Hari masih terlalu dini untuk memulai aktivitas. Namun aku sudah kembali menyusuri kawasan Boulevard Auguste Blanqui dengan taksi berwarna putih yang meninggalkan apartemenku.
Lampu jalanan yang berpendar terang di antara lengangnya ruas jalan Kota Paris menjadi objek utama yang terbias di sepasang mataku. Waktu yang masih menunjukkan pukul 3 dini hari sebenarnya terasa lebih nikmat untuk bergelung dalam selimut, tetapi tidak denganku.
Kekacauan yang Felix ciptakan beberapa waktu lalu, melahirkan panggilan bertubi-tubi dari kantor. Potongan video ciuman kami yang tersebar di berbagai sosial media dengan begitu cepatnya, juga portal berita online yang saling adu cepat mengabarkannya, memaksaku menghadap para petinggi.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" geramku pada diri sendiri. "Seharusnya aku tidak larut dalam ciumannya. Sekarang apa yang harus kulakukan?" Sembari mengerang frustrasi, kedua tanganku bertumpu pada lutut. Sementara jemariku menelusup di antara helaian rambut cokelat keemasan milikku, meremas pangkalnya hingga kusut.
"Madame, kita sudah sampai di Du Monde." Suara tebal milik supir taksi memaksaku mengangkat wajah.
Dari bangku belakang, aku setengah melongok, memeriksa bangunan di tempat kami berhenti. Benar, kami berada di kantor Du Monde. Kantor media cetak yang menaungiku tiga tahun ini.
Aku turun setelah menyerahkan beberapa lembar euro sesuai dengan argo. Berjalan di bawah langit gelap dengan terpaan angin musim dingin, kedua tangan kumasukkan ke dalam saku mantel hitam untuk menghalau dingin yang teramat menggerogoti. Sedangkan setengah wajahku tenggelam di balik syal hitam.
Berbekal kartu identitas sebagai akses masuk, lantai lima dari bangunan milik Du Monde adalah tujuanku. Menemui Pierre, redaktur desk kriminal yang turut mengirim pesan bertubi-tubi padaku.
"Datanglah ke kantor sekarang juga, Corin, sebelum para reporter menyerbu apartemenmu dan menutup akses keluar."
Pintu kaca di ruang redaksi lantai lima terbuka otomatis, menyuguhkan pemandangan ruangan super luas yang mulai didera sepi. Dari puluhan kubikel yang tersebar, menyisakan sekitar sepuluh komputer menyala. Enam berpenghuni dan sisanya tak bertuan.
"Kemarilah," bisikan menyambut kedatanganku, lengkap dengan kamitan di lengan kanan yang menyeretku menuju ruang berdinding kaca di tengah-tengah ruang redaksi. Tempat di mana rapat biasa berlangsung.
Serupa tersangka utama, aku dihadapkan pada dua orang paling berpengaruh dalam sejarah karierku sebagai reporter Du Monde. Di meja berbentuk oval ini, ada Louis si redaktur pelaksana dan Lyle—pria berambut putih berusia lebih dari setengah abad yang menjabat sebagai pemimpin redaksi. Juga Pierre tentunya.
Benar-benar serupa yang terlintas di pikiranku. Hingga ingin rasanya aku mengutuk dalil bad news is a good news.
"Kau gila?" Pierre menembak dengan tanya tak sabaran, bahkan sebelum pantatku menyentuh kursi. "Bisa jelaskan kekacauan macam apa ini?" lanjutnya melempar tab ke arahku dengan cukup kasar hingga timbul suara berdebam.
"Ini tidak seperti yang kalian kira. Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan pria sialan itu," jelasku.
"Tidak memiliki hungan tapi berciuman sepanas itu, kau pikir aku percaya?" sungut Pierre dengan wajah penuh kesal.
"Harusnya, tapi aku yakin kau tidak akan percaya," jawabku dengan fokus yang tertuju pada tab di tangan.
Deretan Wanita Flix Francois; Putri Parlemen, Politis, Hingga Jurnalis
Wanita Baru Felix Francois Si Raja Skandal
Terseret Kasus Pembunuhan, Felix Francois Kedapatan Berkencan dengan Jurnalis
Satu per satu headline kulafalkan dengan cukup nyaring, mengabaikan Pierre yang memijit pelipisnya. Serta Lyle dan Louis yang menghunusku dengan tatapan tajamnya.
"Beritamu hampir masuk kolom utama." Pierre kembali bersuara.
"Apa? Kalian tidak menahannya? Sudah kukatakan aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Felix!" Kursi yang kududuki terdorong ke belakang saat intonasiku naik. Tak peduli jabatan, ketiganya kuhadiahi tatapan nyalang.
"Tidak mungkin untuk menahannya di situs online kita."
Jawaban Louis membuatku bernapas sedikit lega. Namun, ini benar-benar gila. Perusahaan tempatku mengabdi terdengar semacam melemparkanku ke kandang buaya dengan memegangi satu kakiku agar bisa diselamatkan. Menahan laju beritaku di kolom utama versi cetak, tapi mem-blow up pada versi online.
Semua gara-gara Felix dan skandal gila yang menyeretku, Corin Lafebvre, reporter Du Monde—media cetak dengan oplah terbesar di Perancis.
"Kau harus berhenti, Corin," titah Lyle.
"Tidak!" teriakanku membahana di ruang berdinding kaca ini, melengking dengan nada tinggi yang cukup memekakkan telinga.