Hari yang telah dinantikan akhirnya telah tiba, Julian dan Lidya kini sudah duduk di dalam sedan hitam yang berjalan pelan menuju pelabuhan. Keduanya mengenakkan setelan resmi malam itu. Julian mengenakkan kemeja putih yang dibalut jas hitam, dan celana hitam mengilap, serta sepatu hitam, rambutnya disisir rapi. Sementara, Lidya mengenakkan gaun biru gelap setinggi lutut, rambut coklatnya dibiarkan terurai ke belakang. Sejak kejadian itu, dia belum memotong rambutnya, sebab ia berjanji pada dirinya sendiri. sebelum berhasil menjebloskan Baron ke penjara, dia takkan memotong rambutnya yang kini panjang sebahu.
Di sepanjang perjalanan, keduanya hanya berdiam diri tak saling berbicara satu sama lain, Julian masih agak aneh melihat perubahan drastis pada adiknya itu. Firasatnya mengatakan akan ada sesautu yang akan dilakukan Lidya, tapi dia hanya berdiam diri memperhatikan dari jauh.
Mereka akhirnya tiba di area pelabuhan, suasana sungguh ramai oleh deretan mobil para undangan, dan banyak sekali aparat keamanan yang berjaga. Mobil-mobil yang masuk diperiksa dengan teliti, Julian melihat beberapa pejabat, dan pengusaha terkenal berseliweran di dalam area pelabuhan, bersiap masuk ke dalam kapal besar megah bercat putih bersih yang bersandar di dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa. Di lambungnya tertulis huruf keemasan yang berbunyi “Kilisuci” diambil dari nama seorang putri mahkota Raja Airlangga, Raja Kerajaan Kahuripan.
Julian dan Lidya keluar dari dalam mobil. Tanpa banyak bicara mereka berdua berjalan beriringan, di tengah jalan Lidya menggamit lengan kiri Julian membuat pemuda itu agak kaget, namun kekagetannya hilang dalam sekejap tatkala merasakan ada sedikit getar pada tangan Lidya, rupanya adiknya itu masih sedikit takut.
“Cobalah untuk sedikit santai, aku selalu ada di sampingmu kok,” gumam Julian mantap tanpa memandang Lidya.
“Terima kasih,” balas Lidya tersenyum lemah, kata-kata kakaknya menguatkan dirinya.
Keduanya duduk di kursi besi di pinggiran dermaga, menunggu kemunculan kakeknya yang sudah beberapa hari ini pergi entah kemana juntrungannya bersama Pak Fadli. Julian sudah bertanya kepada seluruh penghuni rumah, termasuk Anjani, Alex, dan juga Prof. Wimar, namun semuanya hanya menggelengkan kepala. Dan, dia memutuskan untuk melupakan begitu saja alasan kepergian kakeknya itu.
Sementara menunggu, Lidya melemparkan pandangan ke sekitarnya, dia melihat dua helikopter polisi berterbangan di atas dermaga berpatroli, beberapa anjing pelacak yang mengendus-endus barang bawaan tamu-tamu yang hadir, Lidya mengenali beberapa tamu yang hadir, seperti Kepala Kepolisian Nusantara, Kepala Polisi Batavia, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum, Hakim Tinggi Nusantara, Hakim Tinggi Batavia, beberapa pengusaha kaya berpengaruh negeri ini. Lalu, dia menoleh ke arah kanan, melihat sekelompok polisi sedang memeriksa mobil boks katering, dan memutuskan memberi jalan kepada mereka ketika pemeriksaan usai.
Julian menepuk tangan Lidya ketika dia melihat kakeknya berjalan ditemani Pak Fadli menuju ke arah mereka berdua.
“Bagaimana kabar kalian? Baik-baik saja, kan?” Sapa Kakek Kusuma berseri-seri.
“Seperti yang Kakek lihat. Apa kau bisa menjelaskan pada kami, darimana kau selama ini?” Julian bertanya menyelidik.
