Sabarong

Rizky
Chapter #15

KEBENARAN YANG MENYAKITKAN

Di dalam aula pertemuan, semua tamu undangan di kumpulkan membentuk lingkaran di tengah-tengah ruangan, mereka dijaga pasukan bersenjata lengkap, mirip pasukan khusus dalam kesatuan tentara.

Kakek Kusuma dan Pak Fadli berdiri berdekatan, mereka berdua saling berbisik satu sama lain.

“Tuan, apa Tuan Muda dan Nona Muda akan mampu menyelamatkan semuanya?” Pak Fadli bertanya dengan nada rendah.

 “Sudah jelas, jawabannya hanya mereka sendiri yang tahu, jujur saja aku tak mengkhawatirkan keselamatan atau keberhasilan Julian dan Lidya.” Tukas Kakek sembari membetulkan kacamatanya. Lalu dia menambahkan, “asal...”

“Asal apa, Tuan?” sambar Pak Fadli.

“Asal Lidya mampu melupakan traumanya, dan Julian tidak terlampaui percaya diri untuk melakukan segalanya sendirian,” jawab Kakek. “Aku yakin, mereka pasti mampu menyelamatkan semuanya dan menghentikan Baron.”

“Saya harap juga begitu,” Pak Fadli mengangguk, menimpali pernyataan Kakek Kusuma.

Percakapan mereka berakhir ketika pintu utama terbuka lebar, dua sosok pria bersenjata lengkap masuk ke dalam oleh Baron, di belakangnya empat orang berbadan besar menjaganya seperti bodyguard. Mereka memakai topeng badut dan bersenjata lengkap.

Pria itu terus berjalan dengan enteng sesekali melontarkan candaan dan bertingkah lucu, jika saja tidak dalam situasi seperti ini mungkin banyak yang tertawa melihat dan mendengar lelucon darinya, namun semuanya terlihat makin ketakutan. Baron berjalan menuju podium aula pertemuan.

“Test...test, oke, halo semuanya, selamat malam, apa kalian bahagia?” Baron berbicara dengan semangat melalui mikrofon di tangannya. Tapi, tak ada yang bersusah payah untuk menanggapinya. ‘Wah.. wah, kelihatannya aku tidak terlalu disambut oleh kalian, tapi terserah itu hak kalian... dan, aku... yak! Ada apa Nyonya yang di sana?”

Seseorang wanita paruh baya berwajah bulat cemberut, bertubuh pendek maju menerobos lingkaran, dia tak menghiraukan himbauan dari teman-temannya untuk tidak melakukan hal bodoh.

“Namaku Rosalina Marthaweni, aku menjabat sebagai direktur utama di salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang komunikasi, ya aku memiliki banyak harta dan sangat kaya raya. Jadi...”

“Jadi?”

“Berapa uang yang kau inginkan?” perempuan itu memberikan tawaran kepada Baron dengan nada melecehkan.

Baron tertawa keras. Lalu, dia berkata, “Nyonya Martha, jika kau bisa memberiku uang sebanyak yang kuinginkan, kenapa kau tidak menyumbangkan saja seluruh hartamu ke orang-orang miskin di Batavia?”

“Apa maksudmu?!” balas Nyonya Martha tajam.

“Ya, Anda!” teriak Baron tajam. “Seharusnya orang-orang seperti Anda lah yang harus berperan aktif dalam...” dia menekankan suaranya dalam setiap kalimat, dan melanjutkannya, “...membantu menyejahterakan rakyat tidak mampu!”

“Perlu kau ketahui, aku sudah mendirikan sebuah yayasan yang bergerak di bidang kesehjateraan sosial, yayasan milikku ini juga telah berperan aktif dalam pembangunan kota,” jelas Nyonya Martha.

“Pastinya, kau menggunakan bukan dari dana korupsi, kan?” Baron bertanya, mulutnya membentuk seringai tajam.

