Husein
Seminggu yang lalu aku dikejutkan oleh panggilan telepon dari Aqilla. Sebab ia memintaku bertemu keluarganya. Kebetulan mereka ikut mengantarnya berangkat ke pondok.
Siang itu selepas pengajian Tafsir Jalalain aku langsung bergegas menemuinya dengan debar jantung bertalu-talu. Siapa yang tidak deg-degan sih mau bertemu calon besan. Kucium penuh takdzim punggung tangan Abah dan Ummah. Ketiga adik laki-laki Aqilla pun langsung menyambutku antusias. Terlebih si bungsu, dia sampai memintaku menggendongnya melihat burung-burung di sangkar yang terletak di area sebelah selatan taman ruang tamu.
Dari teras ruang tamu Abah berteriak, “Ahmad ... entos ningal manukna, ke deui atuh. ( sudah liat burunya, nanti lagi)”
Ummah menyambung, “Kang Husein bawa wae kadieu tah barudak. (bawa aja ke sini) Makan dulu, Kang, makan.”
Aku mencoba berbicara dengan Ahmad. Awalnya dia merengek tidak mau, tapi aku mencoba mengelabuinya dengan sebuah janji bahwa nanti akan dibelikan es krim. Akhirnya dia manut. Nizar yang saat itu ikut asik memberikan pakan burung, mengekor di belakangku. Sementara si Fahri sendiri sudah ideng. Dia tampak santai menyantap rujak buah di samping Ummah.
Aqilla terlihat sibuk menyiapkan makanan di atas karpet, dibantu Ummah. Aku meliriknya untuk beberapa saat. Ah, sedari dulu ingin sekali aku mengunyel-unyel dua buah pipi menggemaskan miliknya.
“Mangga, Kang Husein, mangga, makan dulu. Tong isin-isinnya, (jangan malu-malu, ya).” kata Ummah.
Aqilla menyerahkan sepiring nasi kepadaku beserta laukan utama yakni oseng sotong. Duh, tahu saja dia laukan kesukaanku.
“Mangga, Ang,” lirihnya tanpa melirik sedikitpun.
“Hatur nuhun,” balasku berusaha sopan. Kalau tidak ada kedua orangtuanya sih sudah aku guyoni habis-habisan.
Sambil mengunyah makanannya, Abah berceloteh, “Itu si Teteh buat oseng sotong spesial lagi, Kang. Khususon buat Kang Husein katanya.”
Aqilla langsung memelotot, wajahnya mulai memerah. “Abaah.”
Aku pura-pura terkejut. “Oge, Bah? Wah, saya jadi terharu. Udah kayak martabak aja dispesialin euy.”
“Emang Ang Husein kayak martabak,” cemooh Aqilla berekspresi lucu.
Aku menyeringai, lalu segera membalas santai, “Oh, yang disenangi dan disukai banyak orang itu.”
“Dih, kepedean pisan,” ledek Aqilla bersemu merah, karena menahan senyum sedari tadi. Apalagi Abah dan Ummah tergelak mendengar candaanku.
Aku ikut tertawa. Hanya Aqilla yang tampak manyum sambil menyantap makanannya.
Di sela-sela tawa kami, spontan Nizar bersuara, “A Husein emang jiga martabak. Anu digoreng tea. Hehe.”
Kami makin tergelak. Padahal candaan Nizar tidak ada lucunya sama sekali. Cuma karena gesture dan gaya bicaranya yang menggemaskan.
Lagi-lagi Aqilla menyambung sambil ekor matanya melirik tajam ke arahku. “Betul itu, Zar. A Husein mah emang goreng.”
“Dih, Teteh mah ai nyarios teu jelas. (Teteh sih kalau ngomong tidak jelas),” sanggah Nizar. Dari ketiga adik lelaki Aqilla memang Nizar lah yang paling aktif berbicara.
Kening Aqilla mengkerut. “Lha, teu jelas kumahana, Zar?”
“Sekarang bilang A Husein goreng. Pas waktu itu bilang ke Nizar katanya A Husein teh meni kasep jiga Nabi Yusuf. Kumaha ceunah? (… sangat tampang seperti Nabi Yusuf. Bagaimana?)”
Ummah ikut pro kepada Nizar. “Hayo, tanggungjawab Teteh.”
Di samping yang lain tertawa aku sendiri tersenyum geli melihat tingkah Aqilla yang gelagapan ditodong oleh kepolosan anak usia sekolah dasar itu.
