Husein
Aku duduk di atas lantai rooftop dengan sedikit memeluk kedua lutut. Sambil menyenderkan punggung serta belakang kepala kepada pagar pembatas, pandanganku mengarah ke depan, ke hamparan pepohonan menggelap.
Suasana riuh di pondok pesantrenku kian berganti kesunyian menjelang tengah malam. Para santri sudah terlelap. Suara pengurus sedang mengobrol maupun menderas kitab masih terdengar samar-samar dari lantai tiga bagian belakang kantor pusat ini.
Kuraih minuman kaleng di sampingku yang ternyata sudah habis.
Krek!
Suara kaleng yang kuremas keras-keras terdengar memecah sunyi. Lantas disusul bunyi kelontang saat kulemparkan sembarang bersama emosi yang masih tersisa.
Kang Dzaki datang. Ia kembali duduk di sampingku. Sesaat sebelumnya ia beranjak ke belakang hendak mengambil cemilan berupa ubi rebus.
“Terus apa rencanamu selanjutnya?” tanya Kang Dzaki kembali membuka pembicaraan. Sedari awal aku curhat padanya soal ajakan Aqilla menikah enam bulan kedepan, yang kutolak mentah-mentah. Tentunya dengan berbagai alasan yang kuanggap tidak sepele.
Aku menghela napas berat.“Nggak tahu.”
“Nyerah?” tebaknya. Lalu ia menyesap secangkir kopi hitam yang sudah dingin.
Aku menoleh sejenak. Rokok di sela-sela jari lelaki di sampingku itu masih menyala. Kuraih secara tiba-tiba, membuatnya menatap keheranan.
Masih belum kujawab pertanyaannya barusan. Aku yang memang bukanlah seorang perokok, dengan percaya dirinya menyesap sebatang rokok itu. Alhasil aku terbatuk-batuk beberapa kali.
Kang Dzaki langsung merebutnya. “Dasar payah!”
“Aku bukan perokok.”
“Saya juga awalnya bukan perokok,” tukas Kang Dzaki.
Aku menoleh. “Terus kenapa sekarang jadi perokok?”
“Karena saya sudah menemukan nikmatnya merokok.”
Aku langsung mencibir, “Hmm ... padahal sudah jelas pula risikonya.”
“Tapi hukumnya boleh kan?”
“Ikhtilaf, Kang. Ada ulama yang membolehkan, ada juga yang nggak.”
Kang Dzaki tersenyum kecil. Ia menyesap rokoknya, lantas menghembuskan asap rokok tersebut secara perlahan lewat mulut dan lubang hidungnya. Sesekali memejamkan kedua belah matanya. Seolah-olah ia memang sedang menikmati secuil nikmat yang datang dari surga. Dan tak mau melepaskannya begitu saja.
Aku memperhatikan terus. Dalam hati bergumam, kalau dipikir-pikir seorang perokok itu nggak jauh beda, ya, sama manusia yang gemar melakukan siklus maksiat. Sudah tahu konsekuensinya akan gimana, tetap saja melakukan hal tersebut.
Seketika Kang Dzaki menoleh ke arahku. Ia mulai berbicara, “Tahu nggak, Sein. Dulu saya sama sekali anti merokok. Bahkan terbilang fanatik. Orang-orang bilang begini, kalau kamu lagi stres cobalah merokok, pasti stresmu bakal hilang. Ah, omong kosong! Mana ada melenyapkan segala kecamuk kekalutan dengan cara begitu. Terus ada yang bilang juga, merokok itu enak loh, apalagi sambil ngopi pahit. Ah, nikmat. Bulshit!”
Kang Dzaki menjeda ucapannya. Ia menyesap sekali lagi rokoknya. “Tapi ternyata semakin berjalannya waktu, saya kemakan omongan sendiri. Saya coba-coba merokok secara diam-diam. Waktu itu saya melakukannya di pinggir sungai selepas ngaji subuh. Demi mencari sebuah kenikmatan yang memang dibicarakan orang-orang. Awalnya sama kayak kamu, saya langsung terbatuk-batuk. Apa yang enak, sih? Nggak ada.