Perempuan itu mendadak salah tingkah, kepercayaan dirinya perlahan meninggalkan dirinya. “Tu—tu-tunggu, a—a-a-aku... bi-bi—bisa..”

“Ya, ya, ya... terserah Anda berkata apa, toh aku tak peduli denganmu,” gerutu Baron malas. “Jika kalian ingin mengetahit seberapa banyak perempuan ini terlibat skandal korupsi di kota ini, kalian akan mengunduhnya di email yang barusan aku kirimkan,”

Perempuan gemuk itu tercekat, dia tak bisa berkata-kata lagi. Dia pun bergegas mundur, kembali ke barisan, namun Baron mencegahnya.

“Anda ini mau ke mana? Aku belum selesai dengan Anda,” gumamnya melambaikan tangan, seketika dua orang tentaranya maju, dan menyeret paksa, perempuan itu meronta-ronta sambil berteriak ketakutan, kedua tentara itu pun membantingnya keras di atas lantai, terdengar lenguhan keras dari para sandera, namun mereka tak melakukan apa-apa.

“Sakit, ya? Duh, kasihan,” kata Baron pura-pura kasihan melihat Si Nyonya gemuk merintih kesakitan. “Tolong, sembuhkan dia,” dia menunjuk salah satu anak buahnya untuk menjalankan perintahnya.

Wanita gemuk itu beringsut ketakutan, menggelengkan kepala menolak bantuan dari anak buah Baron. “Kumohon, keluargaku menungguku di rumah. Aku memiliki anak yang masih kecil, dia masih butuh kasih sayang dari seorang ibu,” raung wanita gemuk itu menangis ketakutan.

“Maaf, nyonya, perintah adalah perintah,” anak buah Baron pun langsung melepaskan tembakan tepat ke kepala wanita gemuk, kepalanya hancur, dan dia pun seketika menemui ajalnya.

“Ada lagi yang mau mengutarakan keluh kesahnya?” tanya Baron melempar pandangan. “Tak ada, kalau begitu aku akan menunjuk saja, bersiaplah!”

“Klotak, klotak, klotak...” tiga buah benda seperti kaleng berwarna abu-abu, muncul seperti dilempar masing-masing dari ketiga pintu aula. Semua orang pun melihat ke arah benda itu.

Pak Fadli cepat tersadar, dia pun merogoh kantongnya, dan mengeluarkan dua masker dari balik jasnya, salah satunya dia berikan kepada Kakek Kusuma.

Asap mulai keluar dari dalam kaleng tersebut, perlahan membumbung tinggi menyelimuti seluruh aula, pandangan pun kabur dan napas menjadi sesak. Salah seorang anak buahnya, melemparkan masker gas ke Baron. “Mereka sudah di sini rupanya,” gumamnya misterius.

Dua orang melompat masuk tertutupi tabir asap, melumpuhkan dua penjahat dengan cepat. Lima penjahat terkena lemparan pisau. Karena frustrasi salah seorang penjahat menembakkan senapan membabi buta, tiga orang sandera pun menjadi korban terkena peluru nyasar. Sebatang anak panah melesat mengenai sisi kepala, melumpuhkan salah seorang anak buah Baron.

“Semuanya keluar dari sini, ikuti orang-orang itu!” pekik Kapten Restu kepada para sandera ketika tabir asap mulai terangkat. Dibantu rekan-rekannya.

“Di mana Baron?” Julian bertanya celingukan.

“Dia sudah pergi ketika kalian datang,” jawab Kakek Kusuma tiba-tiba. Dia mendekati Julian dan Lidya dari belakang.

“Kakek!” pekik Lidya senang, memeluk kakeknya. “Kau tidak apa-apa, kan?”

“Aku tidak apa-apa, syukurlah kalian juga baik-baik saja,” Kakek sejenak memandangi Lidya, ia beranggapan cucunya itu sudah berhasil melewati masa-masa sulit, dan kini perlahan mulai menemukan kepercayaan dirinya lagi.

Lihat selengkapnya