Husein
Aku sedang asik bercengkrama bersama teman-teman, mendadak Aida –adikku– memanggil-manggil. Saat itu dia memang ikut menghadiri acara pernikahan Mbak Rani bersama Bunda dan Ayah. Maklum Bapak dari pengantin perempuan merupakan alumni pondok Roudhotul Jannah juga dan Ayahku sudah lama berkawan baik.
“Ada apa, sih?” tanyaku heran sambil melepaskan sandal di pojokan teras.
“Nggak tahu. Ayah cuma minta Aida manggilin Aa.” Aida berjalan lebih dulu. Aku mengekor di belakangnya menuju ruang tengah.
Suasana rumah Mbak Rani di tiap jengkalnya tentu ramai sekali. Adat sebuah acara hajatan di daerah Sunda memang begitu, bukan hanya para tetamu undangan saja yang meramaikan, tetapi juga para tetangga sekitar, pasti mereka akan bahu-membahu meramaikan acara.
Ayah melambaikan tangan, memintaku duduk di samping kanannya. Aku manut. Di samping kirinya sendiri ada Bunda dan Aida. Orang-orang yang berada di ruang tengah itu kesemuanya duduk di atas karpet dan di tengah-tengah mereka tersedia suguhan beranekaragam makanan khas acara pernikahan.
Awalnya aku tampak biasa-biasa saja. Mungkin sedikit gugup, karena tidak jauh dariku berada, ada pula Ibu Nyai Syarifah Mudaim –Ibu pengasuh pondokku– bersama beberapa keluarga dan santriwati khodimah.
Sebentar, ada sesosok gadis cantik yang membuatku melirik agak lama. Gadis yang beberapa saat yang lalu aku jahili itu loh –Aqilla Syamsyun Nufus namanya. Ia duduk di dekat pintu masuk ruangan. Sesekali ia tampak bercakap kecil dengan temannya.
Entah tujuannya apa Ayah memanggilku seserius ini, terutama saat memaparkan perihal salah satu impianku yang ingin kuliah di luar negeri.
“Oh, mau kuliah di luar negeri, tho, Kang? Di mana?” tanya Ibu Nyai antusias.
Tanpa berani menegakkan wajah, aku menjawab hati-hati, “Nggih, Bu. Maunya, sih, ke Mesir atau Yaman. Insya Allah.”
“Wah, bagus itu, pertahankan lah niatnya. Oh, iya, kebetulan sekali Ibu punya kenalan dekat di sana, Kang. Nanti coba Ibu hubungi, barangkali bisa membantu.”
Ayah menyambung, “Entah, kenapa, ya, Bu. Si Husein ini orangnya aneh. Masa tiba-tiba bilang pengin mendirikan madrasah bertaraf internasional. Kan aneh.” Ayah terkekeh. Pun beberapa orang tergelak mendengarnya.
Aku hanya tersenyum kecut. Diam-diam menyusup perasaan malu. Kenapa tiba-tiba Ayah bicara blak-blakan begini, sih, di hadapan Ibu Nyai dan keluarga pengasuh pondok? Serta satu lagi, hmm ... Ada Aqilla di sana, Yah.
“Terus pengin punya usaha sendiri katanya, Bu, yang para karyawannya nanti harus disiplin soal ngaji lan jamaah. Itu mah sekalian buat pondokan saja, ya. Dan sekarang malah tiba-tiba pengin kuliah di luar negeri segala. Kenapa harus di luar negeri? Kan di sini juga banyak kampus-kampus yang bagus.”
“Ya, nggak papa, tho. Mau di luar ataupun di dalam negeri. Sama saja. Mau yang bagus atau yang biasa. Mau yang islami atau umum. Nggak apa-apa. Mangga. Sing penting kudu diniatin ngaji, ngaji lan ngaji. Wis, Insya Allah, (silakan. Yang penting harus diniatkan ngaji, ngaji dan ngaji. Sudah) segala hal yang lainnya, terutama yang berbau duniawi, ya, bakal manut kabeh. (Ya, bakal ikut semua).”
“Kalau Neng Aida, sih, gimana?” tanya Ibu kemudian melirik ke arah Aida.
Aida tersenyum malu-malu. “Di pondok saja, Bu.”
Ayah menyahut lagi, “Iya, kalau si Aida mah beda, Bu. Orangnya lurus-lurus saja, tapi saking lurusnya malah kadang bikin gemas. Kalau Husein selain suka punya keinginan yang aneh-aneh, dia juga ambisius. Segala sesuatu yang ingin ia capai, ya, harus benar-benar terwujud. Tidak bisa tidak.”
Pembicaraan terus berlanjut mengasyikkan, yang pada intinya Ayah cuma mau mengenalkan sisi lain dariku dan Aida. Mungkin karena masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, sementara mereka jarang bertemu.
Dan aku pun hanya akan menimpali singkat, selebihnya cuma mengangguk-angguk serta menundukkan kepala. Barulah pembicaraan mulai sensitif tatkala Ibu Nyai menyinggung persoalan yang lain.
“Oh, iya, Kang Husein, terus gimana sama orang Majalengka-nya? Mau kapan? Apa mau nikah dulu, biar nanti bisa kuliah bareng di luar negeri atau gimana?” tanyanya to the point.
