Sacrifice Of Sacred

Katara Nadir
Chapter #1

Lycee Saint-Louis

Malam beranjak dewasa ketika Bugatti Chiron berwarna biru metalik membawaku melewati kawasan Saint-Michael meninggalkan Lycee Saint-Louis. Masih dengan hening yang menyelimuti mobil mewah asal Perancis ini, aku mengumpat dalam hati untuk tersangka utama yang berada di balik kemudi.

Paras rupawan dan tubuh menawannya tak mampu membuatku lumpuh seperti tadi, hanya menyisakan kesal yang bercokol dalam dada. Dibanding mengelu-elukan si tersangka utama atau mengagumi kemewahan interior Bugatti Chiron, aku lebih ingin meninggalkan jejak memar di paras pria sedingin es ini.

"Sepertinya wajahmu akan menghiasi media massa besok pagi," ujarnya kelewat dingin. Tangan kanannya mengusap-usap dagu, sedangkan tangan kirinya masih bertengger pada kemudi.

"Dan aku sangat membenci itu, Pria Sialan!" desisku cukup kasar. Bagiku, pria ini tidak lebih dari pria sialan yang telah menyeretku pada situasi mengerikan.

Sudah bisa dipastikan bahwa esok hari duniaku akan berubah. Klaimat tentang hidup penuh kejutan harus kuamini detik ini juga. Serupa para elit berdasi yang masuk bui sebab korupsi, atau perusahaan gulung tikar karena krisis ekonomi, kurang lebih begitulah hidupku esok.

"Corin Lafebvre akan muncul dalam satu kolom dengan Felix Francois," ujarnya memprovokasi.

Sialan. Nama Corin Lafebvre biasanya menghiasi kolom Du Monde sebagai penulis berita, bukan orang yang diberitakan. Namun aku yakin, apa yang Felix katakan memang benar adanya. Kehidupanku sebagai reporter akan menjelma jadi objek buruan reporter.

"Semua gara-gara kebodohanmu!" Sembari mendengkus kesal, kalimat itu kusuarakan dengan wajah yang berpaling pada kaca di sampingku, menatap jalanan malam Kota Paris yang tak sepadat sore tadi.

"Hey, Nona, aku hanya menolongmu."

"Mana ada pertolongan yang berakhir di neraka? Dasar gila! Dan hey, apa mobil ini juga berubah gila seperti pemiliknya? Ayolah, Monsieur, ini mobil tercepat di dunia dan kau mengendarainya begitu pelan? Astaga ... kau berniat pamer? Dasar tukang pamer!" gerutuku tak jelas lantaran kesal padanya.

Dari sudut mata, pundak Felix kudapati mengedik tak acuh. Pria ini sungguh tidak tahu diri. Sestelah membuatku terjebak dalam situasi tak terduga sepanjang hidupku, kini dia membuatku terjebak lebih lama di mobil mewah ini. Bersamanya. Sial!

****

[Aula Pertemuan Lycee Saint-Louis]

Musik dengan tempo sedang berdentum memenuhi aula sekolah menengah atas Saint-Louis. Beberapa penghuni aula dengan langit-langit yang sangat tinggi ini mengangguk-anggukkan kepala, menikmati alunan musik yang menjadi latar acara.

Akan tetapi, tidak denganku. Sedari kedatangaku tiga puluh menit lalu, aku masih bertahan di salah satu sudut aula. Dengan sup a l'oignon di tangan, kerumunan orang di beberapa titik kutatap datar. Tidak ada niatan untuk sekadar beranjak dari sini dan bergabung dengan mereka

Terlalu sayang meninggalkan meja penuh kudapan di hadapanku ini. Terlebih aku belum sempat mengisi perut setelah kembali dari kantor Du Monde tadi.

Namun, sebenarnya bukan karena kudapan ini saja yang menahanku. Ada dua manusia yang paling kuantisipasi dalam reuni malam ini. Pemeran utama atas batalnya pernikahanku.

"Corin! Ya Tuhan, aku mencarimu sejak tadi. Kenapa tidak mengabariku kalau sudah datang?"

Suapan terakhir sup a l'oignon hampir membuatku tersedak saat suara milik Floretta menyapaku dengan penuh semangat. Gadis yang tinggal satu apartemen denganku ini berlari kecil, menghampiriku dengan piring berisi Escargot.

"Ponselku mati."

Floretta hanya mengangguk. Gadis itu mulai sibuk menikmati Escargot miliknya. Sesekali aku pun turut merusuh dengan mengambil satu, hingga membuatnya mendelik kesal sebab makanan kesukaannya kuganggu.

"Kau bsia mengambilnya sendiri, Corin!" geramnya. Belum sempat aku menimpali Flo, sepenggal suara justru menginterupsi.

"Hai, Corin, senang bertemu denganmu lagi. Kukira kau tidak akan datang malam ini."

Suara itu milik Bell. Si primadona sekolah sekaligus satu dari dua manusia yang paling ingin kuhindari.

"Ck, dasar penyihir jahat," decakan Flo mewakiliku, membuatku menyeringai senang sebab kerutan kesal di wajah Belle.

Namun, bukan Belle namanya kalau ia mengalah begitu saja. Gadis yang selalu kami panggil sebagai penyihir ini memiliki seratus macam cara untuk membuat orang kesal. Terlebih jika itu aku. Jarak 200 meter bendera perang sudah berkibar.

Sebenarnya aku tak memiliki masalah berarti dengan Belle. Setidaknya hingga memasuki tahun kedua, sebelum seorang siswa pindahan mengacaukan segalanya. Raimond.

"Nyalimu besar juga, Nona. Kukira kau tidak akan datang setelah pernikahanmu batal," ujarnya meremehkan.

Lihat selengkapnya