Bagian 6. Pencarian
Jaladri dan Anamary memasuki istana. Terlihat beberapa orang pengawal sibuk keluar masuk ruang pertemuan. Jaladri menoleh pada Anamary yang belum menyadari sesuatu yang dianggapnya tidak seperti biasanya.
“Ada apa?” tanya Anamary melihat kakaknya menghentikan langkah dan menatapnya lekat.
“Ada sesuatu yang terjadi.”
“Hah? Apa?” Anamary kembali bertanya.
“Ayo, segera temui ibu.”
Jaladri menarik lengan adiknya untuk masuk ke ruang pertemuan sesegera mungkin. Di dalam ruangan, Panglima Otodus sedang berbincang dengan Dewi Amphitiriet. Wajah keduanya tampak sangat serius dengan dahi yang berkerut. Jaladri menghentikan langkah, Anamary menoleh padanya dengan tatapan bingung.
“Ada sesuatu hal yang gawat terjadi.”
Jaladri menatap pada ibu juga Panglima perang Kerajaan Sagara. Anamary yang belum mengerti, juga mengalihkan pandangan pada tengah ruangan. Sang Dewi tampak sedang berbicara hal yang serius dengan Panglima-nya.
“Ayo, kita mendekat.”
Jaladri menahan adiknya yang hendak menghampiri.
“Biar mereka menyelesaikan perbincangannya dulu.”
“Tapi, Kak.”
Hasrat Anamary untuk segera ingin tahu hal yang terjadi membuatnya tak mau sabar menunggu hingga pembicaraan Panglima dan ibunya selesai. Namun, Jaladri tak mengizinkan Anamary mendekat. Mereka berdiri mematung di depan pintu.
Tiba-tiba, Dewi Amphitriet menghentakkan tongkat trisulanya ke lantai. Bunyi nyaring membuat jantung Anamary dan Jaladri seketika berdegup kencang. Panglima Otodus tampak menunduk dalam. Dia memahami kemarahan Sang Dewi. Jaladri menarik lengan adiknya untuk mendekat, menghampiri ibunya yang sedang menahan amarah.
“Kita harus berangkat, Panglima. Saat ini juga.”
Mata Sang Dewi menyala-nyala.
“Tidak, Dewi. Biarkan kami yang menghadapinya. Pasukan hiu sudah ada di sana. Kami akan mengatasinya untuk anda.”
Panglima Otodus mengahturkan sembah.
“Tidak, aku harus ke sana. Persiapkan kendaraanku. Dan kalian …” Dewi Amphitriet menoleh pada kedua anaknya. “Lekaslah bersiap, kita akan berangkat ke wilayah timur.”
“Ampuni hamba, Dewi. Tapi hamba berkewajiban menjaga istana dan keluarga istana. Sebaiknya Jaladri dan Anamary tetap tinggal di istana. Kondisinya sangat berbahaya. Saya tidak mau membahayakan putra mahkota Kerajaan Sagara,” ucap Panglima Otodus sambil mengangkat sembah.
Dia menunduk dengan dalam, berharap Dewi junjungannya mendengarkan sarannya. Dewi Amphitriet menoleh kembali pada kedua anaknya. Wajah keduanya terlihat tegang. Perkataan Panglima Otodus ada benarnya. Panglima besar Kerajaan Sagara itu tentu memiliki pertimbangannya sendiri.
“Hamba berjanji akan mengatasi ini secepatnya. Tenanglah Dewi di dalam istana. Kami akan mengabari sesegera mungkin jika hal di luar semakin buruk.”
Dewi Amphitriet terlihat gusar, dia mencengkram tongkat trisulanya dengan erat. Wajahnya menegang. Dia menatap Panglima Otodus yang terturnduk di hadapannya. Kesetiaan Panglima Otodus selama ini tidak diragukan lagi. Dia juga sangat pandai mengatur strategi dan terbukti sudah banyak mengatasi hal membahayakan yang terjadi pada Kerajaan Sagara. Namun entah mengapa, ada firasat buruk yang menggelayut benak Dewi Amphitriet kali ini.
“Baiklah, pergilah. Aku percaya kepadamu. Tolong beri kabar apa saja perkembangan di luar sana, sesegera mungkin.”
Dewi Amphitriet berkata dengan tegas. Panglima Otodus mengangguk.
“Berkati hamba untuk berjuang, Dewi. Hamba permisi.”
Dewi Amphitriet mengangkat salah satu tangannya memberi restu. Panglima Otodus kembali mengangkat sembah, kemudian berlalu dari ruang pertemuan. Jantung Jaladri dan Anamary masih berdegup kencang.
“Apa yang terjadi, Bu?” tanya Anamary setelah mendengar ibunya menghela napas berat.