Aqilla
Sekitar pukul sebelas malam acara Halaqoh Haji yang diselenggarakan oleh tingkat 5 itu baru selesai. Sebelumnya Ibu Nyai Syarifah Mudaim menjadi pemateri acara tersebut, sementara aku sebagai wali tingkat 5 sedikit berbicara sepatah dua patah kata pada sambutan di awal. Ending dari acara rutinan ini ialah mayoran bersama atau istilahnya syukuran; berupa makan besar bersama-sama dalam satu nampan.
Aku lebih dulu menyudahi makan bersama beberapa pengurus.
“Maya, sini, May!” panggilku kepada gadis bertubuh tinggi, usai meneguk beberapa tegukan aqua botol. Posisi kami mayoran itu di halaman utama pondok putri.
Maya mendekat tanpa menghilangkan sikap sopannya. “Iya, Mbak?”
“Jangan lupa bilang sama teman-temanmu, ya, supaya selepas acara segera menyelesaikan LPJ-nya. Biar nggak ngaret. Terus malam sabtu besok langsung LPJ-an sekaligus pembubaran panitia,” jelasku kepada ketua acara Haloqoh tersebut.
“Iya, Mbak. Insya Allah akan saya sampaikan.”
“Oh, ya. Tapi nanti Mbak nggak bisa hadir, May.”
“Yah, kenapa memangnya, Mbak?” tanya Maya bernada kecewa.
“Mbak mau pulang, ada urusan mendadak. Nggak tahu sampai kapan,” kataku beralasan.
Aku menggengam lengan Maya, mencoba menenangkan. Sebab selama ini akulah yang selalu membimbing anak-anak. Tanpa aku terkadang mereka keteteran. Tahu sendiri bagaimana sikap remaja di masa puber. “Tenang, May. Santai saja. Kalian sudah pada besar, pasti paham gimana harusnya bersikap. Terutama kamu sebagai pemimpin, ya, harus berani. Kamu yang memegang kendali teman-temanmu. Ya, bisa, kan?”
Maya mengangguk, tersenyum. “Iya, Mbak, bisa.”
“Mbak sangat percaya sama kamu. Semangat!” Aku mengepalkan kepalan tangan kanan sebagai tanda penyemangat, lalu berpamitan kepada Maya dan teman-temannya.
Menjadi wali tingkatan yang barang tentu harus mampu merangkul puluhan santri, menjadi salah satu tantanganku di tahun terakhir mondok ini. Belum lagi mengurus-urusan kegiatan pengajian lainnya, sebab aku menjabat sebagai divisi pendidikan. Belum ditambah mengurus pekerjaan dapur bersama khodimah Ibu Nyai lainnya. Benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Namun aku sangat menikmatinya.
Saking sibuknya berjibaku dengan banyak kegiatan di pondok, aku sampai lupa dengan orang di rumah. Sore tadi Ummah menelepon, memintaku pulang barang beberapa hari ke depan. Katanya kangen. Abah dan keempat Adikku pun beralasan begitu. Ah, aku tidak sepenuhnya percaya. Maksudku pasti ada alasan lain yang mereka sembunyikan kenapa Ummah memintaku segera pulang.
“Nurul, surat ijin pulang buat pengurus masih ada nggak?” tanyaku memasuki ruangan keamanan pusat. Di sana hanya ada gadis berkacamata itu. Dia cs-ku dari sekian banyak teman-teman sepengurus.
Nurul yang sedang memperhatikan layar monitor di depannya, menoleh tanpa menghentikan aktivitasnya menginput data. “Ada, La. Kunaon kitu (kenapa gitu) mendadak mau pulang segala?”
“Pas sore Ummah menelepon, minta aku segera pulang besok.” Aku memutuskan duduk di kursi sebelah Nurul.
“Aya acara naon (ada acara) memangnya?” Si gadis asal Garut itu selalu menyisipkan kosakata bahasa sunda di tiap ucapannya. Walaupun tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa Jawa. Aku sendiri yang sama-sama mengalir darah sunda, bahasa yang kugunakan campur-campur, ya, disesuaikan dengan lawan bicara.
“Duka atuh. (nggak tahu).”
Sejurus Nurul merubah posisi duduknya, sedikit menghadap ke arahku. Wajahnya seperti diserang khawatir. “Hmm … Apa mungkin kamu teh mau dijodohin, La?”
Aku segera menimpal, “Hus! Sembarangan kamu tuh kalo ngomong, Rul.”
Nurul nyengir kuda. “Hehe. Makanya supaya nggak terjadi. Ai kamu kudu geura (harus segera) ngomong ke Ummah sama Abah, La. Bahwa kamu teh sudah punya calon pendamping yang ditandai. Kitu. Kan dari pihak keluarga Kang Husein sendiri sudah dapat kode hijau.” Nurul cengengesan, memainakn kedua alisnya naik-turun.
Pletak!
Aku menjitak pelan kening Nurul, membuatnya terkekeh geli. “Ngomong sekali deui jiga kitu, kuurang (ngomong sekali lagi kayak gitu, aku) lakban mulut kamu, yeuh!” ancamku seraya menunjukkan sebuah lakban hitam berukuran besar yang tergeletak di atas meja.
“Oke. Oke. Santai, ih. Ai kamu mani serem kitu (sangat seram gitu). Duh, nyesel euy pas itu aku nggak ikut kondangan.” Nurul memajukan bibirnya. Lalu melanjutkan dengan cengiran lebar. “Pasti masih baper, ya, La?”
Sebetulnya aku ingin tersenyum lepas. Ah, Nurul, kan aku jadi ingat lagi momen memalukan sekaligus membahagiakan itu. Tapi, tidak, aku terlalu gengsi melakukannya, walau kepada sahabat sendiri.
“Udah, ah, jangan bahas soal itu. Mana dieu surat ijinna? (mana sini surat ijinnya?)”