Husein
Aku baru saja selesai mem-badali pengajian Fathul Qorib di pondok putri. Sekonyong-konyong Miftah menyerahkan ponselku, katanya dari tadi berdering terus. Aku menerimanya, melihat siapa yang menelepon. Rupanya Hamzah –adik bungsuku. Lagi, dia menelepon. Aku segera mengangkatnya dengan sebuah tanda tanya besar di kepala.
“Assalamu'alaikum, Hamzah.”
“Wa'alaikumsalam, A Husein.”
Nada bicara Hamzah terdengar memburu. Seperti tengah di hadapkan pada posisi sulit. Sontak aku langsung khawatir, kalau-kalau ada sesuatu buruk yang terjadi padanya.
“Kenapa, Zah? Ada apa?”
“Teh Mala, A. Teh Mala.”
Suara Hamzah terputus-putus. Lalu terdengar samar-samar suara pertengkaran yang amatku kenal siapa pemilik suara itu. Ya, suara Ayah dan Kakak perempuanku. Disusul suara pecahan kaca menyentuh lantai. Aku terkesiap kaget.
“Zah, Hamzah. Apa yang terjadi, Zah? Itu Ayah bertengkar sama Teh Mala?” tanyaku cemas.
“Iya, A. Cepat ke sini, A. Ayah ngamuk. Marah sama Teh Mala.”
“Kenapa memangnya?”
“Aku nggak bisa jelasin sekarang, A. A Husein ke sini saja. Pulang sebentar. Aku baru melihat Ayah semurka itu sama Teteh.”
Selanjutnya sambungan terputus.
Tut! Tut! Tut!
“Zah, Hamzah. Halo.”
Aku mendengus kesal. Kekhawatiranku sudah mencapai ubun-ubun. Buru-buru aku menyambar jaket. Tak peduli masih mengenakan pakaian sarungan. Yang ada dipikirkanku sekarang ialah kejadian pertengkaran tadi.
Aku tidak peduli saat teman-teman bertanya keheranan. Aku hanya menjawab mau keluar sebentar. Nyatanya mau pulang ke rumah. Sebentar saja memang, tidak akan menginap, karena kalau lebih dari itu aku perlu izin ke Kyai Latif.
Ikhsan yang baru selesai mandi kutarik cepat-cepat, memintanya segera mengikuti perintahku, mengantarkannku ke terminal, hendak mencari angkutan umum yang bertujuan ke Bandung.
“Memangnya ada apa, Sein? Sampai harus buru-buru gini?” tanya Ikhsan di antara deru sepeda motor butut yang dikendarainya.
“Nanti aku cerita,” jawabku pendek.
Aku langsung bergegas memasuki Bus setelah sampai terminal.
Perjalanan menempuh waktu empat jam. Selepas turun dari Bus aku sempatkan mampir di kedai seblak kesukaan Teh Mala.
Rupanya Hamzah sudah menjemput di dekat jembatan, lelaki berperawakan kurus itu berdiri di samping motor maticnya dengan wajah gusar. Aku mendekat, membiarkan Hamzah mencium tanganku.
“Gimana kabar Teteh? Masih bertengkar sama Ayah?” tanyaku tatkala sudah duduk di jok belakang motor.
Hamzah melirik sekilas lewat kaca spion motor. Ia menjawab, “Udah nggak, A. Tapi Teteh malah uring-uringan, ngunci pintu kamar, mogok makan dan bicara. Bunda udah berusaha ngebujuk, tapi sama sekali nggak didengar. Ayah sendiri malah ngebiarin Teteh begitu saja, katanya biarin, biar jadi dewasa.”
Selama perjalanan menuju rumah Hamzah bercerita tentang kronologi pertengkaran Ayah dengan Teh Mala. Katanya Ayah sudah berkali-kali meminta Teh Mala segera menikah, melihat umurnya sudah nyaris kepala tiga. Tetapi gadis itu selalu mengabaikan dan malah sibuk di dunia bisnisnya.
Abah tak kehilangan akal, ia berusaha mencarikan calon suami yang dirasa pantas, sekufu. Namun lagi-lagi Teh Mala menolak, bilangnya kurang cocok, kurang pantas dan berbagai alasan klasik lainnya. Giliran diminta mencari sendiri, pun sudah dapat dan diajak serius, di tengah-tengah hubungan selalu saja kandas.
Baru-baru ini Ayah mengenalkannya lagi dengan lelaki dewasa, teman karibnya. Baru pertemuan pertama saja Teh Mala langsung menolak dengan dalih bukan tipenya. Hal itu yang menyebabkan Ayah marah. Lebih parahnya lagi tatkala diceramahi, Teh Mala malah membela dirinya sendiri, merasa benar akan argumennya. Bukanlah sikap tunduk atau setidaknya mengajak bicara baik-baik.
Karena pintu utama memasuki kamar Teh Mala dikunci, maka aku tak kehilangan akal. Kupanjat pagar yang memiliki akses menuju balkon kamar lantai dua.
“Teh, bukain pintu balkonnya dong! Aku bawa sesuatu,” pesanku lewat WhatsApp.
Tak berapa lama pintu di depan balkon itu terbuka, memperlihatkan sesosok gadis berjilbab seadanya –rambutnya dibiarkan tergerai kelihatan. Aku segera mengacungkan bingkisan di tangan, seraya berteriak sumringah, “Tadaaaa ... Seblak Ayam level dewanya sudah sampai, Mbak. Selamat menikmati.”
Hanya senyuman kecut yang terlukis di wajah sendu Teh Mala. Ia tak menggubris ekspresi hebohku, sekalipun disuguhi makanan terfavorit dari sekian banyak makanan di dunia. Ia memilih berbalik badan, berjalan menuju kasurnya dengan langkah lemas.
Aku berusaha bersikap natural. Aku mendengus sebal. “Yah, kok Mamang grabfood-nya malah dicuekin, sih? Padahal bawa makanan terlezat sejagat raya,” keluhku sok memasang wajah cemberut. Aku menghampiri meja belajar yang berada di samping tempat tidur, duduk di kursi.