Husein
Aku baru saja sampai di pondok ketika mujahadah di masjid dimulai. Cukup lelah menghabiskan waktu di perjalanan menggunakan angkutan umum ketimbang naik kendaraan pribadi.
Suguhan nasi liwet beserta laukan lezat itu disantap ramai-ramai oleh kawanan temanku. Hanya hitungan menit saja sudah habis tak tersisa. Memang suatu kenikmatan tiada tanding setiap kali makan bersama. Apalagi makanan dari rumah. Jangan tanya kenapa. Kamu bisa merasakannya sendiri ketika hidup di pesantren, khususnya pesantren salaf.
Keadaan kantor pengurus pusat itu masih ramai. Kami menyantap jajanan ringan sambil bercakap-cakap di sela-sela terdengar samar lantunan hadoroh Kyai Latif lewat speaker masjid.
Sejurus fokusku pecah oleh nada dering dari handpohone-ku yang sengaja kukhususkan.
Teman-teman sudah pada tahu siapa yang menelepon. Tak ayal mereka langsung berseloroh,
“Ciee … dari Neng Aqilla.”
“Pakai nada dering segala lagi.”
“Pasti senang kau Husein.”
Aku berlagak sombong. “Iya, dong. Makanya segera upgrade status.”
Saat aku hendak bangkit untuk mengangkat telepon. Teman-teman mencegah, memintaku tetap duduk dan membiarkan mereka mendengar percakapanku nanti. Aku mengelak, karena ini sebuah privasi.
“Sekali saja dong, Sein. Bagi-bagi senangnya ke kita-kita yang masih jomblo. Gimana, sih, rasanya ditelepon sama orang spesial,” pinta Ridho.
Aku menghela napas berat. “Baiklah, sekali aja, ya.”
Keningku mengkerut menatap layar ponsel yang menampilkan kontak bernama Dik Aqilla. Tumben dia menelepon tanpa izin dulu.
Aku me-loudspeakers, lalu segera mengangkatnya.
“Ya, Halo. Assalamu’alaikum,” sapaku.
Suara lembut namun terbata-bata milik Aqilla terdengar, “Wa’alaikum salam. Ang, A ... Ang Husein. Ma ...maaf, Aqilla mendadak telepon,”
“Nggak papa, Dik. Ang Husein malah seneng kok. Apalagi kalau sering-sering. hehe.” Aku masih sempat-sempatnya bercanda. Meskipun merasa mencium sesuatu yang tidak beres saat mendengar nada bicara Aqilla.
“Ang, Aqilla mau bicara, Ang. Penting!”
“Apa, sih, Dik manis? Mau bilang apa? Kok nadanya seserius itu?”
Teman-temanku menahan tawanya. Ada yang pura-pura muntah juga. Aku abaikan saja.
Selanjutnya suara Aqilla masih terbata-bata seperti orang yang gugup gitu. Aku tambah heran. “E, a ... anu, Ang. itu, e ....”
Alhasil keherananku pun berubah menjadi keterkejutan yang hakiki. Tatkala selanjutnya yang terdengar ialah suara berat seorang lelaki.
“Nak Husein, halo. Ini saya Abahnya Aqilla. Sampean saya undang. Segera besok saya tunggu sampean silaturahmi ke sini. Titik!”
Sambungan telepon langsung terputus.
Sontak bola mataku terbelalak. Refleks aku setengah berteriak, “Ha? Aku diminta silaturahmi ke rumahnya?”
Detik berikutnya koor tawa menggelegar. Entah tertawa karena senang akhirnya salah satu dari kami mendapatkan kode keras dari si calon mertua. Ataukah justru tertawa di atas kemalanganku.
“Kuy, jadikeun mayorannya, cuy.”
“Haha. Ciee ... yang dapet kode keras dari calon mertua.”
Mereka makin heboh bertepuk tangan sambil berseru, “Mayoran ... mayoran ... mayoran.”
Aku sendiri tampak menggigit bibir. Entah kenapa mendengar titah Abahnya Aqilla barusan, perlahaan-lahan sepercik ketakutan muncul ke permukaan. Membuatku ragu terhadap salah satu langkah dari daftar planing-ku selama ini yang sudah direncanakan jauh-jauh hari.
Sejurus gelak tawa teman-teman lenyap sudah tatkala Kyai Latif muncul secara tiba-tiba. Lelaki berjanggut tipis itu menghentak-hentakkan tongkat ke lantai. Dia mendecak dan beristi’la melihat kami bersantai sambil menyantap jaburan.
“Innalillahi wainnailahi rooji’uun … ai budak masih didarieu keneh wae, sih. (ini bocah masih pada di sini saja, sih). Ayo bubar! Bubar! Sana pada mujahadahan!” bentaknya marah.
