11.47 a.m. (Pukul 11.47)
LISA
Lisa sudah menunggu belasan menit di sebuah perempatan padat kendaraan yang baru pertama kali dikunjunginya. Ia berkali-kali memeriksa layar ponselnya. Bagian layar yang paling ia incar ada di sudut kanan, sebuah gambar mungil yang melambangkan kekuatan sinyal. Saat itu, gambarnya hanya memuat satu garis sinyal. Bukan berita baik. Di sebelah gambar mungil itu, ada lagi gambar mungil lain yang membuat Lisa semakin cemas: sebuah gambar baterai dengan satu garis di dasarnya. Lagi-lagi bukan berita baik. Yang ditunggui Lisa sejak keberangkatannya hingga perhentian pertama di perempatan ini adalah pesan balasan dari Bu Zaitun, seorang dosen yang mengutus Lisa untuk berangkat ke Kabupaten Yang Dipancang Gunung-gunung.
Lisa tak sering bangun sebelum sebelum pukul 5, tapi pagi tadi, ia terjaga bersamaan dengan kumandang azan dari surau belakang kediamannya. Pagi itu, saat orang-orang muslim berbondong ke surau terdekat, Lisa sudah menggendong tas di punggung dan duduk manis di bangku halte.
“Ibu ada proyek,” kata Bu Zaitun pada Lisa pada dua hari yang lalu, “Seperti biasa, kamu ikut.”
Lisa tak menolak. Justru senang, karena itu artinya uang jajan tambahan.
“Maaf, Lisa. Ibu menyusul. Ibu ada urusan genting. Kamu berangkat sendiri besok pagi,” kata Bu Zaitun lewat telepon pada Jumat malam 7 November.
Itu artinya, Lisa harus berangkat menggunakan kendaraan umum. Padahal biasanya ia menumpang mobil pribadi Bu Zaitun setiap kali ikut proyek. Pastinya ia kecewa, tapi tak mungkin menolak karena pada malam itu juga, rekeningnya sudah terisi sejumlah uang—yang jika ditarik, dompetnya bisa langsung menggembung.
“Siap, Bu,” balas Lisa, “Tapi ke mana?”
“Ke Sebuah Vila Di Pegunungan. Letaknya di Kabupaten Yang Dipancang Gunung-gunung.”
Maka berangkatlah Lisa menggunakan bus antar-kota pagi-pagi sekali. Selama 5 jam perjalanan dihabiskannya dalam bus—seperenam waktu perjalanan itu dihabiskan dalam macet. Di sepanjang waktu itu ia habiskan dengan membaca, mengemil, tapi yang paling banyak dan rasanya paling ampuh untuk membunuh waktu, adalah tidur. Sayangnya, persiapan Lisa tidak begitu cukup: ia tidak membawa cukup bahan bacaan dan membawa terlalu sedikit kudapan untuk menjaga perutnya agar tak sedikit-sedikit berbunyi. Yang paling gawat adalah, karena suatu masalah pada baterai, ponselnya belum penuh terisi daya meski sudah disetrum sepanjang malam.