Sontak bola mataku terbelalak. Terkejut bukan main. Aku meneguk ludah susah payah. Satu pertanyaan muncul di kepala; kenapa Ibu Nyai mengetahui hubunganku dengan orang Majalengka? Tentunya yang dimaksud ialah Aqilla.
Sejenak ada perasaan ketakutan yang menjelajahi dasar hatiku. Kalau-kalau di kemudian hari justru perkara buruk yang muncul akibat ketahuan memiliki hubungan khusus dengan sesama santri, karena kita masih berada di lingkungan pondok pesantren.
“E, a ... anu. Hmm ...,” ucapku gugup setengah mati. Keringat dingin mulai membanjiri keningku. Aku sedikit mendongakkan kepala, melihat ke wajah Ibu Nyai Syarifah, yang seperti mencari jawaban kejujuran. Juga sekilas ekor mataku melirik ke arah Aqilla. Gadis berparas cantik nan imut itu pun sepertinya berada dalam kondisi yang sama, terbukti dia memainkan kuku-kuku jari tangannya, pertanda gusar.
Sejurus Bunda menyenggol pundakku seraya menegur, “Heh, Husein. Kumaha eta ditaros malah cicing wae? (gimana itu ditanya malah diam saja?)”
Aku tersenyum kikuk. Ayah segera menimpali, “Oh, Husein sudah punya orang yang disuka kah? Siapa, Bu?”
“Putrinya Kyai Hamam. Alumni pondok juga, itu loh yang punya pesantren Al-Hikmah.”
Ayah takjub. Ia menoleh kepadaku, seperti meminta kebenaran. “Benar itu, Sen? Kok nggak cerita-cerita. Ayolah, kenalin atuh! Mana orangnya, kayak gimana?”
Aku tambah malu. Apalagi orang-orang di sekelilingku semakin heboh.
Bunda angkat bicara, “Sebentar-sebentar, berarti kalian ....” Ada jeda satu detik dari ucapannya, kemudian bertanya penuh selidik, “pacaran, nih?”
Aku gelagapan. Belum sempat menjawab, sebab Aida keburu menyela, “Apa? A Husein punya pacar? Kan masih mondok nggak boleh pacaran, A. Kan katanya olih demen asal aja demenan, A. (Kan boleh suka asal jangan pacaran, A).”
Merasa perlu diluruskan. Detik berikutnya aku berseru, pun gadis yang sedari awal duduk di dekat pintu masuk itu. Refleks kami berseru kompak, “Bukan, kami nggak pacaran.”
Tak perlu bertanya adegan selanjutnya bagaimana, suasana ruang tengah itu makin heboh. Bermacam pasang mata menatapku dan Aqilla secara bergantian. Bermacam pertanyaan pun muncul di kepala mereka. Salah satunya ialah yang meluncur dari mulut Ayah.
“Kamu putri Kyai Hamam yang dimaksud itu, Neng?”
Aku menangkap dengan jelas. Aqilla terkesiap. Wajahnya membeku, sekaligus memerah bagai udang rebus. Tenggorokannya mungkin serasa tercekat. Sebab, selanjutnya dia hanya diam. Tak mampu berkata-kata lagi. Yang aku yakini, pasti dia pun merasa malu. Kenapa bisa-bisanya juga dia malah keceplosan menyahut pertanyaan Ayah? Kan, sekarang semuanya pada tahu hubunganku dengannya.
***
Oh, iya, soal hubunganku dengan Aqilla Syamsun Nufus memang sudah diketahui oleh teman-teman sepengurusku. Kadang mereka bahkan suka menakut-nakuti.
“Awas loh, Sein. Kalau ketahuan sama Ibu Nyai atau Pak Kyai nyawamu di sini bakal terancam.”
Aku terkekeh, lalu menjawab santai. ”Lha, gampang. Aku akan bilang bahwa kita nggak pacaran kok. Kita cuma saling suka. Lalu, sama-sama berkomitmen.”
Si Athar –pengurus pendidikan bermulut unlimeted bicara– menimpali, ”Preeeet … Berkomitmen raihmu. Podowae, Cung. (sama saja) Itu sama saja berpacaran. Selama ini kan kalian saling chat-an? Terus suka diam-diam ketemuan, kan? Namanya pacaran lah.”
Aku berjalan kearahnya, menepuk kedua pundaknya, mencoba menahan untuk tidak tertawa lepas. ”Jadi, gimana? Kang Athar cemburu, nih? Suka juga sama Aqilla?”
Athar terkejut. ”Bu ... Bukan begitu maksudku. A … aku nggak suka sama dia,” katanya sambil berlalu.
“Terus kenapa tadi ngomongnya kayak gitu?”
“Aku kan cuma mewanti-wanti sampean. Ngingetin! Karena kalian masih mondok. Nggak boleh pacaran ataupun istilah lain yang mengarah ke sana.” Ia melangkah menuju kerumunan teman-teman di ruang belakang kantor pengurus.
“Terus gimana dong, Kang? Aku udah terlanjur sayang, sih. Masa main tinggal aja pas lagi sayang-sayangnya,” candaku bernada manja.