Bagian 7. Penghalang
Ligo terus mengejar Panglima Otodus. Dengan kegesitannya, Panglima Otodus berenang cepat dan meliuk-liuk di antara batu karang. Ligo tidak mau kalah, tubuhnya yang tambah cangkang justru mempermudah dirinya untuk memasuki celah sempit sekalipun tanpa mengalami kesulitan. Tubuh lenturnya berhasil menyesuaikan dengan celah seperti apapun. Biasanya Ligo akan mengulurkan semua lengannya terlebih dahulu sebelum akhirnya memasukkan kepalanya.
Krass.
Saat Ligo ingin mengejar Panglima Otodus melewati jalan pintas yang cukup sempit, kelima lengannya terputus. Panglima Otodus telah menggigit kelima lengan Ligo yang mencoba memasuki celah sempit. Tentu saja Ligo terkejut, dia tidak berpikir bahwa semua itu hanya jebakan agar memudahkan Panglima Otodus memutus lengan-lengan Ligo.
Lengan-lengan panjang dan kuat itu berada di dalam mulut Panglima Otodus. Ligo panik, karena pada lengannya terdapat otaknya yang lain. Ligo sebenarnya memiliki kemampuan menyambungkan kembali bagian tubuhnya yang terputus. Akan tetapi, Panglima Otodus menahan lengan-lengan Ligo di dalam mulutnya. Dia berenang menghampiri pasukannya.
“Lihatlah! Aku sudah mengunyah habis pimpinan kalian. Menyerah atau pergilah segerah!”
Panglima Otodus berdiri dengan gagah di tengah arena. Pertempuran segera berhenti, semua mata memandangnya. Bagi pasukan hiu, ini terdengar seperti deklarasi kemenangan. Sedangkan bagi pasukan gurita, ini tampak seperti sebuah ancaman. Sesaat mereka saling pandang, lalu tanpa komando berlarian meninggalkan arena pertempuran. Pasukan hiu mencoba mengejar tetapi dihalangi oleh Panglima Otodus.
“Tidak perlu mengejar, biarkan mereka pergi. Tugas kita adalah menyelamatkan ikan-ikan dan terumbu karang di wilayah timur. Ayo kita kembali bergerak.”
Panglima Otodus kembali memimpin pasukan. Lengan-lengan Ligo masih di simpan di dalam rongga mulutnya. Dia bisa saja mengunyahnya, tetapi Panglima Otodus tidak mau. Ligo yang sudah kehilangan lima lengannya, bergegas menjauh dari Panglima Otodus dan pasukannya.
Sorak sorai mulai terdengar sebagai luapan kegembiraan pasukan hiu yang berhasil mengalahkan pasukan gurita. Ligo dan pasukannya sudah menghilang dadi pandangan mata. Panglima Otodus mengeluarkan lengan-lengan Ligo dari dalam mulutnya dan meminta salah satu pasukannya untuk mengikat lengan-lengan tersebut.
"Kita harus bawa bagian tubuh Ligo ini ke hadapan Sang Dewi. Ini sebagai bukti bahwa pasukan hiu tiada tandingannya."
Sorak sorai bergemuruh kembali terdengar, menyambut perkataan Panglima Otodus. Pasukan hiu sudah berhasil melewati dua dua halangan dalam perjalanan menuju wilayah timur.
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Kita harus segera sampai di wilayah timur."
Panglima Otodus memberi aba-aba agar seluruh pasukan kembali bersiap. Tidak semua pasukan hiu dalam kondisi prima, sebagian sudah merasa kelelahan akibat pertarungan dengan gerombolan ubur-ubur bening dan pasukan gurita. Bahkan beberapa pasukan mengalami cedera yang cukup parah sehingga membutuhkan pertolongan pasukan lain.
"Kita bergerak perlahan saja. Jangan sampai terpisah atau ada yang tertinggal."
Panglima Otodus menyadari kondisi pasukannya. Namun, dia tidak mungkin memerintahkan berhenti atau beristirahat. Dia tidak mau kedatangannya ke wilayah timur sia-sia karena terlambat.
Pasukan hiu bergerak menuju wilayah timur. Pasukan dengan kondisi yang tidak prima, ditempatkan di bagian tengah supaya masih dapat dipantau. Sedangkan pasukan hiu yang masih segar disiagakan di bagian depan dan belakang. Mereka berenang menembus lautan yang gelap dan sunyi.
***
Dari ruangan laboratorium, Sabiru mengintip ke luar. Dia memperhatikan pengawal kerajaan yang beberapa kali melintas di depan ruangan laboratorium. Sabiru bertanya-tanya, ada apa gerangan? Mengapa para pengawal tampak sibuk. Sabiru semakin penasaran, saat dia mendengar suara pasukan hiu yang bergemuruh. Suara yang mampu mendebarkan jatungnya.
Sabiru menahan napas dan terus mengintip ke luar. Meski dia tak melihat apapun, hanya suara sorak sorai penuh semangat dari pasukan hiu. Tidak berapa lama, suara tersebut hilang. Lautan mendadak sunyi. Sabiru kembali ke tempatnya semula, di balik batu untuk bersembunyi jika sewaktu-waktu ada yang memasuki ruangan tanpa sepengetahuannya.
Celah batu itu terletak di pojok ruangan, di mana di bagian depannya terdapat beberapa peti yang disusun bertumpuk. Peti-peti yang sengaja disimpan oleh Anamary, yang berisi barang-barang temuannya. Sabiru bersembunyi di sana, pada celah batu yang tidak terlalu besar tetapi cukup mampu melindunginya saat dia tertidur.
Akan tetapi, entah kenapa perasaannya malam ini tidak tenang. Dia mencoba memejamkan mata dan tidak memikirkan hal apapun supaya pikirannya lebih rileks. Badannya berbolak balik ke kanan dan ke kiri, berganti posisi berkali-kali. Namun tetap saja hatinya merasa gelisah. Di antara pikirannya yang masih berada pada ambang sadar dan tidak sadar, dia mendengar namanya dipanggil. Suara yang terdengar sangat lirih dan pelan, seolah berasal dari tempat yang sangat jauh.
Sabiru membuka matanya, mengerjap berkali-kali sambil menajamkan pendengarannya. Dia melongokkan kepalanya ke sekitarnya. Tidak ada apapun dan siapapun. Suara itu masih terdengar, sayup-sayup tetapi cukup jelas. Sabiru beranjak dari tidurnya dan mulai mendekat ke arah pintu. Tidak ada siapapun di luar ruangan. Sunyi dan gelap. Jantung Sabiru mulai berdetak lebih kencang. Dia sebenarnya ingin melangkah keluar, mencari asal suara yang memanggil-manggil namanya. Namun, dia teringat pesan yang disampaikan Anamary kepadanya agar dia tetap berada di dalam ruangan. Sabiru tidak mau kecerobohannya akan membuat Anamary dan Jaladri ada dalam posisi bahaya.
Sabiru menahan diri meski suara yang memanggil namanya terdengar makin nyaring dan membuat bulu kudunya berdiri. Sabiru kembali pada posisinya semula, bersembunyi di celah batu sambil menutup kedua telinganya. Dia merasa suara itu menyampaikan getaran yang aneh, yang membuatnya dibekap rasa ketakutan. Sabiru menutup telinganya dengan rapat.
***