri, mengusap darah di dagunya, menatap sebal kepada kakeknya yang tersenyum meremehkan.
“Itu tadi tipuan yang lumayan bagus, improvisasi seperti itu kadang diperlukan dalam pertarungan nyata,” puji Kakek Nara.
Julian tak mendengarnya, dia menegakkan tubuhnya dan langsung berlari menyongsong kakeknya. Melompat tinggi-tinggi, diarahkannya tendangan kaki kanan ke arah kepala kakeknya itu.
Kakek Nara sedikit terkejut, dia mengangkat tangannya, menepis tendangan Julian. Wajahnya meringis menahan sakit. “Cih, aku sudah terlalu tua untuk bertarung dalam level ini,” batinnya agak kesal.
Julian tak memberi kesempatan pada kakeknya untuk memulihkan diri, bertumpu pada kedua tangan di atas lantai, Julian kembali melakukan tendangan, kali ini langsung dengan dua kaki.
Kakek Nara berhasil menunduk menghindari tendangan Julian, secepat kilat dia membalas, menyapukan kakinya ke tumpuan tangan Julian, cucunya itu jatuh dengan bunyi gedebuk keras.
“Sialan, aku terlalu meremehkan kemampuannya, padahal dia sudah setua ini,” gerutu Julian kesal, matanya menyipit tajam menatap kakeknya.
Setelah itu, keduanya terus beradu pukulan dan tendangan, serta bertarung menggunakan berbagai senjata yang ada, sampai akhirnya Julian menyerah, menjatuhkan diri di atas lantai karena kelelahan. Tubuhnya penuh memar akibat pertarungan itu, tapi dia juga berhasil membuat beberapa bagian tubuh Kakek Nara berwarna kebiruan.
“Kau mengalami kemajuan pesat dibanding sebelumnya, perkembanganmu benar-benar menakjubkan,” ujar Kakek Nara memuji Julian, duduk kelelahan bersandar di dinding. “Tapi, aku berharap kau tidak cepat puas dulu,
Julian nyengir kegirangan mendengar pujian yang dialamatkan untuknya, dia sudah terlalu lelah untuk berbicara. Tapi, sesuatu mengganggu di pikirannya, dia duduk bersila, memberanikan diri bertanya pada kakeknya.
“Kek, kenapa kita hanya fokus mengadili penjahat seperti Pram dan teman-temannya? Kenapa kita tidak menerjunkan diri memberantas kejahatan jalanan, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan selain karena ulah mereka, seperti katamu dulu ” tanyanya penasaran.
Kakek Nara agak kaget Julian tiba-tiba bertanya seperti itu. “Kenapa kau bertanya seperti ini? Sudah pernah kujelaskan, basmi akarnya dulu, dari kasus besar perlahan menuju kasus kecil...”
“Aku tahu itu, tapi bukankah perbuatan buruk sekecil apapun bisa menjadi bibit kejahatan mengerikan di kemudian hari, bukan?”