Aqilla
Penjelasan Abah waktu itu masih menggema di telingaku. Saat ia menginginkanku menikah di bulan Maulud tahun ini, sekitar enam bulan ke depan.
“A Nawawi keterima beasiswa doktornya di Jerman. Akhir bulan Juni dia, Teh Hilda sama anak-anaknya diboyong semua ke sana. Abah teu tiasa ngalarang. Da itu teh memang hak A Nawawi sendiri. Lagipula awal mula sepupumu itu nimbrung di yayasan, kan, atas permintaan Abah. Tadinya mau langsung ngelanjutin kuliahnya. Tapi Abah keukeuh nahan. Terus Abah sumanggaakeun kalau kedepannya keterima lagi. Ya, mangga. Bagaimanapun juga itu tuh salah satu mimpi A Nawawi dari dulu, Teh.”
Aku masih menundukkan kepala sembari memainkan ujung sedotan. Kenyataan perihal A Nawawi baru kali ini kudengar. Baiklah, aku paham. Kalau aku berada di posisi Abah, pasti akan melakukan hal yang sama.
Kulebarkan kembali kedua telingaku. Abah melanjutkan ucapannnya.
“Kemudian, di lembur teh perempuan seumuran Teteh itu tos pada narikah. Teteh pasti tahulah, kemarin pas pulang kumaha. Da umur dua puluh lima tuh kalau perempuan mah tos mateng, tos siap lamun ngabangun rumah tangga tuh. Apalagi setelah Kang Husein main ke rumah. Abah sama Ummah makin seneng dan sangat berharap. Mudah-mudahan dia bisa jadi penerus yayasan Bani Hikmah.”
Abah menjeda ucapannya. Lelaki yang ke mana-mana selalu memakai peci hitam itu meneguk teh tawar hangatnya beberapa tegukan. Mungkin sengaja membiarkanku supaya bernapas lebih lega.
Aku sendiri berkali-kali berusaha menahan air bah di kedua sudut mata. Aku sadar. Berat memang posisi Abah selama ini. Dia bukan hanya seorang kepala rumah tangga serta sosok yang menjadi panutan di masyarakat. Tetapi juga pemilik yayasan Bani Hikmah. Dialah yang mengakomodir segala ranah di sana, dibantu A Nawawi dan jajaran di bawahnya.
Dan Abah tidak mungkin selamanya berada di posisi tersebut. Terlebih A Nawawi yang hendak meninggalkan tanah air. Maka dia perlu sosok lelaki yang dipercaya menggandengnya ke depan, lantas menggantikan posisinya kelak. Tidak mungkin sekali lelaki yang dimaksud ialah salah satu adik-adikku. Karena aku anak perempuan sulungnya. Sehingga bisa ditebak Abah membutuhkan siapa sekarang ini.
Abah tertawa kecil. “Oh, ya, Abah tos sering mimpikeun Teteh nikah sareng Kang Husein. Hehe. Nikahnya di masjid desa. Terus disaksikeun kuseuur jalmi, didoakeun ku guru-guru, para alim ulama. Duka kunaon. Mungkin karena Abah sering mikirkeun soal etanya.”
Sungguh hatiku serasa kian menciut. Aku sama sekali tidak memiliki celah untuk menolaknya. Dari sekian banyak permintaan Abah dan Ummah yang selalu kuturuti, walaupun menentang keinginanku sebenarnya. Baru kali ini aku merasa sangat kesulitan untuk menerima.
Bukannya aku tidak mau. Hanya saja timing-nya itu. Kenapa harus secepat ini?
“Gimana, Teh? Teteh mau, kan?” tanya Abah kemudian. Nadanya terdengar amat berharap.
Aku menghembuskan napas kasar, mencoba menetralisir keadaan isi hatiku.
Dengan segala kekuatan jiwa yang tersisa, akhirnya aku menjawab, “Muhun, Bah. Teteh mau. Insya Allah. Tapi, Teteh harus bilang dulu ke Kang Husein-nya.”
Abah tersenyum lebar. “Muhun, Teh. Mangga. Abah tunggu kabar baiknya, ya, secepatnya.”
Aku mengangguk lemah. “Muhun.”
Pertemuanku dengan Abah siang itu sudah diketok palu kesimpulannya. Bahwa aku harus segera membicarakannya dengan Kang Husein, mengajaknya menikah bulan Maulud nanti. Sebuah PR besar yang aku sendiri enggan untuk menerka-nerka jawabannya.
Rupanya dari sekian banyak pertemuanku dengan lelaki belahan jiwaku ini, baru kali ini kurasakan atmosfer ketidaknyamanan. Mungkin Kang Husein pun merasakan hal yang sama.
Aku ingin cepat-cepat pergi dan mendapatkan jawaban yang kuharapkan. Entah pada kenyataannya akan bagaimana. Sehingga kuminta Kang Husein tidak perlu memesan menu café saat ia hendak memanggil si karyawan santri. Sebab, aku mau langsung to the point saja.
Kuperbaharui posisi dudukku. Lalu kumulai pembicaraan dengan langsung berbicara ke bagian inti. “Kemarin Abah datang ke pondok, Ang. Kita bicara empat mata perihal sesuatu yang amat penting di antara kita. Dan ....”
“Dan ....”
Kuberanikah diri menatap bola mata elang itu, yang memancarkan tatapan penasaran sekaligus khawatir. “Dan Abah minta aku menikah bulan Maulud tahun ini. Sama kamu, Ang,”
Kang Husein terbelalak. Ekspresi terkejutnya jelas sekali terlihat. Lebih tepatnya mungkin syok.
“Ang Husein mau kan?” tanyaku sekali lagi.
Lelaki berparas tampan itu terbata-bata berucap, “Me ... menikah?”
Aku mengangguk keras. Masih belum beranjak mengalihkan pandangan. Justru dialah yang selanjutnya melakukan hal itu sambil terkekeh geli.
Kedua kepalan tanganku mengeras. Di saat seperti ini bisa-bisanya ia tertawa. Menyebalkan sekali. “Kok Ang Husein ketawa, sih?” tanyaku tersinggung.
“Ah, kamu bisa aja bercandanya, Dik.”
“Aku nggak sedang bercanda, Ang. Aku serius. Abah ingin kita menikah bulan Maulud tahun ini.”
Kang Husein meringis. Aku yakin ia pasti merasa keberatan.
“Tapi, kan, kita sudah berkomitmen, Dik. Kita akan menikah dua tahun ke depan,” elaknya.
“Kamu inget, kan, Dik?”
Sudah kuduga. Kang Husein pasti akan menyinggung soal ini. Kami memang pernah saling berkomitmen satu sama lain. Bahwa kami akan menikah dua tahun lagi. Yakni dua tahun setelah kami sama-sama boyong dari pondok.
Cepat-cepat kualihkan pandangan saat air mataku mulai merembes membasahi pipi. “Aku tahu, Ang. Aku inget banget soal itu. Tapi ... tapi ....”
Segera kututupi wajahku dengan ujung jilbabku. Untuk beberapa detik kami dibuat diam.