SABIRU

Puspa Seruni
Chapter #1

1. Samudera

Bagian 1. Samudera

 

Gelombang datang tiba-tiba, menghantam lambung kapal dan menyapu apa saja yang ada di atasnya. Kapal bergoyang cukup keras, beberapa awak kapal jatuh terpental di atas geladak. Beberapa yang lain mencoba mencari pegangan pada apa saja yang ada di dekatnya. Sabiru, anak lelaki berusia 17 tahun yang baru pertama ikut melaut, mencoba berpegangan pada roller jaring. Jantungnya berdegup kencang. Selama empat tahun dia bekerja menjadi pembersih kapal, sore lalu nahkoda kapal mengajaknya ikut melaut. Sabiru tentu saja senang, upahnya sebagai pembersih kapal terlalu sedikit. Bagi pekerja pantai, hal yang paling diinginkan adalah ikut melaut apalagi jika nantinya ia punya kemampuan untuk menjadi nahkoda.

Badan kapal masih di ombang-ambing badai. Gelombang tak henti-henti menghantam. Angin diikuti hujan deras menambah gelap pandangan. Sabiru masih berpegangan kencang, meski perutnya terasa sangat mual. Suara-suara awak kapal dan nahkoda terdengar bersahut-sahutan. Roller jaring tiba-tiba saja bergerak. Sabiru yang duduk sambil berpegangan, sontak panik. Dengan cepat, jaring purseine yang ada didekatnya bergerak meluncur cepat ke laut. Sabiru berdiri, mencoba memegang tuas pada roller untuk menahan laju jaring. Nahas, sebuah tali membelit kakinya. Ia ikut terlempar bersama jaring yang terus meluncur ke dalam laut.

Tangan Sabiru menggapai-gapai, mencoba meraih sesuatu untuk berpegangan. Kakinya terus bergerak mencoba agar tidak tenggelam. Namun, gelombang tinggi menghempaskan tubuhnya berkali-kali. Jaring yang membelit kakinya terburai dan tubuhnya semakin tenggelam jauh ke dalam samudera. Dadanya terasa sesak seakan terhantam benda berat. Ia menahan perih air laut yang masuk ke dalam matanya. Sabiru mengerjap. Matilah aku mati, rintihnya dalam hati sambil terus berusaha untuk tidak terbawa arus samudera. Setelah berusaha sedemikian rupa, anak lelaki itu mulai kehabisan tenaga.

“Anak miskin, jangan ditemani.”

Suara tawa bocah lelaki yang ada di pinggir lapangan membuat Sabiru merunduk. Sabiru memperhatikan kedua kakinya yang dekil tanpa sepatu. Ia ingin sekali bermain sepak bola seperti kawan-kawannya. Selama ini, Sabiru hanya bisa menyaksikan kawan-kawannya bermain di lapangan dari jarak jauh. Sore itu, ia memberanikan diri mendekat. Sabiru sangat ingin diajak untuk bermain.

“Mau main bola tapi nggak punya sepatu.”

Seorang bocah lelaki yang mengenakan sepatu bola lengkap dengan kostum tim favoritnya berkacak pinggang di depan Sabiru. Ia menertawai Sabiru yang masih berdiri kaku di pinggir lapangan. Kawan-kawannya yang lain ikut mendekat, berdiri melingkari Sabiru.

“Sudahlah, kamu duduk aja di pinggir lapangan. Bagian jagain barang-barang kita, tuh. Eits, tapi ingat jangan mencuri apapun, ya.”

Bocah itu mendekati Sabiru dan menepuk-nepuk lengannya sambil tertawa. Gelak tawa mereka terdengar amat nyaring di telinga. Sabiru berusaha menutup telinganya. Kilatan kenangan saat teman-teman sekolahnya merundung dirinya di pinggir lapangan sepak bola tiba-tiba saja hadir.

“Aku mau hidup di dalam samudera saja, Mak. Tidak apa-apa sendirian, setidaknya di sana tidak ada yang menertawai kemiskinan kita,” ucap Sabiru sambil meletakkan kepalanya di atas pangkuan ibunya.

