Aqilla
Sebenarnya sudah dua kali aku dimintai ta'arufan. Bahkan salah satunya terang-terangan mengajakku serius, lewat tangan Abah tentunya. Sementara satunya lagi dari Ibu Nyai Syarifah. Karena posisiku saat itu sedang asik-asiknya mondok, aku sama sekali tidak kepikiran soal itu. Aku pun merasa masih jauh untuk melangkah lebih awal dalam menyempurnakan separuh agama. Lagipula aku sudah menyematkan satu nama laki-laki yang selalu kulangitkan di setiap doa.
Pikiranku masih stuck di sebuah pertanyaan Nisa –kawan baikku di sini– beberapa menit yang lalu, saat gadis itu bertanya begini dalam sebuah perkumpulan guru-guru madrasah. “Kalau nanti teteh-teteh menikah, nih, ya. Rencananya mau ngikut ke mana? Ikut ke suami atau minta suami ikut ke kita?”
Sebuah pertanyaan yang pernah dibahas tatkala aku mengobrol bersama ketiga temanku di acara Akhirussanah, tepatnya di area dapur dan di sana ada Kang Husein. Ia kebagian bertugas memasak nasi.
“Di agama kita nggak ada kok ketentuan yang mendasarnya. Si istri ikut ke suami ataupun sebaliknya. Soal itu, sih, ya, hak preogratif mereka, ya, baiknya gimana, enaknya gimana. Cuma kita kadang harus melihat dulu, gimana adat kebiasaan di daerah setempat. Supaya saling mengerti satu sama lain,” jelas Marwah waktu itu. Menutup kesimpulan bahwa kalau mereka sendiri berinisiatif akan mengikuti keputusan sang suami. Sementara aku masih diam menyimak.
Tanpa basa-basi Kang Husien mengangkat tangannya. Ia duduk di pinggiran kursi. “Mbak Aqilla, sih, maunya gimana nanti?” tanyanya to the point.
Aku jadi gugup ditanya begitu. “Ka … kalau saya, sih, pasti akan minta suami ikut ke saya, Kang.”
“Kenapa?” cecar Kang Husein.
“Ya, tahu sendiri lah, Kang, saya kan anak sulung. Punya empat adik, masih kecil-kecil. Terus Abah juga punya madrasah, punya santri, punya jamaah di masyarakat. Akan sangat keterlaluan kalau si suami berani memboyong saya keluar dari sangkar emas itu. Nanti siapa lagi yang akan menjadi cikal-bakal penerus Abah?” jelasku mencoba meluruskan.
“Kalau misalnya si suami nggak mau gimana?”
Sejenak kuhela napas cukup panjang. Mencoba menetralisir kekesalan yang mulai terasa meletup-letup. Kenapa juga kang Husein bertanya sekepo ini coba?
“Ya, makanya sebelum menikah itu saya harus minta banding dulu. Mau nggak kalau diboyong sama saya? Dan menjadi penerus Abah?”
Diberi penjelasan bersemu pertanyaan begitu, Kang Husein malah membalas, “Saya mau kok diboyong sama Mbak Aqilla dan menjadi penerus Abah.”
Sontak ketiga temanku berseru kompak, “Cieeee ... Kode keras.” Lalu mereka tertawa.
“Dih, apaan sih Kang Husein. Kok akang yang jawab, sih. Kan pertanyaannya akan saya ajukan kepada calon suami saya nanti,” tandasku berusaha mengelak, walau sebenarnya aku tersipu malu.
“Kan calon suami Mbak Aqilla nanti itu saya, Husein Raghib Ar-Rasyid,” tukas Kang Husein percaya diri tingkat dewa.
“Dih, Kang Husein pede banget.”
Aku tertawa sarkas. Nyatanya aku kebawa suasana pula, tidak bisa untuk tidak tersenyum. Apalagi teman-teman yang lain malah tertawa menggoda.
Sementara si orang yang ditertawakan itu terlihat santai-santai saja sambil memakan ubi rebus. Raut wajahnya amat mencirikan bahwa ia tidak sedang bercanda, tetapi yang ada malah ditertawakan.
Aku tersadar oleh beberapa kali tepukan mengenai lenganku. “Eh, i ... iya, Teh,” ucapku refleks, gelagapan.
Nisa berkomentar, “Eleuh-euleuh ngalamun deui ieu budak. Jigana arwahna masih aya di pondok euy. (eleuh-eleuh melamun lagi nih orang. Kayaknya arwahnya masih tertinggal di pondok).”
Lina dan Ningsih tertawa kecil.
Aku cengengesan. “Muhun. Hehe. Oge aya naon deh? (memang ada apa sih?)”
Sejurus kelima teman lama semasa SD-ku ini menunjuk ke sebuah mobil sport yang baru datang dan memarkir di pekarangan rUmmahku.
“Itu tamu siapa, Teh? Dari mana?” tanya Ningsih mewakili.
Sebelumnya kami terpaksa berhenti tak jauh dari gerbang rumahku, karena seketika dari arah depan sebuah mobil memasuki pekarangan rumah besar berdesain klasik itu. Abah, Ummah dan beberapa orang di sana menyambut tetamu agung itu. Aku duga tamu yang datang bukanlah orang biasa.
Lagi-lagi aku tersadar dan terkejut secara bersamaan melihat pemandangan di depanku.
Lina menyenggol lenganku. “Teh, malah bengong deui, ih.”
“I ... iya, itu. Hmm ... tamunya Abah. Temannya Abah semasa mondok di Kwagean.”
“Oh ….”