SABIRU

Puspa Seruni
Chapter #9

9. Pengkhianatan

Bagian 9. Pengkhianatan


Panglima otodus menghunuskan tonkat trisulanya pada pengawal istana yang menghentikan dirinya. Semua pasukan terkejut. Namun mereka yakin, Panglima Otodus tidak gegabah mengambil langkah. 

“Kamu mungkin bisa mengelabui penjaga gerbang istana dan melenggang masuk ke dalamnya dengan aman. Tapi ocehanmu barusan membuka kedokmu sendiri.”

Pengawal tersebut menggeleng pelan dan dengan sangat percaya diri dia membantah tuduhan Panglima Otodus.

“Bagaimana mungkin saya menjadi pengkhianat, Panglima. Sedangkan jiwa dan hati saya sudah sepenuhnya untuk Kerajaan Sagara. Saya menjelaskan yang sebenarnya pada Panglima, Kondisi di dalam tidak aman. Kecuali jika Panglima memang ingin semua pasukan mati membeku.”

Perkataan pengawal istana tersebut membuat pasukan hiu yang ikut mendengarkan menjadi goyah keyakinannya.

“Lihatlah tirai pelindung itu, Panglima. Jika tirai itu dihapuskan, maka kita bisa menolong semua yang ada di dalam istana. Saya keluar semata untuk mencari pertolongan dan mengabarkan hal ini kepada Panglima Otodus.”

Pengawal istana itu berkata dengan meyakinkan. Ada sorot mata cemas yang terpancar dari kedua matanya. Panglima Otodus tetap tidak menurunkan tongkat trisulanya dari si pengawal istana. 

“Kalau Panglima tidak percaya ucapan saya, mari kita buktikan. Minta salah satu pasukan untuk melintas gerbang, jika tubuhnya membeku berarti apa yang saya katakan benar. Jika tidak, saya bersedia mati diujung trisula ini.”

“Baiklah. Mati kita buktikan. Kau majulah, masuklah ke dalam istana.”

Panglima Otodus menunjuk pada salah satu pemimpin regu pasukan untuk melintasi gerbang.

“Tidak, jangan pemimpin regu. Keberadaan mereka tentu sangat penting bagi pasukan ini. Bagaimana kalau dia saja.”

Pengawal istana menunjuk salah satu pasukan hiu yang sedang terluka akibat serangan pasukan gurita. Panglima Otodus menoleh, mengikuti arah yang ditunjukan oleh pengawal istana.

“Tidak, aku yang akan memilih dan bukan kau.”

“Tapi, Panglima. Kalau pemimpin regu yang maju, pasukan kita akan berkurang kekuatannya. Sementara kita masih harus menghadapi kondisi istana yang gawat. Kalau dia, hanya pasukan biasa yang sedang terluka pula. Kondisinya sudah lemah dan mungkin nanti tidak berguna lagi untuk Kerajaan.”

Ada sorot mata tajam dari pengawal istana saat menatap prajurit hiu yang ditunjuk tersebut. Salah satu pasukan hiu yang sedang terluka tersebut menatap pengawal istana dengan marah.

“Baiklah, jika yang kau katakan bohong. Dia tidak akan mati, bukan?” ucap Panglima Otodus.

Dia mencium ada gelagat aneh antara pengawal istana dan prajurit hiu yang ditunjuknya. Akan tetapi, dia tidak memiliki bukti kuat untuk mengatakan kecurigaannya. Panglima otodus berpaling pada anak buahnya. 

“Maju,” ucapnya memberi perintah. 

Salah satu pasukan hiu yang ditunjuknya maju perlahan. Semua yang ada di sana tidak dapat membantah perintah dari panglima tertinggi di Kerajaan Sagara. Pasukan hiu yang masih terluka itu berenang dengan pelan menuju gerbang istana yang tanpa penjaga. Tidak ada yang terjadi padanya saat dia melintasi tabir pelindung. Prajurit hiu itu pun menoleh pada Panglima Otodus yang sedang mengamatinya. Panglima Otodus menoleh pada pengawal istana. Pengawal itu menatap ke arah gerbang, mengamati rekannya yang sedang masuk ke dalam istana.

“Ini pasti salah, Seharusnya dia membeku. Atau jangan-jangan dia pengkhianat, makanya tidak terjadi apa-apa padanya.” 

Tongkat trisula menyentuh kulit pengawal istana. Pandangannya sedikit kebingungan. Tak berapa lama, prajurit hiu itu merasakan kedinginan yang menusuk hingga ke tulangnya. Panglima Otodus dan semua pasukan hiu menyaksikan bagaimana prajurit itu perlahan-lahan membeku. Pengawal istana itu pun tersenyum.

“Benar kan, lihat semua yang kusampaikan benar kan. Tirai itu membekukan semua penduduk istana. Dan hanya pengkhianat yang bisa lolos darinya. Energi itu berbalik arah, kita harus mencari mutiara itu dan menghilangkan tirai pelindung untuk menyelamatkan warga istana. Ayo, Panglima. Kita harus bergegas, mungkin panglima tahu di mana Dewi menyimpan mutiara kembar itu.”

Pengawal istana tampak antusias mengajak Panglima Otodus untuk mencari mutiara merah dan biru yang kerap disebut mutiara kembar itu.

“Ayo, maju. Kita masuk ke dalam istana.”

Pengawal istana itu terkejut mendengar perintah Panglima Otodus pada pasukan hiu. Pemimpin regu serta pasukan hiu yang lain juga terkejut. Tetapi mereka tidak mungkin membantah perintah Panglima Otodus.

“Ta-tapi, Panglima. Kami semua bisa mati konyol. Kita harus mencari mutiara kembar sebelum masuk ke dalam istana. Kita harus …”

Dengan tongkat trisulanya Panglima Otodus mendesak pengawal istana untuk terus berjalan dan memasuki gerbang.

“Aku tidak perlu mutiara kembar. Aku hanya ingin melihat siapa di antara pasukanku yang menjadi pengkhianat. Jika caranya harus mengorbankan semua pasukan, akan kulakukan. Kau bilang kan hanya pengkhianat yang tidak akan membeku.”

Pengawal istana itu kebingungan, dia menolak perintah Panglima Otodus. Tangannya menepis tongkat trisula dari lehernya. 

“Aku tidak mau mati sia-sia di dalam sana. Aku tidak akan menuruti perintahmu. Ada keselamatan Dewi Amphitriet yang harus kuperjuangkan,” ucapnya dengan lantang.

Panglima Otodus tersenyum sinis. 

“Kalian semua juga akan menolak seperti dia? Kalau kalian menolak berarti kalian tidak lagi percaya padaku dan itu sama saja kalian melawan Kerajaan Sagara.”

Lihat selengkapnya