Tiga hari menjelang pertemuan para pejabat kota dan pengusaha, Julian masih sibuk mempersiapkan presentasi tugas di kampus, dan untuk pertama kali dalam sebulan ini, pikirannya tentang Baron si Badut meluap dari kepalanya.
Saat ini dia sedang duduk sendirian menatap layar laptop di pojokkan kampus. Secangkir kopi dan sebatang roti coklat menemaninya. Nampak keningnya berkerut, matanya menyipit, dan bibirnya membentuk kerucut. Julian terlihat kebingungan mengerjakan tugasnya.
Seorang gadis muda mengendap-endap berjalan dari belakang mendekati Julian. Berharap dia dapat mengejutkan pemuda yang sedang dimabuk oleh tugas kuliahnya itu. Tangannya mengulur ke depan, hendak menepuk pundak Julian, wajahnya terlihat bergembira karena terbayang wajah Julian yang kaget.
“Kau ini sedang apa?” tanya Julian malas, kepalanya menunduk ke bawah.
“Ba—ba—bagaimana kau tahu aku di belakangmu?” Chris balik bertanya, terkejut, dia tak habis pikir bagaimana Julian bisa tahu kalau dia berniat mengagetkannya.
Julian nampak terkejut mendengar suara wanita tergagap di belakangnya. Dia pun berbalik ke belakang, dan mendapati Chris menatapnya heran.
“Loh, Chris! Apa kabar? Sudah lama tak bertemu,” sapa Julian riang.
Chris semakin bingung dengan kelakuan Julian. “Ya..ya kita sudah lama tak bertemu dan kabarku baik, tapi tadi bagaimana kau tahu aku ada di belakangmu?!”
Julian melongo heran. “Apa maksudmu? Aku bahkan terkejut melihat ada kau di dekatku,” sahutnya bingung.
“Jadi, kau tak tahu aku tadi di belakangmu, dan berniat mengagetkanmu?” tanya Chris semakin bingung.
“Tentu saja tidak,” tukas Julian pendek.
“Lah, terus barusan berbicara sama siapa?”
“Denganmu,”
“Sebelumnya,”
“Yang mana?”
“Waktu kau bilang “Kau ini sedang apa?”,”
Julian mengingat-ingat sebentar, kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa kau tertawa?” desak Chris bertanya curiga, memicingkan mata.
Julian tak menghiraukannya dan tetap tertawa.
Sampai akhirnya Chris merasa kesal. “Ah, sudahlah!”
Dia pun berbalik pergi berniat meninggalkan Julian. Tapi, secepat kilat Julian memegangi tangannya, mencegahnya pergi.
“Hei, bercanda kok tadi,” kata Julian menyesal.
Chris sempat meronta, namun ketika matanya bertatapan dengan mata Julian, akhirnya ia berhenti meronta dan luluh.
“Tadi kau ada urusan di sekitar sini?” tanya Julian.
“Iya, ada urusan sama dosenku sebentar, terus melihatmu sendirian di sini, aku menghampirimu” jawab Chris enteng.
“Sendirian?”
Chris menggeleng, “sama teman,”
“Pacar?”
“Bukan,” elak Chris. “Orang teman perempuan...”
“Masa sih?” pancing Julian setengah bercanda. “Kudengar, kau berpacaran dengan si putra konglomerat itu?”
“Sudah putus tiga hari lalu,” kata Chris agak sewot.
“Bukannya kau sudah lama sama dia?” Julian bertanya agak hati-hati.
Chris mengibaskan rambut yang menutupi mata. “Memang, sudah hampir empat tahun, tapi ya, dia terlalu overprotektif dan sombong, seakan-akan dunia ini miliknya...”
“Lama juga ya sampai empat tahun, saying sekali kalua kandas di tengah jalan” tukas Julian agak terkejut.
“Kalau kau, pasti tidak sampai satu tahun sudah bubar,” kata Chris bercanda, lantas menjulurkan lidahnya.
“HOY!” Julian tergelak. “Itu cuma isu jendral yang dihembuskan orang-orang yang tak bertanggungjawab,”
Chris tertawa mendengar gurauan Julian.
“Kau sudah makan siang?” tanya Chris tiba-tiba.
“Belum, masih banyak tugas yang harus diselesaikan,” desah Julian lelah, sambil memandang muram layar laptopnya.
“Padahal aku berniat mengajakmu makan siang,” sesal Chris agak murung.
Mendengar Chris berniat mengajaknya makan siang, dia langsung menutup laptopnya setelah menyimpan tugasnya tadi. “Yuk, makan siang sekarang!” katanya berseri-seri.
“Tapi, katamu tadi...”
“Sudahlah, lagipula otakku sudah meleleh,”
Chris tersenyum mendengar Julian. “Baiklah, tapi kau yang traktir...”
Julian memprotes, tapi Chris sudah berbalik pergi, rambut panjang coklatnya mengibas di belakang. Julian hanya menggelengkan kepalanya dan berguman pelan. “Dasar cewek...”