“Namun, saya mencobanya berulang-ulang kali, menghalau desakan nggak nyaman di tenggorokan seraya menatap riak air sungai yang mengalir. Ketenangan suasana pagi. Dan nyatanya lama kelamaan saya menemukannya juga, Sein. Perlahan organ pernapasan saya mulai beradaptasi. Tidak ada batuk-batuk lagi. Mulai saat itulah sampai sekarang saya jadi perokok. Soal kenikmatan tersebut tentu saya temukan.”
Kang Dzaki tersenyum. “Dan kamu yang sekarang ini sama seperti saya dulu.”
Keningku mengkerut sempurna. Aku sama sekali belum paham arah pembicaraannya. “Tapi, kan, aku nggak penasaran soal kayak gimana nikmatnya merokok. Aku sama sekali nggak tertarik dan nggak mau jadi perokok, Kang. Serius,” elakku ngegas sambil menunjukkan tanda peace di kedua jariku.
Kang Dzaki tertawa. Ia menepuk-nepuk pundakku. “Santai, Sein, santai. Bukan itu maksud saya.”
“Lha, terus?”
“Jadi, kamu yang sekarang itu sama seperti saya dulu. Kamu pasti sudah terpikirkan gimana bahagianya seorang santri mendapat restu dari gurunya. Lalu, keinginan menikah itu terwujud dengan orang yang kamu cintai. Sama seperti banyak alumni pondok sini juga. Namun, baru saja kamu membuka pintu kebahagiaan di depan mata. Kamu langsung dicegat oleh alur takdir yang berbelok tak disangka.
“Nah, terus pertanyaannya sekarang ialah apa yang harus kamu lakukan? Iya, kan?”
Kang Dzaki terdiam. Menatap tajam bola mataku yang mulai berkaca-kaca. Entah kenapa tiba-tiba ada desak air mata yang memaksa harus kukeluarkan.
Sentuhan lembut tangan Kang Dzaki menyentuh lututku. “Kalau kamu diam saja, apalagi sampai mundur, nyerah gitu saja. Ya, sudah, kamu nggak jauh beda sama orang yang baru merokok, terbatuk-batuk, terus nggak mau berusaha lagi melakukannya. Nggak mau berjuang menemukan sesuatu yang diinginkan. Nggak akan menemukan nikmat yang dimaksud. Kalah sebelum berperang. Husein.”
Aku diam, menundukkan kepala dalam-dalam, mulai terinsak-insak.
“Sejatinya yang namanya perjuangan itu, ya, di awal. Sementara penyesalan, ya, di akhir. Terus sekarang saya tanya, kamu sudah memperjuangkannya sejauh mana? Sudah berapa banyak air mata yang kamu keluarkan? Dan sudah sekhusuk mana kamu bermunajat, berdoa, merayu kepada Allah? Yang jelas-jelas Dialah yang mengatur alur takdirmu, Husein.”
Baru kali ini di depan Kang Dzaki aku menjadi pribadi secengeng ini. Dengan bercucurair mata aku mengelak, “Ta ... tapi aku ragu Kang untuk memperjuangkannya. Karena seolah-olah aku sudah menemukan kepastian jawabnnya akan gimana.”
“Kepastian dari mana wong kamu belum ngapa-ngapain,” bentak Kang Dzaki beremosi.
Aku terkejut melihat kemarahan lelaki berjambang ini.
“Setan yang bikin kamu ragu, Husein. Alyaqiinu laa yuzalu bisyaq. Selama kamu punya keyakinan. Sesuatu yang belum terjadi dan kamu meyakininya nggak akan terjadi. Ya, nggak akan hilang atau istilah lainnya nggak akan lebur, sia-sia, hanya karena kamu ragu-ragu.”
Tak mau kalah, aku segera membalas lagi, “Ok, aku akan coba berjuang. Lantas, kalau ternyata ending-nya tetap sama. Aku sama sekali nggak mendapatkan apa yang kucari. Aku harus gimana, Kang? Percuma. Sia-sia perjuanganku itu.”
