Aqilla
Aku sudah kembali ke pondok lagi. Sudah sekitar semingguan semenjak Kang Husein datang ke rumah. Perasaanku masih membasah oleh denyar-denyar rasa bahagia. Betapa tidak bahagianya ternyata Abah, Ummah serta sanak keluargaku menerima dengan baik kehadiran lelaki jangkung itu.
Aku optimis sekali. Mungkin dari pihak Kang Husein juga. Karena kupikir sebuah lampu hijau sudah menyala dari kedua belah pihak. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk bisa mewujudkannya. Ditambah lagi pihak keluarga pengasuh pondokku sudah sejak lama merestui hubungan kami.
Oh, iya, ada salah satu momen yang membuatku terharu. Ialah ketika Kang Husein duduk berdua dengan Abah di pendopo belakang rumah. Sementara santri-santri Abah sedang membakar ikan gurame hasil tangkapan waktu sore, tak jauh keberadaannya dari pendopo berdesain ukiran kayu jati itu.
Tadinya Kang Husein ikut nimbrung bersama para santri, tetapi mendadak dipanggil Abah. Aku yang saat itu duduk di teras belakang tak jauh juga dari area pendopo –bersama Ummah, Teh Hilda dan beberapa santriwati, kami sedang membuat sambal– memperhatikannya berkali-kali dengan kondisi hati berdesir.
“Moal kabur ieuh Kang Husein-na, Teh. Mani serius kitu diperhatikeunna, ih. (serius banget itu memperhatikannya, ih),” celetuk Teh Hilda menyadarkanku.
“Oh, eh, e ... henteu. Abdi teu merhatikeun ieuh. (nggak, saya nggak memperhatikan ini),” belaku tak terima. Beberapa santriwati tertawa cekikikan. Aku jadi salah tingkah.
Ummah mendecak, lalu mengomel, “Ai si Teteh teu merhatikeun kumaha coba. (Si Teteh itu nggak memperhatikan gimananya coba). Itu Teteh lagi nyambel apa?”
Refleks aku menunduk, melihat sambal yang sedari tadi sedang kuuleg. Yang ternyata sedari awal aku tidak sedang menguleg apa-apa. Aku nyengir kuda.
“Hadeuh ... aya-aya wae sih Teteh mah. (ada-ada saja si Teteh sih).”
“Kan terciduk,” tambah Teh Hilda, lantas tergelak.
Aku menahan malu. Sambil masih tak lepas menghentikan cengiran, aku mulai memasukkan bahan-bahan sambal ke dalam tempat ulegan. Biarkan saja mereka menertawakanku karena tingkah cerobohku ini.
“Oh, enya. Tadi Kang Husein pan jadi imam, Teh. Aduh ... suarana mani mantep kitu. Sampai ngantuk,” puji Teh Uli antusias. Dia tampak sibuk mengupas buah mangga.
Aku mencebik, “Pujian atau ledekan itu?”
“Lha, ya, pujian atuh. Teteh mah nggak tahu, sih. Saking bagusnya bacaan Al-Qur’annya. Iya, kan, Silvi, Maya, Febi?” tanya Teh Hilda kepada ketiga santriwati yang sudah cukup dekat dengan keluargaku itu.
Ketiganya kompak berseru setuju sambil tertawa kecil.
“Iya, dong siapa calonnya, sih?” lirihku hampir tak terdengar. Dalam hati merasa bangga terhadap lelaki tengil itu.
Ummah menghembuskan napas dalam-dalam. Ia melirik sekilas ke arah Kang Husein, kemudian menanggapi, “Seberapa bagusnya bacaan Al-Qur’annya seseorang, sepintar dan secerdasnya dia ngaji kitab, serta sehebat apapun ilmunya. Itu semua hanyalah ilmu kulit. Sementara inti dari ilmu itu sendiri, ya, ilmu kehidupan. Bagaimana berprilaku, bersikap dan bertingkahlaku. Itu yang menjadi acuan penting.
“Coba yeuh kalau kita lihat orang cerdas, ilmunya mumpuni lah. Tetapi dia sombong, tidak bisa menempatkan sisi yang seharusnya ditunjukkan sesuai situasi dan kondisinya. Apa akan tetap kita pandang baik? Nggak, kan. Percuma atuh ilmu-na ge kanggo naon.”
Semua terdiam menyimak baik-baik perkataan Ummah. Benar sekali apa yang Ummah katakan. Istilahnya bahwa orang tersebut tidak bisa mengamalkan ilmu yang sudah didapat dalam ranah kehidupannya. Bahasa kasarnya itu ilmunya tidak bermanfaat di dunia. Apalagi di akhirat. Naudzubillahimindzalik.
