SABIRU

Puspa Seruni
Chapter #5

5. Menyisakan Pedih

Bagian 5. Menyisakan Pedih


Batu itu kembali terlepas, seiring dengan helaan napas Sabiru yang kencang. Jantungnya berdegup tak karuan. Dia belum dapat melepaskan bayangan wajah teman-temannya yang sering menertawai dan mencemoohnya. Malihar itu, Jaladry mendengkus kesal. Dia mendekati Sabiru dan menamparnya dengan keras. Sabiru terkejut dan hampir saja terjengkang. Anamary menarik lengan kakaknya, supaya tidak memukul Sabiru dengan lebih kuat lagi. Sabiru meringis, menahan pipinya yang terasa perih.

“Dengar, ya. Kebencianmu pada mereka hanya akan menjadi borok yang terus menggerogotimu. Kau tidak akan bisa melakukan apa-apa selain melepasnya. Jika kau terus menerus begini, bagaimana mungkin kau bisa menunjukkan pada mereka bahwa kau memang layak dihargai.”

Jaladry berkata dengan geram. Dia mencengkram krah pakaian Sabiru. Sabiru menatap Jaladry dengan tatapan marah.

“Ayo, tunjukkan pada kami bahwa kamu memang layak dihargai. Atau kau mau kami juga ikut mencemoohmu?”

Anamary mengusap lengan kakaknya.

“Lepaskan, Kak. Biar dia berlatih bersamaku saja. Kakak kembalilah ke istana, siapa tahu ibu membutuhkan kakak di dalam.”

Jaladry melepaskan cengkramannya dengan kasar. Dia menatap tajam pada Sabiru kemudian berlalu meninggalkan Sabiru dan Anamary. Kini tinggal keduanya yang saling pandang. 

“Kita ulangi latihan konsentrasinya. Jangan fokus pada masa lalumu, fokuslah pada saat ini. Tahan batu ini selama mungkin di atas telapak tanganmu.”

Anamary meluruskan kembali lengan Sabiru ke depan. Dia meletakkan batu kecil di atas telapak tangan Sabiru dan meminta Sabiru untuk kembali fokus pada batu yang ada pada telapaknya. Sabiru mengangguk. 

 “Mungkin sebaiknya kamu duduk saja, bersila dan mulai berlatih konsentrasi.”

Lagi-lagi Sabiru mengangguk dan menuruti perkataan Anamary. Anamary memperhatikan dan menunggu. Dia berharap kali ini Sabiru berhasil. Anamary juga ikut memejamkan mata, dia melatih kemampuannya untuk bisa merasakan getar pikiran yang ada di sekitarnya. Anamary menangkap geletar kemarahan dari Sabiru. 

Terdengar suara tawa mengelilingi Sabiru kecil yang terduduk di pinggir lapangan. Wajahnya sudah berlumur lumpur dan kotoran yang baunya membuat perut terasa mual. Anak-anak di sekelilingnya terus melempari Sabiru dengan kotoran sapi yang mereka peroleh di dekat lapangan. Sabiru hanya bisa menunduk dan menutupi wajahnya. Dia marah tetapi tidak kuasa mengangkat wajah apalagi melawan. Sabiru tidak menangis, dia hanya teringat perkataan ibunya.

“Kalau ada orang merendahkanmu, diam saja. Jangan dilawan, karena sebenarnya mereka bukan menghinamu tetapi menjatuhkan harga diri mereka sendiri. Sabar saja, biar Tuhan yang membalaskan sakit hatimu pada mereka.”

Tubuh Sabiru bergetar. Anamary dapat merasakan ada beban berat yang coba Sabiru lepaskan.  Selama ini dia begitu membenci teman-temannya, dia menyimpan dendam dalam hatinya. Dia ingin membalas sakit hatinya, tetapi nasihat ibunya selalu terngiang setiap kali dia mencoba membalas perbuatan teman-temannya.

Sabiru menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Dia mengulanginya hingga beberapa kali, sampai dadanya terasa lega dan bebannya berkurang. Perlahan dia bisa memfokuskan pikirannya pada batu kecil yang ada di telapak tangannya. Anamary masih memejamkan mata, bibirnya menyunggingkan senyum. Dia tidak lagi merasakan getar kemarahan dari Sabiru. Pikiran Sabiru kini sibuk untuk menahan tangannya yang terulur ke depan dengan batu kecil di atas telapaknya. 

Anamary membuka matanya, menatap pada Sabiru yang masih melatih fokus dan konsentrasinya. Anamary tersenyum dan menunggu Sabiru berlatih dengan sabar.

*** 

Jaladry menemui ibunya yang sedang duduk di ruang kerjanya sendirian. Setelah mengetuk pintu, dia menunggu sampai ibunya mempersilakannya masuk. Seorang pengawal tmenyampaikan pesan bahwa Dewi Amphitriet memanggilnya. Terdengar suara pintu terbuka, Panglima Otodus keluar dari ruangan Dewi Amphitriet. Setelah Otodus keluar, Jaladry masuk menemui ibunya. 

“Ada hal mencurigakan yang ditemukan pengawal di belakang istana.”

Tanpa berbasa-basi, Sang Dewi masuk pada pokok persoalan pemanggilan Jaladry. Jaladry menunggu kelanjutan kalimat ibunya.

“Seperti ada penyusup masuk ke dalam. Apa kamu melihat sesuatu yang aneh di belakang istana? Biasanya kalian berlatih di sana, bukan?”

Jaladry menelan ludah, mencoba mengatur raut wajahnya agar tak terlihat terkejut.

“Aku tidak melihat sesuatu yang aneh, Bu. Kami hari ini berlatih di padang lamun setelah sebelumnya memeriksa ruang laboratorium. Semuanya tampak normal.” Jaladry menjawab dengan tenang.

Mendengar penuturan anaknya, Sang Dewi tercenung. Kesunyian membekap mereka untuk beberapa saat. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Berhati-hatilah, bisa jadi Okan mengirmkan anak buahnya untuk menyusup ke dalam Kerajaan kita.

Jaladry mengangguk mendengar perkataan ibunya. 

“Oh ya, besok ibu akan mengecek wilayah timur. Kau ikutlah bersama ibu, ajak Anamary juga. Ada laporan bahwa terumbu karang di sana mulai rusak. Sudah ada yang mengecek ke sana, kondisinya tidak terlalu parah. Tapi kita tetap harus waspada.”

Jaladry kembali mengangguk. 

“Aku tidak melihat Anamary sejak pagi. Apa dia sedang sibuk meneliti sesuatu di ruang laboratoriumnya?”

Dewi Amphitriet memandang Jaladry. Jaladry lagi-lagi mengangguk.

“Ada sesuatu yang dia temukan di wilayah selatan, tempat kami latihan mengendalikan badai. Sebuah benda kecil yang menurut Anamary memiliki getaran kuat.”

Lihat selengkapnya