Sabtu, 8 November, suatu Tahun
03.10 p.m. (Pukul 15.10)
LISA
Seperti bagian lain di vila ini, lantai dan dinding koridor itu terbuat dari kayu. Cukup tebal, tapi masih tak cukup untuk menangkal hawa pegunungan. Banyak berkelok. Panjangnya mungkin mencapai hingga puluhan langkah. Lebarnya lebih lebar sedikit dari bentangan kedua lengan orang dewasa. Bagian atas telanjang tanpa langit-langit, langsung menampakkan rangka atap dan susunan genting yang samar-samar saja terlihat. Di kerangka bangunan yang melintang di atas lorong itu bergantung lampu-lampu dengan pijar kekuningan, lengkap dengan piringan logam yang melingkup pangkalnya. Di atas sana, rumah laba-laba bertaut kesana-kemari, coraknya sudah kehitaman dan sesekali bergelayut serupa satin malaikat maut. Di kiri dan kanan lorong tergantung banyak lukisan yang dibingkai dalam persegi panjang berbagai ukuran; mulai dari yang mungil seukuran buku tulis sampai yang besar seukuran setengah daun pintu. Letak lukisan-lukisan itu ada yang membujur, ada yang melintang; jarak antara satu lukisan dengan lainnya punya tolak ukur yang acak. Lukisan-lukisan itu tampak dingin, beku dalam aliran waktu yang terhenti, mungkin karena hanya disoroti cahaya kekuningan dari lampu yang bergantung jauh di atas. Muram. Barangkali, kegunaan koridor itu adalah semacam galeri, tapi bagi kebanyakan orang, koridor itu tentulah bukan tempat yang menyenangkan pandangan.
“Aku suka lukisan. Aku sendiri juga melukis.” Gadis berkacamata itu akhirnya menemukan bahan pembicaraan lain setelah lama berpikir dan tak ditemukannya celah untuk memuji koridor remang itu.
“Saya tidak bertanya,” jawab lelaki berambut ikal di sebelahnya.
“Oh, maaf. Aku cuma berpendapat.”