Tangan perempuan yang melahirkan Sabiru tiga belas tahun lalu itu, hanya bisa mengelus kepala anaknya tanpa berkata apa-apa. Hatinya terasa berdenyut perih, bukan kali ini saja anak-anaknya mengeluhkan perlakuan teman-teman sekolahnya. Sebelumnya, Lalu juga kerap menangis setiap pulang sekolah. Badannya kotor berlumur lumpur, bau comberan tercium kuat setelah tubuhnya di dorong ke dalam selokan di dekat pasar ikan. Sama seperti Sabiru, si sulung juga sering mendapat perundungan di sekolahnya. Rambutnya yang kemerahan serta badan yang kurus dengan kulit legam menjadi bahan cemoohan teman-temannya. Sampai akhirnya si sulung tidak lagi mau bersekolah dan memilih bekerja.

“Aku berhenti sekolah saja, ya, Mak. Kerja saja seperti Bang Lalu. Punya uang, bisa beli sepatu bola.”

Sabiru melanjutkan keluhannya, mamaknya hanya menatap kosong ke depan. Pada hamparan pasir yang sesekali dicumbu ombak. Mereka sedang duduk di bawah pohon nyiur yang daunnya bergerak-gerak tersapu angin laut. Matahari belum sepenuhnya rebah ke cakrawala, ia masih bermain-main di atas langit sebelah barat. Ditingkahi burung-burung blekok yang belum ingin pulang ke sarang. Menjelang sore, ibu beranak itu akan menunggu dua orang yang teramat mereka cintai, yang sedang berjibaku dengan deru gelombang di tengah lautan.

“Mak, bapak pulang, Mak. Bapak pulang.”

Sabiru berseru sambil bangkit dari pangkuan ibunya. Tangan kanannya menunjuk pada sebuah perahu kayu yang mulai mendekati pantai. Kaki-kaki kurusnya berlari menyongsong bapak serta saudara tertuanya.

Tubuh Sabiru terus melayang, ia sepenuhnya sudah tidak lagi mampu menggerakkan kedua tangan serta kakinya. Bayangan wajah mamak, bapak serta Lalu silih berganti hadir dalam kepalanya. Kesadarannya mulai menurun seiring semakin menipisnya oksigen yang tersimpan dalam paru-parunya. Mata Sabiru telah benar-benar terpejam. Arus laut membawanya pada hamparan batu karang di kedalaman Samudera. Sabiru tergeletak di antara bebatuan besar dan terumbu karang, jauh dari kapal yang membawanya melaut.

“Kak, kemarilah. Lihat ini.”

Seorang gadis mendekati tubuh Sabiru yang terbaring tidak sadar.

“Awas, hati-hati. Sepertinya itu manusia dari dunia atas.”

Lengan gadis itu ditarik oleh orang lain lagi yang usianya lebih tua.

Mereka adalah Jaladri dan Anamary, kakak beradik anak dari penguasa lautan, Dewi Amphitriet. Mereka melayang pelan, memperhatikan Sabiru dari jarak satu meter. Setelah memastikan bahwa orang yang mereka lihat tidak bergerak sama sekali, Anamary mendekat. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Sabiru. Anamary memiliki kemampuan membaca masa lalu dengan cara menyentuh. Saat kulit keduanya bersentuhan, Anamary dapat merasakan amukan badai yang dialami Sabiru dan menghempaskannya ke dalam samudera. Anamary berjengit, menjauhkan tangannya dari lengan Sabiru.

“Kak, dia terhempas karena badai yang kita ciptakan.”

Anamary menoleh pada Jaladri yang berdiri di sampingnya. Jaladri mendekat, meraba pergelangan tangan Sabiru. Tidak ada denyut nadi yang teraba. Jaladri menoleh kepada adiknya.

“Sudahlah, kita tinggalkan dia. Dia sudah mati.”

Lihat selengkapnya