Bagian 3. Ruang Rahasia
Anamary dan Jaladri memasuki istana utama. Mereka harus memastikan bahwa Dewi Amphitriet tidak sedang berada di kamarnya. Anamary harus segera mengembalikan liontin permata biru yang ia ambil dari kamar ibunya sebelum Sang Dewi sadar bahwa salah satu permata miliknya hilang. Mereka melewati ruang pertemuan. Biasanya didalam ruangan itu, Dewi Amphitriet melakukan pertemuan dengan anggota parlemen untuk membahas suatu hal penting terkait urusan negeri. Kali ini ruangan itu kosong. Mereka terus berjalan menuju selasar bagian lain di mana sebuah ruangan yang juga kerap digunakan oleh Dewi Amphitriet. Ruangan takhta digunakan untuk menemui rakyat di hari-hari tertentu. Di sana rakyat bebas mengadu dan mengekspresikan harapannya terhadap Sang Dewi. Namun, ruangan itu juga kosong.
“Hari ini bukan jadwal Dewi bertemu rakyat.”
Anamary mengangkat kedua bahunya. Mereka bisa saja langsung menyelinap melalui jendela masuk ke dalam kamar ibunya. Akan tetapi akan sangat berbahaya jika sampai ibunya ada di dalam kamar dan mengetahui bahwa Anamary telah lancing mengambil liontin permata biru milik ibunya.
“Kita ke ruang makan. Mungkin ibu sedang menjamu tamunya di sana?”
Jaladri berkata dengan tidak yakin. Anamary mengangguk, ia tidak memiliki ide lain dan terpaksa menurut saja pada perkataan kakaknya. Sesampainya di ruang makan, tidak ada siapapun di sana. Kosong.
“Anamary … Jaladri …. Dari mana saja kalian? Ibu mencari sejak tadi?”
Dewi Amphitriet muncul dari arah belakang. Anamary dan Jaladri terkejut mendengar suara ibunya. Mereka berbalik.
“Ibu.”
Anamary berusaha bersikap tenang meski jantungnya berdegup cukup kencang.
“Apa itu di tanganmu?” Dewi Amphitriet mengerutkan keningnya.
“I-ini … hanya batu karang biasa, Bu. Kutemukan di luar istana saat kami berlatih mengendalikan badai.”
Jantung Anamary semakin keras berdetak. Ia menelan ludahnya, berusaha meredakan takut dalam hatinya. Dewi Amphitriet kemudian mendekat dan mengusap kepala Anamary. Kedua lengannya kemudian merangkul Anamary dan Jaladri.
“Bagus. Kalian harus giat berlatih. Manusia semakin tidak bisa dikendalikan. Ada yang mau ibu tunjukkan pada kalian. Ayo.”
Anamary dan Jaladri saling berpandangan, kemudian mengikuti Dewi Amphitriet menuju ruang perpustakaan. Saat hendak melangkah, tiba-tiba saja Jaladri menyela.
“Ibu, bagaimana kalau aku meletakkan batu ini di kamarku dulu. Anamary, sini aku bantu menyimpan batumu.”
“Oke, segera menyusul. Ada hal penting yang harus kalian ketahui.” Dewi Amphitriet mengangguk dan kembali berenang. Anamary mendekat dan meletakkan liontin permata hati pada telapak tangan Jaladri. Tanpa berkata apapun, Jaladri menggenggam permata tersebut dan segera meninggalkan Anamary. Anamary berbalik dan segera menyusul ibunya.
Di perpustakaan, Dewi Amphitriet mengajak Anamary memasuki ruang pribadinya. Sebuah ruangan khusus yang terdapat di balik sebuah lemari. Anamary terkejut, selama ini ia belum tahu bahwa ibunya memiliki ruang rahasia.
“Kita akan menunggu Jaladri di sini.”
Anamary mengangguk mendengar perkataan ibunya. Ia memandang ruangan berkeliling. Ada banyak benda-benda di ruangan ini. Berbagai senjata, permata, mutiara bahkan manuscript yang tertata rapi.
“Ruangan ini menyimpan banyak pusaka dan peninggalan penguasa laut lain sebelum ibu. Tidak ada yang boleh masuk ke sini, kecuali calon penerus kerajaan.”
Dewi Amphitriet duduk di belakang sebuah meja besar. Ia mengamati Anamary yang masih merasa takjub dengan berbagai benda yang di simpan di ruangan itu.
“I-ini bukankah pedang yang berasal dari tulang manusia, Bu? Dari aromanya aku bisa mencium ada banyak perkelahian.”
Anamary mengendus sebuah pedang berwarna putih yang ada di meja. Dewi Amphitriet mengangguk.
“Tulang seorang manusia yang beberapa kali merusak terumbu karang kita. Ia menggunakan, entah apa itu, yang bisa meledakkan terumbu karang. Tentu saja itu membuat penguasa laut kala itu murka. Namun, bukan hal mudah memburu manusia yang memiliki bom di tangannya. Prajurit kita banyak yang mati karenanya. Sebagian besar terumbu karang kita hancur tak bersisa.”
Dewi Amphitriet menjelaskan pada putrid bungsunya.