Kakek terkekeh. “Nanti, setelah pertemuan ini, akan kuceritakan pada kalian, kau tidak apa-apa, kan sayang?” Kakek beralih memandang lembut ke arah cucu perempuannya.
Lidya hanya tersenyum lemah, mengangguk.
Lalu, Kakek mendekatkan diri pada kedua cucunya dan berbicara dalam bisikan, “aku sudah menyelundupkan perlengkapan kalian, tepatnya di kamar mandi tertutup lantai lima, sedangkan aula utama berada di lantai tiga, ingat baik-baik itu. Alex dan Anjani berada tak jauh dari sini, dia akan memandu kalian melalui alat komunikasi dan kamera pengintai di kapal yang berhasil mereka retas, sementara Iwang dan Hasan sudah bersiap di atas kapal boat kecil, apabila kita membutuhkan evakuasi darurat. Fadli akan menemaniku sebagai pengawal, sebab dia tidak termasuk dalam daftar tamu undangan, jadi kalian bisa fokus kepada misi. Ingat! Dahulukan keselamatan daripada misi, tak masalah jika kalian gagal malam ini, masih ada hari esok untuk kembali,” pesannya.
“Prof. Wimar tidak ikut ambil bagian dalam tim ini?” Julian bertanya.
“Tidak, dia masih ada urusan dengan keluarganya, jadi aku tidak melibatkan dia dalam misi kali ini,” kata Kakek menjelaskan. “Ada pertanyaan lagi?”
“Tidak,” kata Julian dan Lidya serempak.
“BRRONNGGG!” tanda Kapal Pesiar Kilisuci akan segera berangkat. Para kru dan keamanan pun berteriak agar para undangan bergegas naik ke atas. Kakek, Julian, Lidya, dan Pak Fadli segera naik ke atas tangga penghubung dermaga dan kapal, bersama ratusan undangan lainnya.
Ketika melangkahkan kakinya di atas tangga penghubung, Julian mendongakan kepalanya ke atas kapal, dan dia sempat melihat dua orang yang paling dibencinya Pramoedya dan Danadyaksa. Keduanya terlihat berbicara misterius di dekat geladak, tak lama mereka menghilang dari pandangan.
“Entah harus bersyukur atau mengeluh, melihat dua musuh dan satu musuh lainnya akan meramaikan malam ini,” batin Julian murung.
Ketika semua undangan sudah naik tanpa ada lagi yang tertinggal, kru mulai mengangkat jangkar kapal dan menarik tali penambat. Mesin dinyalakan, dan kapal berangkat menuju laut lepas, dikawal dua helikopter yang berputar-putar di atas, satu kapal perang angkatan laut, dan empat kapal patroli cepat milik kepolisian. Julian berpikir, Baron benar-benar gila jika benar-benar melakukan aksinya malam ini, di bawah penjagaan ketat seperti ini mustahil dia bakal leluasa bergerak.
“Silakan, terlebih dahulu dimohon masuk melalui pintu utama, karena ada pemeriksaan lebih lanjut, lalu naik melalui lift atau tangga menuju lantai dua tempat diselenggarakan pesta malam ini,” teriak seorang pria memakai setelan resmi dengan dasi kupu-kupu mengarahkan tamu undangan. Walau begitu ekpresinya tampak aneh, cenderung pucat dan ketakutan.
Julian berjalan perlahan di posisi paling belakang rombongan sambil mengagumi kemegahan kapal, mendadak pria itu membisikan sesuatu di telinga Julian tepat ketika dia melangkah di sisinya. “Tiga jam lagi atau jam dua belas tepat, aku akan mulai membunuhi satu persatu penumpang, cobalah untuk menyelamatkan sebanyak mungkin”
Julian tersentak kaget, dia reflek melompat ke samping dan berdiri berhadapan dengan pria itu. Sementara penjaga yang bertugas memeriksa sudah hilang entah kemana.
“Katakan, siapa kau ini?!” Julian bertanya waspada. Matanya menyipit menyelidik.