“Hanya orang yang nggak beriman, yang menganggap setiap langkah dalam hidup manusia akan berujung sia-sia, ketika dia tidak mendapatkannya dan Allah memang tidak meridoinya.”
Kalimat Kang Dzaki barusan laksana sambaran petir menggelegar. Aku bungkan detik itu juga. Terlebih sorot mata tajamnya itu seakan merobohkan benteng keraguanku.
“Allah yang memegang segala kuasa takdir, Husein. Kapal yang kamu kendarai akan berlabuh di tempat yang Allah tunjukan. Meskipun kamu berusaha mencegah, memutar balik atau menghalau kendali angin, berusaha sampai tujuan yang kamu mau. Kalau ternyata Allah menginginkan kamu berlabuh di tempat lain. Kita bisa apa? Dia yang tahu segalanya. Baiknya gimana. Ya, sudah, kita mesti menerimanya. Tawakal. Yang penting kita sudah berusaha dengan baik. Nggak ada pilihan alur takdir yang Allah berikan itu sia-sia. Pasti ada hikmahnya.”
Aku makin menundukkan kepala bersama segukan tangis yang makin hebat. Perkataan Aqilla sore itu terngiang-ngiang lagi di telinga.
“Kemarin Abah datang ke pondok, Ang. Kita bicara empat mata perihal sesuatu yang amat penting di antara kita. Dan ....”
“Dan Abah minta aku menikah bulan Maulid tahun ini. Sama kamu, Ang.”
“Ang Husein mau kan?”
Kang Dzaki menepuk-nepuk pundakku, seolah-olah berusaha mengalirkan ketenangan lewat tepukannya itu.
***
Usai pembicaraan menguras emosi malam itu, keesokan harinya aku memutuskan melangkah maju, segera menghubungi Teh Mala, ada hal penting yang perlu dibicarakan secepatnya.
“Teteh di mana?” tanyaku lewat sambungan telepon sambil mengganti pakaian.
“Di jalan, Dek. Mau ke rumah.”
“Oke. Kita ketemu di rumah, ya, Teh. Ada yang mau aku bicarain. Penting banget.” Nada bicaraku terdengar serius, hingga Teh Mala bertanya keheranan.
“Aya naon, sih? Kedengarannya kayak serius gitu.”
“Emang serius. Udah, ya, Teh. Aku langsung berangkat. Wassalamu’alaikum.”
Tanpa perlu menunggu Teh Mala menjawab salamku, aku langsung menutup sambungan telepon. Kemudian bergegas keluar kantor setelah mengambil kunci motor milik pondok di kastok –pondok Roundhoul Jannah memiliki lima buah sepeda motor yang bisa disewa siapa saja, khususnya pengurus, sebab mereka tidak diperkenankan membawa motor kecuali yang sudah mendapat izin.
Tepat sekali aku berjalan tergesa-gesa keluar gerbang pondok bersamaan bubarnya jamaah solat dhuha di masjid, mungkin sekitar pukul tujuh lewat lima belas menit. Lantas cukup membutuhkan waktu tiga jam perjalanan menggunakan sepeda motor dengan kecepatan penuh, aku sudah sampai di rumah. Kulihat mobil Brio merah milik Teh Mala memarkir di pekarangan rumah. Aku yakin Kakak sulungku itu sudah berbaikan dengan kedua orangtuaku, terutama Ayah.
Dugaanku tidak meleset, masuk ke dalam rumah langsung disambut pemandangan manis di ruang tengah. Ayah tampak duduk di samping Bunda sambil menyantap makanan –entah apa. Sementara Bunda bercakap-cakap dengan Teh Mala begitu hangat.
Maaf Teh Mala, sepertinya momen pagi menghangat ini akan aku rusak sejenak. Bermacam-macam kalimat telah kususun rapih di otak, tinggal kumuntahkan saja habis-habisan.
