Aqilla
Mobil Elf itu terus melaju tenang membelah jalanan dengan kecepatan sedang. Tubuh para penumpang terkadang bergoyang-goyang, seirama jalan yang dilalui naik-turun maupun berkelok-kelok jatam. Sejauh mata memandang, pemandangan yang disuguhi ialah hamparan persawahan, perkebunan teh dan hutan lebat. Menyegarkan tiap pandangan mata, seiring aroma khas daun dan tanah bekas guyuran hujan menusuk hidung, menyebar kesejukan di tiap sentuhan angin lewat kaca jendela yang dibiarkan terbuka.
Jilbab berwarna biru muda yang kukenakan bergerak-gerak tersapu angin. Aku tak henti-hentinya tersenyum lembut sambil sesekali memejamkan kedua belah mata, menikmati suguhan alam yang baru kali ini kurasakan lagi.
Ah, sungguh aku sangat merindukan perjalanan ini, menuju kampung halamanku. Sebuah perjalanan yang selalu kubawa bersama sebongkah rindu menggila, kepada kedua orang tua dan sanak keluarga di rumah.
Seperti yang diberitahukanku waktu itu, mendadak Ibu Nyai Syarifah memintaku untuk pulang. Tidak dibertahukan alasannya apa. Tetapi ia sepertinya sudah mengetahui, sebab tatkala aku hendak izin pulang beliau langsung menandatangani surat izinku tanpa basa-basi sedikit pun.
Oh, ya, kebetulan sekali di hari kepulanganku ini, aku berencana berdiskusi dengan Ummah dan Abah, untuk membicarakan rencanaku boyong.
Ponsel di tas kecilku bergetar, membunyikan nada dering klasik. Ada telepon dari Ummah. Aku segera mengangkatnya.
“Assalamu'alaikum, Teh.” Suara perempuan paruh baya yang amat kurindukan.
Aku tersenyum senang. “Wa'alaikumsalam, Ummah.”
“Ayeuna tos nyampe mana? (Sekarang sudah sampai mana?)”
Ummah memang selalu terlewat khawatir. Tiap kali aku menghubungi kepulanganku, pasti berkali-kali ia akan menelepon, menanyakan keberadaanku ataupun mengingatkan untuk selalu hati-hati dalam perjalanan. Maklum aku merupakan anak sulung dari lima bersaudara, perempuan lagi.
Aku melongok ke luar jendela, memastikan daerah mana yang yang kini tengah dilewati. Kemudian memberitahukan kepada Ummah.
Tidak banyak percakapan, mungkin Ummah hanya sekadar ingin memastikan keselamatanku. Dan ujung-ujungnya pasti akan bilang begini, “Awas jangan ketiduran, apalagi lengah, Teh. Hati-hati sama barang bawaannya juga dijaga. Ah, muhun dompet jeung segala macam barang anu penting. (ah, iya dompet sama segala macam barang yang penting). Itu harus benar-benar dijaga. Jangan sampai nanti ketinggalan. Dan jangan lupa sholawatnya, Teh. Itu sebagai senjata kita dari segala macam kejahatan dan keselamatan tentunya.”
Suatu pesan yang akan kudengar berulang-ulang, pun tak akan pernah kulupakan.
Usai membalas telepon dari Ummah, aku meraih kitab kumpulan hidzib dan dzikir di dalam tas. Sambil sesekali menatap pemandangan di luar aku mengulang-ulang bacaan yang telah sekian lama menemani hari-hariku di pondok.
Beberapa menit kemudian bacaan tersebut kuganti dengan lirih solawat Nabi. Jempolku bergerak-gerak menarik biji-biji tasbih. Tidak peduli dengan keriuhan angkutan umum Elf ini, yang sedari tadi memutar lagu dangdut koplo.
Kuhembuskan napas dalam-dalam. Menyenderkan kepalaku ke bantal leher berbentuk kepala singa. Kalau boleh jujur, terkadang aku merasa khawatir kalau hubungan tanpa status pacaran ini hanyalah sebuah istilah. Walau pada kenyataannya tetap tidak jauh berbeda dengan sepasang kekasih di luar sana. Meskipun kami sama-sama saling membatasi diri.
Maka biasanya untuk mengusir kekhawatiran itu, aku pasti akan melangitkan doa-doa kepada sang pemilik cinta –Allah ‘Azza Wajalla. Menjadikan-Nya tempat bersandar sepenuhnya. Berharap Dia masih terus mensucikan perasaan cinta kami dan selalu menjaga sebaik-baiknya.
***
Kedatanganku menapaki tanah kelahiran disambut suka cita oleh masyarakat di sana. Aku memilih menggunakan angkutan becak, menyusuri jalan desa yang tampak ramai menjelang siang.
Berkali-kali aku menyapa tiap kali becak yang kutumpang melewati sekelompok ibu-ibu maupun bapak-bapak. Aku sangat bersyukur sekaligus pesimis secara bersamaan memiliki seorang Ayah seperti Abah. Istilah di sini sebutannya Kyai Kampung.
Abah punya yayasan, dari mulai jenjang Madrasah Diniyah sampai MA. Punya pondok pesantren juga, walaupun mayoritas santri kalong. Jam'iyah ibu-ibu maupun bapak-bapak terjadwal tiap minggunya, meramaikan Masjid utama kampung dan beliaulah yang mengomandoinya.
Aku tersenyum takjub saat melewati bangunan-bangunan milik yayasan Al-Hikmah itu. Masih kokoh seperti terakhir kali aku pulang ke rumah, setahun yang lalu mungkin.
Ah, bau kesejukan kampung halaman ini amat kurindukan. Berada di kaki gunung dengan suhu udara tidak terlalu panas, walau petala langit bergerak di atas ubun-ubun.
Turun dari becak, aku langsung disambut oleh Ummah, A Nawawi –sepupuku yang ikut membantu Abah mengembangkan yayasan– dan keempat adikku –adik keduaku perempuan, seumuran siswa SMP, adik ketiga, keempat dan bungsu kesemuanya laki-laki, kelas lima SD, TK dan yang masih berusia tiga tahun.
Aku memeluk dan mencium punggung tangan Ummah.
“Alhamdulillah nyampe dengan selamat. Kumaha, Teh? Teu aya naon-naon kan? Teu kasarean pas di mobil? Teu aya nu katinggaleun oge? (gimana, Teh? Nggak ada apa-apa kan? Nggak ketiduran pas di mobil? Nggak ada yang ketinggalan juga?)” tanyanya menyerocos.
Kubiarkan adik-adikku mencium dan menggelayut manja di lenganku, aku balas tersenyum. “Alhamdulillah, Ummah. Teu aya naon-naon. Ieu Teteh sae kieu da. (nggak ada apa-apa. Ini Teteh baik-baik gini juga).”
A Nawawi mengambil barang bawaanku. Dia menyeletuk seperti biasanya. “Makanya biar Ummah nggak khawatir, kamu cepat-cepat punya suami, Teh.”
“Santai, A. Tunggu tanggal mainnya saja lah. Ya, kan Ummah?” Kulirik Ummah, seperti meminta persetujuan.
Ummah menggeleng. “Benar kata A Nawawi itu, Teh.”