“Nizar, kapan, ih, Teteh nyarios kitu? Jangan ngarang,” elak Aqilla, walau kedua pipinya sudah menyerupai udang rebus.
“Lha, Teteh mah sok pura-pura hilap. Pas enjing-enjing di pendopo tuh.”
Aku tak kalah menggoda, “Hayo, Teteh. Jangan ngelak, ah. A Husein emang kasepnya, Zar? Tos dulu, yuk!” ajakku sambil menyodorkan kepalan tangan kepada bocah pemilik jam Avanger itu. Dan langsung disambut antusias olehnya.
“Dua kosong,” tambah Abah makin membuat Aqilla menekuk wajah.
“Ah, Nizar, mulut-na sok ember. Pokoknya sama Teteh nggak akan dibelikan Avenger-avenger-an lagi,” ancam Aqilla berekspresi kesal.
Si Nizar dengan cerdasnya membalas, “Nya, teu nanaon. Kan masih ada A Husein. Iya, kan, A?”
“Siap, Zar. Nanti A Husein yang belikan Nizar Avenger-avengerannya. Tos deui, Zar!” ajakku lagi.
Nizar menurut. Kami makin tergelak. Sementara Aqilla sudah memajukan bibirnya dua senti. Lagi-lagi Abah ikut menjadi wasit, “Tiga kosong.”
Aqilla seperti pundung disudutkan begitu. “Nya, sok sekalian A Husein ogelah nu jadi Kakak-na Nizar,” katanya ngegas.
Ucapan Nizar selanjutnya membuat kami semua terdiam. Begitupun aku sendiri yang sedang menjadi objek pembicaraan.
Sambil menatapku serius, Nizar berucap, “Nizar nggak mau A Husein cuma jadi Kakak-na Nizar.”
“Terus maunya apa atuh?” tanya Ummah.
“Maunya sekalian jadi ipar.”
Sontak mendengar penuturan Nizar barusan, kami kembali tergelak. Aqilla malah yang lebih keras tawanya.
“Duh, Nizar, A Husein jadi terharu, euy,” kataku jujur. Bahkan rasa-rasanya hatiku melambung tinggi dibilang begitu. Terlebih lagi oleh sikap ramah dan amat Abah, Ummah, adik-adik Aqilla serta keluarga Bani Hasyim lainnya. Pada detik itu juga kedua belah mataku berkaca-kaca.
Masih dalam mode tertawa, Aqilla bertanya, “Uluh-uluuh ... kayak nu ngerti wae. Emang ipar teh naon, Zar?”
Dengan polosnya Nizar menjawab, “Duka.”
“Lha, bisa-na bilang gitu tadi kumaha?”
“Duka, Teh. Ieu mah saur si Rizal. (nggak tahu, Teh. Ini sih kata si Rizal),” keukeuh Nizar. Dasar bocah.
Kami semua tertawa lepas.
Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan rasa bahagia ini. Mungkinkah cukup bersyukur kepada Allah saja yang telah mengatur seindah ini skenario hidupku?
***
“Udah dong, Teh, pundungna. Kayak bocah wae, ih,” ledekku lewat panggilan telepon.
Sambil duduk di bangku yang menghadap ke sebelah selatan –ke arah pengunungan kapur nun jauh di sana, aku sedari tadi menerima panggilan telepon dari Teh Mala. Kakak perempuan sulungku itu mendadak minta ditemani ngobrol. Untungnya sore ini aku tidak mempunyai jadwal mengaji, jadi apalah daya kuladeni saja.
Oh, ya, perlu diketahui bahwa Teh Mala masih enggan pulang ke rumah. Barusan dia memberitahuku letak rumah kontrakannya bersama beberapa teman sebisnisnya. Katanya marahnya orang dewasa itu lebih baik diredam oleh jarak, daripada bertemu hanya akan mengundang emosi kemarahan. Tidak akan ada sembuhnya.
“Dih, siapa yang pundung coba,” elak Teh Mala.
“Lha, Teteh, sih, naon eta?”
Terdengar helaan napas Teh Mala. “Teteh cuma lagi mendinginkan kepala, Dek. Udahlah nggak usah bahas soal ini. Nanti juga Teteh bakal pulang ke rumah, deuh.”
“Ya udahlah terserah,” ucapku pasrah.