Aqilla
Instrumen lagu sunda mengalun merdu, menyeruak ke segala sudut di sebuah acara pernikahan, seirama wajah-wajah bahagia tampak tergambar jelas pada setiap insan yang tengah menikmati acara Walimatur 'Urs salah satu alumni santri pondok Roudhotul Jannah.
Momen sakral itu tentunya dihadiri banyak pihak, khususnya keluarga pengasuh pondok serta teman-teman sesama santri baik putra maupun putri. Maklum Mbak Rani –sang pengantin– dulunya merupakan santriwati terkenal di kalangan pesantren. Apalagi pernah menjabat sebagai kepala pondok dan khodimah pengasuh.
Di sudut halaman tempat para tamu menikmati suguhan makanan, gerombolan pengurus putri tampak menjamur. Menyantap makanan khas acara pernikahan sambil sesekali bercakap-cakap riuh. Makin seru lagi ketika di sudut halaman yang lain, dalam radius lima meteran para pengurus putra berada.
Sebetulnya aku sama sekali tidak merasa terganggu dengan keriuhan di sekeliling. Cukup menjadi pendengar setia saja dan pengamat, terutama saat Husna –si gadis pemalu– digoda oleh teman-temannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya oleh si biang jahil Nining Purwaningsih.
“Husna, Mbak Husna,” panggil gadis berjilbab bunga-bunga itu sambil mencolek lengan temannya yang duduk di depannya.
Husna tidak jadi memasukan kue ke dalam mulut. Ia menoleh. “Ya, ada apa Mbak Ning?”
“Itu tengok ke sebelan sana!” Nining memberi kode lewat dagunya ke arah gerombolan pengurus putra di sebelah Utara. Lalu terkekeh geli. “pilih yang mana, Mbak? Yang agak brewokan kayak Kang Salman? Atau yang berkumis tipis kayak Kang Hafid? Hihi.”
Husna menurut saja arahan temannya itu. Ia menengok sekilas. Kemudian tertawa kecil sambil menundukkan kepalanya.
Tentu saja aku terkekeh geli melihatnya bertingkah begitu. Mungkin Husna merasa seperti ada kupu-kupu yang menggerayangi perutnya.
Teman-teman yang duduk di sekelilingnya ikut-ikutan menggoda.
“Cieee ... Malu-malu. KUCING,” celetuk gadis bergamis kotak-kotak.
“Cieee ... Yang milih jagoannya berkumis tipis,” tambah yang lain.
Gadis berbadan agak gempal –Marwah, berseru di sela-sela tawanya, “Eh, eh, mending Kang Jenggotan aja kata aku sih. Bikin geli tuh jambang. Haha.” Tawanya meledak.
“Idih, semua lewat, Kang Athar pokoknya tetep nomer satu,” komentar gadis berkacama.
“Lha, si pecicilan yang unlimited kuota ngomong itu, Mbak?” tanya Nining. Ia tersenyum jahil. “aha, benar, Na, Kang Athar aja. Iya, kan Mbak-mbak?”
Yang lain berseru kompak, “Hiii ... Nggak level. Haha.”
Nyatanya lama-lama aku geram juga. Tawa mereka itu loh, di tempat umum lagi. Benar-benar kurang adab.
Maka dengan beraninya, aku yang paling kecil –maksudnya yang berpostur paling pendek– berdiri, kamudian berseru dengan muka di-serius-seriuskan, “Hei, Mbak-mbak. Stop, ah. Malah ngomongin kaum Adam. Pakai milih-milih berdasarkan jenggot dan kumis lagi. Calon imam itu bukan dipilih berdasarkan paras dan aksesorisnya, tetapi hati yang menjadi fokus utamanya.”
Laksana boomerang, seketika mereka malah menyerang balik kepadaku.
“Cieee ... Mbak Aqilla. Percaya, deh, yang udah punya calon imam, sih.”
Lantas mereka kembali tergelak. Aku geleng-geleng kepala. Kenapa malah aku yang jadi sasaran, sih? “Astaghfirullah. Kalian itu, ya. Hadeuh ..,” keluhku menunjukkan ekspresi kesal seraya duduk kembali.
Sekonyong-konyong Nining berdiri. Ia cekikikan dan berteriak cukup keras ke arah gerombolan pengurus putra di sana. “Kang, Kang Husein. Ini Aqilla Kang.”