Husein
Ponsel di atas meja tampak membisu. Pandanganku tak lepas mengarah ke sana. Benar-benar gusar. Cuma karena ingin mendapatkan notifikasi pesan dari gadis yang kuberi bingkisan itu. Namun sampai jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam belum juga muncul tanda-tanda pesan darinya.
Di kamar hanya aku yang masih terjaga. Dua orang temanku yang lain sudah tertidur pulas. Sekonyong-konyong Ikhsan muncul sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Rupanya ia habis bersih-bersih sebelum beristirahat.
Aku menggigit kuku-kuku jari tanganku, pertanda gusar.
“Ada apa, Sein? Kok kayak gusar gitu?” tanya Ikhsan heran.
Ekor mataku mendelik sekilas. Aku mendesis. “Menurut kamu, San. Dia bakal kirim pesan apa nggak malam ini?”
“Aqilla?”
Aku mendecak. “Ya, siapa lagi kalau bukan dia?”
Ikhsan mendesah. Ia bergerak menaruh handuk kecilnya di kastok. “Emang harus banget malam ini?”
“Ya, nggak juga, sih. Aku penasaran aja gimana responnya.”
Ikhsan memutuskan duduk di kursi sebelahku. Rambut lurusnya yang berponi membasah. Makin terlihat cute kalau disejajarkan dengan aktor-aktor muda macam Angga Yunanda.
“Kamu ini Sein kayak yang baru pertama kali nungguin pesan dari gebetan saja. Wong sudah biasa tho,” cibirnya seraya menyalakan komputer.
Aku memutar bola mataku, malas. “Ngomong sama orang yang belum pernah jatuh cinta mah. Ya, nggak bakal nyambung, tho?” cibirku tak kalah pedas.
Seantero jagat pondok putra Roudhotul Jannah memang pada tahu. Ikhsan tidak pernah membicarakan soal lawan jenis. Bahkan untuk sekadar memuji pun sama sekali tidak. Entahlah, alasannya kenapa. Usut punya usut karena ketidakpeduliannya tentang hal itu, ia justru dicurigai belok.
“Lha, jangan sangka, Sein. Aku juga tahu cinta,” elaknya.
“Apa emang?”
“Itu, kan, yang digoreng dadakan, warna putih, ada isinya dan kalo ditarik itu agak lengket,” jawabnya ngawur.
“Itu mah cireng. Garing banget lawakanmu,” semprotku ngegas. Gulungan kertas di atas meja kulempar ke arahnya.
Ikhsan cengengesan. Kini ia fokus menatap layar monitor.
Aku meraih ponselku. “Terserah lah, terserah.”
“Yang pasti, yang paling penting lagi, Sein. Kesuksesan kisah cintamu iku, sopo sing ikut mensukeskannya hayo?” Dia melirik sekilas.
Aku menatapnya jengah. Lalu menghela napas berat. Memang perlu diapresiasi besar-besaran. Bahwa Ikhsan lah salah seorang yang selama ini membantuku dalam menyiapkan apapun tatkala berhubungan dengan Aqilla. Sebut saja yang masih hangat-hangatnya ialah satu box bolu Monalisa barusan yang aku titipkan kepada seorang santriwati. Ikhsan lah yang membelinya.
“Iya, iya. Tanpa kamu aku bisa apa,” ucapku bernada tak enak.
Wajah cemberutku seketika lenyap, berganti senyuman sumringah tatkala sebuah notifikasi pesan muncul dari kontak berinisial Dik Aqilla. Aku cepat-cepat membukanya.
Makin lebar lah senyumku melihat isi pesan tersebut, yang berisi sebuah foto potongan puzzle bertuliskan “Ana uhibbu ilaiki, ya, Dik Aqilla.”
Aku bersorak sorai selayaknya orang yang bahagia mendapati tim sepak bolanya mencetak gol. Saking bahagianya itu, spontan aku merangkul leher Ikhsan. Kontan saja lelaki itu memberontak.
“Sein, Sein, aduh! Nggak usah peluk-pelukan segala.”
Aku masih belum melepaskan rangkulanku, malah semakin erat. “Nggak papa. Sebagai wujud terima kasihku. Hmm … sayang Ikhsan banget.”
Ikhsan menepuk-nepuk lenganku. Pura-pura terbatuk atau memang sungguhan. “Innalillahi. Aku masih normal, Husein. I–ini a–aku nggak bisa napas. Lepasin!”
Akhirnya aku menurut. Sambil tak lepas menyunggingkan senyum sumringah, kutunjukkan pesan yang dikirim Aqilla. “Nih, lihat! So sweet, kan?”
Ikhsan cuma mendelik sengit. “Terserah. Nggak peduli.” Lelaki itu berusaha memperbaiki pakaian yang dikenakannya.
Seketika saja muncul di kepala, sebuah cara demi melampiaskan rasa senangku. Sekaligus membalas usahanya dalam mensukseskan aksi konyolku beberapa minggu ini.
Jam di dinding kian bergerak menuju angka dua belas malam. Aku menyambar jaket di kastok. Juga sebuah kunci motor yang tergeletak di lemari pojok.
“San, yuk, ikut!” ajakku seraya menarik lengannya supaya buru-buru bangkit.
Tentu saja Ikhsan menolak. Ia bersikeras melepaskan cengkramanku. “Lha, mau ke mana, Sein? Sudah malam.”
“Udah, ikut aja, ayuk! Mumpung aku lagi baik nih.”
Setelah adegan paksa-memaksa itu terjadi, dengan ogah-ogahan akhirnya Ikhsan mau juga. Sehingga menjelang dini hari itu kami mengendarai sepeda motor vespa butut, menyusuri jalan raya yang cukup lengang. Kekesalan Ikhsan mungkin sudah mencapai ubun-ubun, sebab aku yang mengajak dan lelaki itu pula yang memboncengiku.
Suasana sepi mencekam saat kami sampai di pasar, hanya suara motor vespa kami saja yang mengisi kesunyian malam. Juga langkah kaki satu-dua orang yang tampak berjalan tergesa.
Kesunyian pasar tradisional tersebut cuma berada di awal-awal memasuki gerbang saja. Sebab semakin memasuki ke area bagian dalam pasar. Justru keriuhan tampak menjamur di mana-mana. Sebagian besar memang didominasi para pedagang yang sedang menyiapkan barang dagangannya.
Aku meminta Ikhsan menepikan motor sewaan milik inventaris pondok ke sebuah penjual gorengan di tepi kiri jalan. Sudah menjadi langganan kami sebagai santri pondok Roudhotul Jannah, setiap kali mampir ke pasar kala malam menjemput, pasti tak akan lupa untuk mampir ke sini.
Kami duduk di sebuah ranjang berukuran cukup besar. Beberapa orang terlihat mengantri menunggu gorengan masak. Si Mamang yang biasa dipanggil Mang Oji itu begitu sibuk membuat adonan. Sementara istrinya bertugas memasak gorengan. Sesekali keduanya melayani pembeli.
“Mang Oji, biasa, yeuh, campur-nya. Tong hilap lontongna oge. (jangan lupa lontongnya juga),” kataku memberi instruksi.
Mang Oji balas mengacungkan jempol jarinya. “Siap, kasep. Ditunggunya sakedap. (sebentar).”
“Muhun, Mang.”