SABIRU

Puspa Seruni
Chapter #4

4. Berlatih

Bagian 4. Berlatih


Anamary menggenggam kalung jangkar milik Sabiru, pandangannya menyapu area bebatuan di sekitarnya. Sesuatu yang terlihat di balik batu membuatnya penasaran untuk menghampiri. Anamary bergegas munuju bebatuan. Wajahnya terkejut ketika melihat Sabiru tergeletak di balik bebatuan besar.

“Kak, cepat ke mari?” seru Anamary pada Jaladry.

Mendengar suara Anamary, Jaladry bergegas menghampiri. Anamary mendekatkan telinganya ke jantung Sabiru. Jaladry ikut berjongkok dan memeriksa keadaan Sabiru.

“Masih hidup. Ayo kita bawa ke dalam.”

Jaladry dan Anamary memapah tubuh Sabiru. Sabiru yang sedang tak sadarkan diri itu dibawa masuk kembali ke dalam laboratorium. Tubuh Sabiru masih hangat meski bibirnya berwarna kebiruan. Anamary menggunakan kekuatannya untuk memeriksa apa yang terjadi pada Sabiru. Dia meletakkan tangannya pada dada Sabiru. Sambil menunggu adikknya, Jaladry memperhatikan keluar laboratorium. Jaladry berjaga-jaga jangan sampai ada seseorang yang masuk ke dalam.

“Dadanya kemasukan air terlalu banyak, Kak. Dia masih belum terbiasa bernapas di dalam air. Otaknya masih bingung memerintah sehingga paru-parunya masih belum bekerja baik.”

Anamary mencoba mendudukkan Sabiru. Tubuh Sabiru yang lemas terbungkuk ke depan. Jaladry menghampiri Anamary dan membantu memegangi Sabiru dalam posisi duduk. Anamary mengusapkan tangannya pada punggung Sabiru. Sabiru kemudian terbatuk-batuk. Badannya terguncang-guncang.

“Dia sudah sadar,” ucap Anamary sambil menoleh pada kakaknya yang memegangi kedua bahu Sabiru. 

Jaladry melepaskan pegangannya. Perlahan Sabiru mulai membuka matanya. Dia melihat bayangan Anamary di hadapannya.

“Aku masih hidup?” tanyanya dengan wajah kebingungan.

“Kalau pasukan hiu mencabikmu, baru kau akan mati,” ucap Jaladry yang berdiri di sampingnya. 

Sabiru memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Dia merasakan napasnya mulai bisa teratur.

“Kan sudah kami bilang, jangan kemana-mana. Kalau sampai pengawal kerajaan menemukanmu. Bukan hanya kamu yang celaka, tapi kami juga.”

Anamary menatap Sabiru. Sabiru mengangguk pelan.

“Maafkan aku. Aku hanya penasaran tadi, melihat-lihat keluar. Lalu heran bagaimana aku bisa bernapas di dalam air. Tapi ya … rasanya tadi dadaku sakit sekali.” 

“Kamu akan terbiasa setelah ini. Cobalah bernapas dengan lebih tenang.”

Anamary mengambil makanan yang dibawanya dari dalam istana. Dia menyerahkannya pada Sabiru.

“Makanlah. Supaya badanmu tidak lemas. Setelah ini, kami harus kembali ke dalam istana. Kami tidak bisa selalu menemanimu. Tapi besok pagi aku akan datang ke sini membawakanmu makanan.”

Sabiru terlihat lahap menghabiskan makanan yang di buat oleh koki kerajaan. Dia terlihat sangat kelaparan. Makanan yang dibawa oleh Anamary habis dengan cepat dan tidak bersisa.

“Nah, malam ini istirahatlah dulu. Upayakan untuk tidur. Dan ingat, tetap di dalam sini. Kecuali kamu mau mati.”

“Ayo, jangan sampai ibu curiga. Kita sudah terlalu lama di luar.”

Jaladry mengajak Anamary untuk kembali ke dalam istanan.Sabiru tidak bisa membantah. Dia masih kebingungan dengan kondisinya. Saat ini hanya Jaladry dan Anamary yang dikenalnya di istana ini dan dia mau tidak mau harus mengikuti apa yang di sampaikan oleh keduanya. 

Sabiru memperhatikan Jaladry dan Anamary yang berenang menjauh dari laboratorium. Setelah bayangan keduanya menghilang, dia kembali duduk di tempatnya semula. Sabiru mencoba merebahkan badannya, menuruti saran Anamary untuk beristirahat agar tenaganya lekas pulih. Sabiru memejamkan mata dan mencoba menenangkan pikirannya.

Anak laki-laki itu merasa baru saja memejamkan mata, telinganya menangkap suara kecipak air. Spontan dia membuka matanya, menyapu sekelilingnya. Meski jiwanya belum terlalu sadar, dia mengusap wajahnya dan matanya menjadi awas. Saat suara kecipak itu semakin dekat, dia memilih bangkit dari tidurnya dan tersadar sepenuhnya. Sabiru beranjak dari tempat tidurnya dan memilih untuk bersembunyi di celah batu yang ada di dalam laboratorium.

Sebuah bayangan memasuki ruangan. Jantung Sabiru berdegup kencang. Dia menahan napasnya. Bayangan itu semakin masuk ke dalam dan melihat-lihat apa saja yang ada di dalam. Dia tampak mencari-cari sesuatu. Setiap bagian disisirnya. Dari celah batu, Sabiru mencoba mengintip. Memperhatikan gerak-gerika bayangan yang masuk. Sabiru tidak dapat melihat dengan jelas wujud bayangan tersebut karena situasi amat gelap malam itu. Dia hanya melihat bayangan tersebut bergerak pelan, tanpa suara dari satu sisi ke sisi lain. Setelah beberapa saat, bayangan itu perlahan keluar. 

Setelah bayangan itu benar-benar pergi, Sabiru keluar dari celah batu dan mulai bernapas seperti biasa. Sabiru mencoba meredakan degup jantungnya dan kembali memejamkan mata. Akan tetapi hatinya gelisah dan dia sulit untuk kembali tidur. Sabiru tergolek di atas tempat tidur dengan pikiran yang mengembara.

Ketika pagi datang, Anamary membawakannya makanan seperti yang dia katakan kemarin. Sabiru menceritakan apa yang dilihatnya kemarin malam. Anamary tampak berpikir keras.

“Berarti tempat ini sudah tidak aman untukmu. Tapi apa yang dia cari di sini? Apa dia mencurigai aku menyimpan sesuatu atau dia tahu tentang keberadaanmu?”

Anamary berkata pelan sambil mengernyitkan keningnya. Sabiru menggeleng pelan.

“Aku bahkan tidak tahu bentuknya. Dia sama denganmu, memiliki tangan juga ekor. Berenang pelan.”

“Ada ciri-ciri spesifik yang kamu lihat?” Anamary memicingkan matanya menatap Sabiru. Sabiru mengerutkan dahinya.

“Aku tidak melihat apapun, hanya bayangan. Keadaan di sini gelap sekali.”

Anamary tercenung.

“Kamu harus pindah dari sini. Tapi di mana?”

Anamary berpikir keras. 

Lihat selengkapnya