Kami dengan malu-malu dan amat menjaga sikap mulai kalang kabut; mencari sarung, memakai setelan solat, mencari peci dan bergegas pergi meninggalkan kantor dengan hati-hati. Sungguh amat malu kepergok dalam kondisi begitu oleh Kyai sendiri.
Ketika sudah di luar, berjalan tergesa-gesa menuju masjid sambil menenteng Al-Qur’an, kami cekikikan dan saling menyalahkan atas kelalaian barusan.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah kocar-kacir, seperti orang yang mau bertemu selebritis dalam rangka acara kencan buta. Seluruh pakaian di dalam lemari kukeluarkan, memilah-milah mana yang sekiranya cocok dan masih terlihat fresh.
Tapi dari sekian banyak setelan sarung dan kemeja, aku tidak menemukan satupun yang tampak berkilau. Karena aku tipikal orang yang fashionable. Jadi, setelan yang kupakai harus tampak pefect di mataku.
Aku mengacak-acak rambut kepala, merasa frustasi.
Teman-temanku di ruang belakang kantor pusat sedang menyantap sarapan pagi dengan hebohnya, seperti biasa memakan jajanan khas berupa gorengan, ditambah secangkir kopi atau susu hangat dansebatang rokok, sambil mengobrol ngalor-ngidul.
Aku tergopoh-gopoh menghampiri mereka dengan merajut muka cemas. Aku hanya memakai sarung, memperlihatkan bagian atas tubuhku, begitupun rambutku yang masih basah oleh tetesan air selepas mandi. “Guys, kemeja-kemeja. Sarung-sarung. Siapa yang punya kemeja sama sarung sing masih bagus? Bau lebaran kek dan masih fresh gitu,” teriakku bak orang yang tengah dikejar-kejar anjing gila.
“Et, dah, masih fresh. Lo kira sayuran hidroponik apa? Tinggal petik aja gitu?” celetuk Wildan melirik sengit.
Aku tak peduli ocehan Wildan. Kudekati teman-teman dan menggoyang-goyangkan pundak mereka satu persatu sambil berseru, “San, kamu punya?”
“Rifqi, Dani, Miftah, Ridho, Athar, semuanya, deh. Siapa di sini yang pada punya?” teriakku lagi saat mengetahui mereka malah pada menggelengkan kepala.
Di antara mereka malah berceloteh.
“Pake baju dari kantong semen bae kuh. Ngambil dari Tukang. Masih fresh. Haha,” ledek Hasby seenak jidat.
Mereka kompak tertawa. “Hahaha.”
Ridho tak kalah meledek, “Dasar, calon mantu teu ngamodal ieu mah.”
Aku membalas, “Masalahnya ini darurat, Dho.”
“Emang harus pake baju bagus dan masih fresh gitu? Kan cuma ketemu doang, silaturahmian, bukan mau kontes kegantengan,” sambung Miftah, yang memang ada benarnya juga.
“Iya, sih, Mif. Tapi kan tetap saja penampilan juga penting loh. Jadi first impression, sebelum melirik ke hal-hal lain,” ujarku tak sependapat.
“Kumaha maneh wae lah. (gimana kamu ajalah).”
Aku mendecak kesal. Kenapa kali ini mereka seakan tidak ada yang berniat membantuku sedikit pun? Padahal aku sudah menunjukkan ekspresi muka cemas sampai memelas, tetapi sama sekali tidak membuat hati mereka tergerak. Menyebalkan sekali.
Selanjutnya hal yang tak terduga pun akhirnya terjadi. Beberapa dari mereka bangkit, menuju lemari masing-masing, sambil masih menyembunyikan tawanya.
Ikhsan mendekatiku. Ia memberikan sebuah kemeja polos berwarna biru tua. “Nih! Baru dipake sekali, Sein. Limited edition.“
Wildan ikut-ikutan memberikan setelah sarung Kanjeng bermotif aksara jawa. “Ini, gue pinjemin lo sarung termahal dan cuma gue yang punya di pondok ini.”
Yang lainnya tak kalah ikut membantu. Ridho meminjamkan motornya yang sudah memiliki legalitas; motor NMax. Hasby memberikan minyak wangi, tentu tak lupa menyelipkan perkataan pedasnya. Dan Miftah sendiri malah memberiku uang saku.
Aku menerima semuanya dengan tangan beretar. Kedua bening mataku tak lepas berkaca-kaca. “Kalian ... kalian semua bener-bener the best banget. Aku terhuraaa.”
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kesemangatan di dada. Apalagi melihat support teman-teman yang membuatku ingin menangis saking bangganya. Kemudian, aku mengacungkan kepalan tangan ke udara. Lalu berteriak layaknya mahasiswa yang lagi demo. “Pokoknya kalian akan saya traktir makanan enak.”