Pria itu seperti ketakutan, dia nampak pucat seperti orang sakit, keringat menetes dari pelipisnya, dan tatapan matanya berputar kesana kemari, seperti sedang mencari seseorang.
“Kau ini siapaaa?!” ulang Julian tak sabar. “Kenapa kau berkata seperti tadi?”
Mendadak lelaki itu melompat ke depan, memegangi kedua lengan Julian, tangannya gemetar hebat. Dari dekat Julian bisa melihat, kalau lelaki ini benar-benar ketakutan, berbeda saat tadi ketika memberikan penjelasan kepada para tamu.
“To—long aku! Ka—pa—l ini su-su—dah tidak aman!” katanya gemetaran.
“Apa maksudmu? Aku benar-benar tidak tahu,” tukas Julian bingung. Lalu, sesuatu membuka pikirannya. “Tunggu dulu! Apa kau ada hubungannya dengan Baron?!”
Pria itu hendak membuka mulutnya, namun sayang tiba-tiba saja matanya melotot, tubuhnya mengejang hebat, lelaki itu merosot ke lantai sambil memegangi dadanya, dia meninggal dengan mulut penuh busa.
Julian mengambil sarung tangan dari saku celananya, berjongkok di dekat pria itu. Setelah memeriksa sekujur tubuhnya berniat menemukkan bukti terkait hubungannya dengan si badut. Namun, hasilnya nihil. Dia menyeret pria itu ke dalam toilet di dekat situ supaya tidak menyebabkan kegemparan.
“Hoy, Alex, Anjani, kalian dengar?” kata Julian pada alat komunikasi miliknya. Dia berdiri, mendongak tepat di depan kamera CCTV. “Kalian lihat kejadian tadi, kan? Sepertinya dia dihipnotis dan diracun”
“Yoi, tenang saja. Kau takkan dapat masalah. Seluruh jaringan keamanan di atas kapal sudah berada dalam kendaliku” Jawab Alex santai dari seberang. Anjani sendiri sedikit syok melihat kematian pelayan tadi.
“Begitu, aku ingin kau memantau setiap pergerakan aktivitas mencurigakan sebelum kapal ini berangkat atau ketika para kru di atas kapal menyiapkan segala sesuatunya,” ujar Julian memberi perintah. “Aku akan masuk ke dalam, kuserahkan semuanya padamu,”
“Roger!” sahut Alex.
Julian bergegas masuk ke dalam aula utama. Dia berdiri tegang di depan pintu utama mencari Kakek maupun adiknya, Lidya.
Aula didekorasi besar-besaran. Lantai marmernya digosok sampai mengilap. Pilar-pilarnya menjulang menopang langit-langit. Di beberapa sudut ruangan terdapat meja-meja panjang, diatasnya dipenuhi beraneka macam masakan, mulai masakan khas Nusantara, Asia Timur, Eropa maupun Timur Tengah. Di sudut lain, terdapat podium yang didesain megah, digunakan untuk para pejabat melakukan pidato membosankan. Beberapa musisi disewa untuk melantukan alat musik merdu menemani jamuan makan malam.
Julian berjalan menerobos gerombolan sosialita yang tertawa dengan kepura-puraan yang khas, tangan mereka diangkat tinggi-tinggi memamerkan harta kekayaan dari suami berupa gelang-gelang emas dan berlian. “Sungguh menjijikan,” pikir Julian sengit.
Akhirnya, dia melihat Lidya berdiri canggung di belakang kakeknya yang berbicara sopan dengan Menteri Kesehatan.
Lidya tersenyum lemah melihat kakaknya datang. Tapi, dia tak menanyakan keberadaan Julian yang sempat menghilang beberapa menit tadi.
“Kau sudah mengambil makanan tadi?” Julian bertanya perhatian.
Lidya hanya menggelengkan kepalanya.
“Mau aku ambilkan sesuatu, seperti Sate atau Bakso kesukaanmu?”
Lidya mengangguk pelan.
Setelah membelai lembut rambut Lidya, dia pergi mengambil makanan sebentar di salah sudut aula.