Ummah masih melanjutkan celotehannya, yang ditimpali Teh Hilda dan ketiga santriwati. Sementara aku kembali menatap Kang Husein dari jauh. Lelaki itu kini ikut gabung bersama santri-santri Abah. Terlihat amat akrab Kang Husein bercengkrama dengan mereka. Sudah seperti kawan baik yang baru berjumpa lagi. Sisi humorisnya lah yang kukagumi. Ya, Kang Husein itu bisa diibaratkan kopi, yang mampu berbaur dengan siapapun tanpa memandang usia.
***
Pembicaraan bersama Abah dan Ummah selama perjalanan menuju pondok waktu itu masih membekas di kepalaku.
“Abah suka sama Kang Husein,” cetus lelaki yang kini rambutnya mulai berwarna kapas itu. Abah duduk di samping A Nawawi. Kali ini ia diminta menyetir mobil. Aku duduk di jok tengah bersama Ummah dan si bungsu. Kedua adik laki-lakiku yang lain duduk di jok belakang. Lilis tidak ikut, katanya dia ada tugas kelompok di sekolahnya. Padahal hari minggu.
Mendengar penuturan Abah tanpa basa-basi menciptakan seulas senyum tertahan. Sementara tatapanku sesekali mengarah ke luar jendela mobil.
“Pribadinya bagus, sikapnya berbaur sama orang kelihatan santri banget. Abah seneng,” tambah Abah lagi.
A Nawawi menyambung, “Terutama pas ngobrol sama jamaah, ya, Bah. Aa geleng-geleng kepala wae, tah. Humoris juga, ya, Teh, orangnya.”
“Iya. Kang Husein memang kayak gitu orangnya,” jawabku malu-malu.
“Pasti sering diguyoni kalau ngobrol. Lebih tepatnya di-bucin-i lah istilah jaman sekarang mah.”
“Ya, begitulah,” lirihku berusaha mengontrol debar jantung.
“Ummah, sih, kumaha?” tanya Abah sambil menoleh kepada Ummah.
Ummah yang memangku si bungsu seraya menemaninya makan kacang garing, menyahut, “Nya, sami. Kalau dibandingin sama beberapa calon si Teteh yang pernah datang ke rumah. Memang Kang Husein juaranya, Bah. Nya, Ummah ge suka.”
“Alhamdulillah atuh.”
Kali ini Abah bertanya padaku dengan kedua mata menatap lewat kaca bagian atas mobil. “Jadi, kumaha? Bade lanjut, Teh?” Tiba-tiba aku gugup. Kepalaku menunduk dalam. Kebiasaan kalau dalam keadaan seperti ini secara refleks aku akan lansung memainkan ujung-ujung kuku jari tangan. Sejujurnya mendadak mengalir perasaan hangat di dasar hatiku. Hingga mencipta air bah di kedua sudut mata yang diminta untuk segera dikeluarkan.
Siapa yang tidak bahagia sekaligus terharu, jika mendengar penuturan kedua orangtuamu merestui dengan tulus terhadap sebuah pilihan dalam hidupmu kelak. Apalagi ini menyangkut sosok yang akan mengiringimu membangun bahtera rumah tangga.
Aku belum juga menjawab. Yang kulakukan ialah menahan untuk tidak menangis haru.
Abah menoleh ke belakang. “Teh? Gimana? Kok diam? Teteh masih ragu?”
Cepat-cepat aku menggeleng keras. Tidak. Tidak ada keraguan sama sekali soal keputusanku menerima Kang Husein. Sebab, selama ini aku sudah yakin betul.
“Lha, terus kunaon atuh geuning malah nangis? (terus kenapa malah nangis?)” heran Abah.
Ummah mengelus pundakku. “Ya, sudah, supaya makin yakin, coba Teteh solat istikharah dulu. Lagipula ini kan masih mau tahap ta’aruf. Kita baru ketemu sekali. Nanti kalau sudah mulai siap, ya, mangga dilanjut ke tahap berikutnya.”
Aku mengangguk.
A Nawawi menyeletuk, “Santai wae atuh, Teh. Eleuh ... euleuh ... mani baper kitu. Kumaha kalau lagi digoda Kang Husein. Pasti langsung mimisan.”
Aku melempar kacang garing kepada A Nawawi. “Naon, sih, A Nawawi. Saha nu-baper. Weee ....”
Sontak Ahmad merengek karena kacang miliknya aku lempar sembarangan. “Teteh kacangna huhuuu ....”