“Lapor Kapten! Ada laporan dari kru Kilisuci, kalau kapal sudah dikuasai oleh kelompok teroris!” kata seorang Sersan melaporkan pada Kapten Kapal Angkatan Laut Nusantara—Kapten Aswatama— yang mengawal Kapal Pesiar Kilisuci.
Kapten Aswatama mengernyitkan dahinya. “Bagaimana bisa ada teroris yang menyusup? Ada belasan anggota kita di sana, bersama ratusan polisi yang berjaga, bahkan dua helikopter dan delapan kapal patroli cepat dibantu satu kapal perang ikut menjaga.”
“Berdasar laporan dari anggota kita, ratusan polisi yang berjaga di sana, ternyata adalah musuh yang menyamar, mereka semua palsu, bahkan Kepala Polisi Nusantara telah meninggal, kepalanya hancur ditembak dari jarak dekat,” kata Sersan itu menambahkan.
“APA?! KEPALA POLISI TEWAS DIBUNUH?!” pekik Kapten Aswatama terkejut, semua yang ada di dekat dia pun ikut kaget mendengar kabar buruk itu. “Ini benar-benar insiden yang sangat serius!”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan? Letnan Jericho sudah menyiapkan dua regu pasukan khusus, menunggu perintah dari Kapten untuk bergerak,” ujar Sersan itu melaporkan.
“Kita tidak boleh gegabah, masih ada Menteri Pertahanan dan Menteri Kesehatan di atas kapal, apa mereka sudah mengeluarkan tuntutan? Dan, bagaimana kondisi sekarang di sana? Kita harus tahu kekuatan mereka terlebih dulu. Apa pasukan kita sudah mengirimkan laporan?” Kapten Aswatama bertanya kepada sersan itu.
“Sejauh ini belum ada respon dari atas kapal, dan tim kita belum memberikan pesan, kami masih menunggu sinyal atau kode dari tim kita di sana,”
“BLARRR!” mendadak terdengar bunyi ledakan keras disertai cahaya terang di luar, semua yang ada di kapal angkatan laut pun keluar untuk melihat dan mereka tersentak kaget. Tatkala salah satu helikopter milik kepolisian berputar-putar tak karuan di udara, dan bagian belakang atau ekor helikopter terlihat hancur, dan akhirnya helikopter itu terhempas ke lautan, meledak dengan keras di dekat lambung kapal Kilisuci.
“Cepat! Kirim regu penyelamat!” pekik salah seorang letnan dengan sigap.
“Astaga, sebenarnya apa yang terjadi?!” desah Kapten Aswatama membelalakan mata.
“Kapten! Lapor!” kata seorang prajurit datang tergopoh-gopoh.
“Ada apa?!” tukas Kapten Aswatama bertanya.
“Menurut pengamatan saya melalui teropong, sebelum helikopter itu terjatuh. Mereka memberi peringatan kepada kelompok teroris yang ada di atas Kilisuci, namun tak ada jawaban, malahan mereka membalas tanpa peringatan meledakkan helikopter dengan sesuatu semacam roket atau bazzoka,” lapor prajurit itu. Lalu, dia bergegas pergi untuk bertugas kembali
“Sersan, terus hubungi anggota kita yang berada di atas kapal, dan hubungi polisi yang berada di kapal patroli, pastikan mereka bukan rekan musuh terlebih dahulu dan juga laporkan kondisi saat ini pada mabes,” perintah Kapten Aswatama tegas.
“Siap! Laksanakan!”
Sementara itu, Lidya melepaskan anak panahnya ke dua orang penjahat berseragam polisi tepat ke ketika mereka mau menembakkan pistolnya, dan diakhiri dengan tendangan keras ke dada polisi itu secara bergantian oleh Julian. Busur panah Lidya kali ini didesain layaknya senjata tumpul, jadi tidak akan menancap di daging layaknya dulu.
Mereka saat ini masih tersendat di lantai empat, beberapa penjahat menembakkan senjata membabi buta untuk menghentikan mereka berdua. Julian dan Lidya bersusah payah menghindari maupun menaklukan mereka. Kelihatannya Baron sudah mewaspadai pergerakan Julian dan Lidya, sehingga membiarkan anak buahnya untuk membunuh ketika melihat mereka.
“DUARRR!” salah seorang polisi melemparkan granat tangan ke arah Julian.
“Oh syit! Kalau saja aku tidak segera menghindar bisa hancur tadi,” kata Julian kaget.
Lidya melepaskan bom asap ke arah para polisi itu yang langsung terbatuk-batuk. Tanpa ragu, Julian berlari cepat menyongsong mereka, tongkatnya berkelebat di udara, memukul dan menyabet buas. Dalam beberapa menit, empat polisi tadi jatuh bergelimpangan di lantai.
Julian membuka topengnya sejenak, dan menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
“Kau tidak apa-apa, Ju?” tanya Lidya yang berjalan mendekat.
“Cuma agak capek sedikit, dan memar di lengan kanan atas,” keluh Julian sambil memijat lengannya yang sakit.
“Halo... haloo... kalian mendengarku?” suara Alex memanggil berulang-ulang di telinga Julian dan Lidya.
“Ya, kami mendengarmu, ada apa?” balas Lidya.
“Aku melihat ada kebocoran di lambung kapal sebelah kiri, tidak terlalu besar, tapi itu cukup untuk menenggelamkan kapal dan menurut Anjani waktu kalian tak lebih dari dua jam, dalam kurun waktu tersebut lakukan menurut apa yang kalian anggap terbaik, kalian paham?!”
“Baik kami mengerti, tapi bagaimana bisa lambung kapal bocor?” Lidya bertanya agak bingung.
“Para teroris ini meledakkan helikopter polisi dan ledakannya mengenai sisi kiri lambung kapal, kalian harus hati-hati sebab keseimbangan kapal akan tidak stabil kedepannya. Aku juga melakukan pengamatan melalui kamera yang terpasang di cctv kapal, senjata mereka mirip militer,” jawab Alex.
“Oke, kami mengerti, terus kabari kami bila ada perkembangan baru,” kata Lidya mengakhiri percakapan.
Kemudian, Julian dan Lidya terus bergerak, di lantai tiga mereka tak berpapasan dengan siapapun, hanya mendengar suara baku tembak disertai ledakan di kejauhan.
“Tunggu!” Julian memegang bahu Lidya, mencegahnya untuk bergerak.
Lidya berbalik, wajahnya terlihat kebingungan. “Ada apa sih?” tanyanya.