Teman-temanku kompak berseru, “Yey … Hidup Husein. Semangat!”
***
Demi menyukseskan langkah baikku itu, tak lupa aku menyempatkan diri melaksanakan solat Dhuha dulu. Dilanjut membaca surat Al-Waqi'ah dan Al-Mulk, sebuah rutinitas yang kuistiqomahkan sejak masuk pondok. Aku berusaha menata hati sebaik-baiknya, membersihkannya dengan asma-asma Allah yang maha suci.
Setelah mempersiapkan segala rupa, aku yang kini berpakaian bak seorang model pakaian muslim di layar kaca itu mengendarai sepeda motor milik Ridho dengan kecepatan sedang. Kemeja bersalur warna biru tua ini kupadukan bersama jaket army agak kehitaman. Sarung Kanjeng milik Wildan itu tampak anggun berkibar-kibar oleh angin. Tak lupa aku pun mengenakan sepasang sandal hitam Bata khas sandal para gus-gus pesantrenan. Juga sebuah helm klasik menutupi seluruh kepalaku.
Namun sayangnya dari kesemua outfit itu hanya tas selempang kecil dan pakaian dalam saja yang murni milikku sendiri. Selebihnya, ya, berupa pinjaman. Hehe. Tidak modal memang.
Sebelum berangkat aku sempat saling berbalas pesan singkat dengan Aqilla.
“Dik, Kang Husein otw, nih.”
“Iya, Ang. Hati-hati di jalan. Mudah-mudahan selamat sampai tujuan. Nanti kalau sudah dekat kabari aku, ya, Ang,” balas Aqilla.
“Siap. Oh, ya, takut lupa rutenya. Sherlock dong, Dik.”
Cukup dalam hitungan sepersekian detik, Aqilla mengirim sherlock keberadaannya.
***
Sekitar dua jam perjalanan motor yang dikendaraiku mulai memasuki perkampungan asri. Jalan beraspalnya naik-turun dengan pemandangan pepohonan di sana-sini. Degup jantungku berpacu berkali-kali lipat tatkala melihat kesejukan suasana di sana, keramaian masyarakatnya dan yang paling mendebarkan ialah saat berhenti di depan bangunan besar nan lebar milik yayasan Bani Hikmah, di dekat masjid utama desa.
Aqilla pernah cerita bahwa Abahnya mewarisi yayasan bernama Bani Hikmah. Kini bagunan tersebut sudah berdiri kokoh dengan jumlah santri ratusan lebih. Belum lagi jam'iyah para Bapak dan Ibu paruh baya. Abahnya merupakan salah satu tokoh masyarakat di sana yang amat disegani.
Aku melepaskan helm sejenak. Kuhirup udara sejuk pegunungan. Tatapan mataku mengarah ke bangunan-bangunan yang ada di sampingku. Aku tersenyum samar. Batinku bergema, Mungkinkah aku akan menjadi bagian dari yayasan Bani Hikmah ini? Mengelola bersama keluarga Kyai Hamam. Ya, kalau memang Allah mentakdirkan diriku menjadi pelengkap hidup Aqilla Syamsun Nufus. Pelan sekali namun begitu khusuk, batinku mengucap ‘aamiin’.
Dari tempatku berhenti, aku bisa melihat di masjid utama itu tampak dipadati ibu-ibu. Satu persatu mereka keluar membawa kantong keresek. Lantas terdengar menggema lantunan sholawat nabi. Mungkin jam’iyah Ibu-ibu itu baru selesai bubaran.
Aku kembali memasang helm, kemudian melanjutkan perjalanan, tinggal beberapa meter lagi. Notifikasi suara perempuan di google map terdengar sesekali, mengikuti arah laju motor.
Aku berhenti sebentar saat panggilan telepon dari Aqilla muncul di layar handphone.
“Assalamu’alaikum, Ang. Sudah sampai mana?”
“Wa’alikumsalam. Baru melewati masjid utama desa, Dik. Sebentar lagi sampai.”
“Oh, begitu, baik, Ang. Oh, ya, jangan lupa belokan gangngnya yang kedua, ya. Yang ada gapura warna merah. Itu jalan terakhir. Terus lurus saja nanti ketemu rumah besar bercat krim, halaman depannya luas. Pagarnya warna coklat,” kata Aqilla mengarahkan.
“Ok, siap, Dik. Ah, iya, jangan lupa juga, Dik.”
“Apanya, Ang? Oseng sotong kesukaanmu, Ang? Atau suguhan jajanannya? Ang Husein maunya apa, sih? Biarkan Aqilla tunaikan.”
“Bukan itu semua,” jawabku bernada manja.