Ini dongeng tentang Sabdo Palon. Yang akan mendongeng Petruk. Panakawan itu akan ngalor-ngidul tentang sosok spiritual yang ditunggu-tunggu kemunculannya di Tanah Jawa ini. Kenapa saat ramai-ramai pemilihan presiden dan pemilihan legislatif ini Petruk malah ngelantur bersastra tutur tentang abdi setia raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya V, itu?
Ya, embuh. Wong kakaknya, Gareng, ataupun adiknya, Bagong, saja sama-sama tak tahu persis alasan si empunya sahibulhikayat.
“Pada 2030, saat Nusantara tidak jadi bubar1, nama Jalan Anyer—Panarukan di-lukir2 dengan nama baru: Jalan Sabdo Palon,” terawang Petruk pada suatu malam berkabut. Kepul-kepul asap ubi Cilembu rebus berkemelut dan berpadu dengan kabut.
Namanya cuma Sabdo Palon? Nama jalan, kok, tunggal.
Padahal nama jalan, termasuk jalan hidup, itu tak pernah tunggal. Apalagi nama-nama jalan ke pernikahan.
Bagong usul, jalan 1.000 kilometer yang menurut hoaks dibangun Daendels3 itu, dijadikan dua ruas saja, masing-masing satu arah. Ruas pulang dan ruang pergi.
“Demokrasi itu dialog. Namanya dialog, ya, dua arah,” protes Bagong. Menurut bungsu panakawan itu, janganlah kita mengulang kesalahan penamaan jembatan di atas laut Jawa—Madura. Namanya Suramadu. Surabaya—Madura. Itu, kan, bagi mereka yang dari Jawa mau ke Madura. Lha yang dari Madura ke Jawa mestinya, kan, Madusura? Ini menurut Bagong akan meruntuhkan benih-benih dua arah demokrasi di Nusantara.
“Jalan Sabdo Palon itu ruas arah Anyer ke Panarukan. Ruas arah sebaliknya, Panarukan—Anyer, dinamai Jalan Budak Angon, orang Sunda. Jadi, Viking dan Bonek ber-“Sinyal Wani salam satu nyali: wani!4” ucap Bagong. Ketika mengucapkannya, mulut Bagong berasap–asap yang lalu bersenyawa dengan hawa dan kabut pegunungan.
Gareng salut pada Bagong. Baginya, jalan yang sama, tetapi penamaannya bolak-balik, seperti Sabdo Palon dan Budak Angon terdengar asyik.
Ho’o. Gareng salut pada Bagong. Bagong memang tak pernah menjabat gubernur DKI Jakarta, tetapi sepertinya karakter kota mantan Batavia itu sudah dihafalnya betul. Di ruas jalan yang sama di jantung kota tersebut, ada jalur dari Pelabuhan Sunda Kelapa ke selatan, ke Istana Negara, yang disebut Jalan Hayam Wuruk, raja Majapahit. Namun, jalan ke arah sebaliknya dinamai patih andalannya: Gajah Mada.
“Berarti kalau situ pengin jadi raja, menuju Istana, lewatlah Jalan Hayam Wuruk. Kalau cita-citamu cuma trimo jadi patih, ya tinggalkan Istana. Laluilah Jalan Gajah Mada,” ujar Gareng.