Kucoba menghela napas dalam-dalam, sekadar meredam emosi yang spontan memuncak saat melihat Teh Mala. Sebab egoku berbicara sedari awal bahwa jika Teh Mala sudah menikah, mungkin aku akan menyetujui permintaan Aqilla pada detik itu juga. Tidak akan terjadi lagi sebuah drama menyebalkan ini.
“Assalamu’alaikum,” sapaku mendadak muncul di antara mereka.
“Wa’alaikumsalam.”
Seperti biasa kedua orang tuaku akan terkejut ketika aku pulang ke rumah tanpa memberitahu. Apalagi di waktu-waktu bukan liburan.
Tak lupa aku mencium tangan mereka. Saat Bunda bertanya alasanku pulang, aku menjawab santai, “Nggak lama kok, Bun. Ada urusan sama Teteh.”
Teh Mala menyahut, mungkin dia penasaran sedari aku meneleponnya pagi tadi. “Urusan apa sih, Dek? Meni serius gitu.”
Aku tidak langsung menjawab. Justru kuperhatikan tatapan keheranan Bunda dan Ayah. Mereka memang belum tahu persoaalan yang kuhadapi sekarang. Rencananya akan kuberitahu setelah ini.
Karena tidak mungkin aku membeberkannya di hadapan mereka. Aku menarik tangan Teh Mala menuju lantai dua. Tentu saja gadis berjilbab coklat muda itu mengomel-ngomel.
Tidak mau membuang-buang waktu lagi, saat keadaan di antara kami mulai tenang. Aku langung bicara to the point. “Teh, pokoknya aku mau Teh Mala cepat-cepat menikah. Maksimal dua atau tiga bulan ke depan.”
Teh Mala tertawa sarkas. Ia duduk di sofa ruang santai yang berada di lantai dua. “Kamu ngomong apa, sih, Dek? Teu ngarti Teteh mah. (nggak ngerti Teteh sih).”
Aku mendecak. “Tau nggak, Teh? Keadaan Teteh yang sekarang itu, yang nggak kunjung menikah, jadi penghalang aku buat menikahi Aqilla,” kataku ngegas.
Raut muka Teh Mala langsung berubah masam. Ia mendelikku tajam. “Kok kamu jadi nyalahin Teteh, sih?”
“Ya, iyalah. Aku bakal langsung terima permintaan Aqilla buat menikah bulan Mulud tahun ini. Tapi gara-gara Teteh yang nggak mau nikah, aku kehabisan kata-kata, Teh.”
Teh Mala bangkit. “Oh, jadi semua ini gara-gara Teteh? Iya? Kamu pikir menikah itu gampang, Dek?” Teh Mala menunjuk-nunjuk. “kamu ... kamu nggak usah sok dewasa, ya. Kamu tuh masih bau kencur. Nggak ngerti apa-apa. Sok-sokan nyuruh Teteh kayak gini.”
Air mataku mulai memanas seiring emosi sudah mencapai ubun-ubun. Aku berteriak, “Ya Teteh jangan egois dong! Aku juga mau menikah, Teh. Sampai kapan pun adik-adik Teteh nggak akan pernah menikah. Kalau Teteh masih jadi orang yang pemilih.”
Teh Mala menyeka air matanya yang berhasil meleleh. Dengan wajah memerah menahan amarah, Teh Mala balas berteriak di depan wajahku. “Ya, sudah, menikah saja sana! Nggak usah peduliin Teteh, perasaan Teteh. Biarin Teteh jadi perawan tua.”
Buk!
Satu hentakan keras menyerang pundakku. Teh Mala bergegas meninggalkanku dengan langkah tergesa-gesa. Aku buru-buru mengejar. Tidak mau tahu, aku harus bisa membujuk Teh Mala untuk menikah. Walaupun harus adanya peperangan seperti ini.
“Teh ... Teh Mala ... Teh ....,” panggilku dengan napas tak teratur.
Mungkin sedari tadi Ayah dan Bunda mendengar pertengkaranku dengan Teh Mala. Keduanya tampak berdiri tak jauh dari ujung tangga, menampakkan wajah cemas.
Cepat-cepat kutarik lengan Teh Mala sebelum ia melangkah pergi menuju ruang tamu.